Narasi

Nafas Dakwah Islamiyah di Tengah Maraknya Ujaran Kebencian

Pengajian dan ajakan menuju Islam kaffah memang bertebaran di mana-mana tapi dakwah Islam telah merosot tajam. Karena pengajian-pengajian yang ada sekarang ini tidak lebih dari ajakan untuk membenci dan memprovokasi. Maka wajar jika umpatan dan cacian bisa didengar dari podium-podium pengajian. Di beberapa khutbah yang seharusnya berisi tentang ajakan kepada takwa yakni menaikkan nilai-nilai spiritual dan kerendahhatian berubah menjadi hardikan-hardikan provokatif.

Lain lagi dengan beberapa lembaga pendidikan yang mendidik santri-santrinya untuk membenci dan mengajak kekerasan. Tidak bisa dibayangkan bagaimana nasib umat Islam di masa depan. Pupuk benci yang terhunjam di hati anak didik melalui pendidikan seperti itu tidak akan melahirkan apapun kecuali dendam. Tentu saja, kelak bukan kebijaksanaan dan siapnya menghadapi masa depan yang diperoleh tapi akan berhadapan dengan perserteruan dan percekcokan yang tidak bisa dielakkan lagi. Cekcok dan berseteru tidak harus dengan umat agama lain tapi juga dengan sesama umat Islam.

Uniknya, dakwah provokatif yang tidak Islami ini justru banyak diminati banyak orang. Lihat saja misalnya, setiap pengajian berhaluan wahhabi yang jelas-jelas berisi hasutan dan adu domba dihadiri ratusan hingga ribuan orang. Jika tidak bisa hadir pada umumnya mereka menonton dan menikmati dakwah provokatif itu di youtube. Itulah sebabnya, video dakwah mereka banyak pengunjung dan membagikannya. Sementara pengajian para kiai sepuh yang rendah hati dan alim itu tidak lagi memiliki daya tarik bagi sebagian orang. Mungkin karena isinya tidak membakar semangat untuk membenci dan mencaci.

Kondisi dakwah seperti ini tidak hanya mencabik-cabik persatuan dan kesatuan bangsa tapi juga membuat umat Islam tercerai-berai. Jika demikian, prediksi Nabi semakin menemukan kebenarannya. Yakni umat Islam bagaikan buih di latuan yang selalu terombang ambing dan tidak pernah diperhitungkan keberadaannya. Hal ini disebabkan karena mengerdilkan bahkan menghardik ulama yang baik dan memulyakan ulama-ulama dadakan yang justru menjadi pemecah belah persatuan.

Dalam al Qur’an Allah meminta umat Islam agar berpegang teguh kepada tali Allah dan tidak  bercerai berai. Memegang teguh tali Allah tidak harus sama. Ada yang diujung, di tengah, atau diujung yang lain. Dalam kehidupan beragama pun juga demikian. Perbedaan tidak berarti lepasnya tali Allah melainkan mengerti posisi di mana kita memegangnya. Jika menjadi ulama, peganglah tali Allah dengan mendidik tanpa menghardik. Tali Allah tidaklah tunggal dan tidak bisa ditunggalkan. Tali Allah hendaknya berkelindan pada setiap hembusan nafas umat dimana dia berada dan dalam posisi bagaimana.

Karena itu, dakwah Islamiyah yang dimaksud dalam tulisan ini merupakan ajakan untuk memahami posisi diri dalam bingkai keislaman. Posisi itu tentu saja tidaklah sama. Rasulullah sendiri menempatkan dirinya hanya satu bata dalam bangunan kenabian. Beliau tidak merasa lebih hebat di antara Nabi yang lain, kecuali Allah sendiri yang memberikan pangkat yang lebih tinggi dibanding Nabi-Nabi yang lain. Selain persamaan, ajaran Nabi-Nabi lebih banyak perbedaannya. Namun tidak membuat ajaran itu tercerabut. Hal ini disebabkan karena pemahaman Nabi terhadap konteks dimana Beliau berada. Kecuali itu, umat dari agama-agama itulah yang membuatnya tercerai berai.

Atas dasar logika di atas maka dakwah Islamiyah perlu dikembalikan ke titik semula. Yakni merayakan perbedaan dan tetap berpegang teguh pada ukhuwah Islamiyah. Bukan sebaliknya, yakni berupaya melenyapkan perbedaan. Tuntunan dakwah al Qur’an sebenarnya ada dua yang harus dimiliki oleh seorang dai; basyir (memberikan kabar gembira) dan nadzir (memberikan peringatan). Al Qur’an sama sekali tidak memberikan anjuran untuk memprovokasi apalagi menyebarkan berita hoax. Bahkan kecaman Allah terhadap fitnah sangat terang benderang, yakni lebih kejam dari pembunuhan.

Konsep basyir dalam sejarah Nabi tidak hanya berupa janji surga tapi juga keberlangsungan hidup. Begitu juga nadzir, tidak hanya berupa kabar tentang pedihnya neraka tapi juga ancaman bagi pembuat makar, khususnya bagi orang-orang yang melawan pemerintahan yang sah. Sejarah mencatat bagaimana Nabi dalam Piagam Madinah mengecam siapapun yang berani melawan persatuan dan kesatuan, apapun agamanya. Ajaran Nabi tentang pentingnya memegang teguh persatuan di atas agama merupakan contoh konkret bagaimana dakwah Islamiyah harus dikembangkan. Wallahu a’lam.

Abdul Muiz Ghazali

Pegiat sosial-keagamaan dan aktif mengajar di Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Cirebon.

Recent Posts

Agama Cinta Sebagai Energi Kebangsaan Menjinakkan Intoleransi

Segala tindakan yang membuat kerusakan adalah tidak dibenarkan dan bukan ajaran agama manapun. Kita hidup…

3 hari ago

Bagaimana Menjalin Hubungan Antar-Agama dalam Konteks Negara-Bangsa? Belajar dari Rasulullah Sewaktu di Madinah

Ketika wacana hubungan antar-agama kembali menghangat, utamanya di tengah menguatnya tuduhan sinkretisme yang dialamatkan pada…

3 hari ago

Menggagas Konsep Beragama yang Inklusif di Indonesia

Dalam kehidupan beragama di Indonesia, terdapat banyak perbedaan yang seringkali menimbulkan gesekan dan perdebatan, khususnya…

3 hari ago

Islam Kasih dan Pluralitas Agama dalam Republik

Islam, sejak wahyu pertamanya turun, telah menegaskan dirinya sebagai agama kasih, agama yang menempatkan cinta,…

3 hari ago

Natal sebagai Manifestasi Kasih Sayang dan Kedamaian

Sifat Rahman dan Rahim, dua sifat Allah yang begitu mendalam dan luas, mengandung makna kasih…

3 hari ago

Ketika Umat Muslim Ikut Mensukseskan Perayaan Natal, Salahkah?

Setiap memasuki bulan Desember, ruang publik Indonesia selalu diselimuti perdebatan klasik tak berujung: bolehkah umat…

4 hari ago