Narasi

Nasionalisme; Toleransi Agama dan Politik Kemanusiaan

“Hubbul Wathan minal Iman- Cinta Tanah Air adalah sebagian dari Iman”, begitulah ulama nusantara berpesan.

Mengapa akhir ini agama digadang-gadang sebagai musuh negara, ataupun sebaliknya. Di luar sana, agama dipandang sebagai penghancur negara, dengan menolak pancasila dan demokratisasi di dalamnya. Tidak hanya itu, negara pun dianggap pembenci agama yang tidak bisa memberikan keadilan seutuhnya. Siapa yang salah sebenarnya?

Dalam hal ini, penulis tidak mencari mana yang salah dan benar. Kembali pada fatwa sebagian besar ulama islam nusantara menyatakan bahwa cinta tanah air adalah sebagian dari iman. Artinya, sebagian kadar keimanan seorang muslim adalah mencintai tanah airnya. Begitulah konsep berislam dalam kaitannya dengan negara.

Mencinta tanah air adalah wujud nasionalisme yang tidak bisa diganggu gugat. Apalagi dalam urusan kemanusiaan dan keadilan sosial. Semua agama mengajarkan kita untuk merawat kemanusiaan dan menjunjung tinggi keadilan. Jika kemanusiaan terusik, maka sebagai manusia beragama patut untuk berisik dan melawan. Jika keadilan tidak ditegakkan, maka hanya ada satu kata, “Lawan”. Begitulah ajakan mencintai tanah air, dengan mencintai bangsanya dan sumber daya alamnya.

Bagaiman jika tanah air kita diusik melalui ancaman para pelaku teror, yang mentoghutkan negeri ini, dan membenarkan ajarannya. Mereka mengancam melalui kebenciannya terhadap tanah air, dengan anti pancasila, dan mengkafirkan yang berbeda. Mereka adalah golongan yang seolah surga adalah milik nenek moyangnya. Dengan mudah menjanjikan surga kepada mereka yang mau berjihad dengan senjata dan bom, untuk menegakkan agama islam.

Negara islam yang digagas oleh ekstrimis agama adalah sebuah ilusi yang nyata. Ilusi yang mau menyamakan suatu hal yang berbeda. Ilusi yang ingin menjadikan negara ini menggunakan hukum islam. Ilusi yang dengan mudah mengkafirkan dan membunuh orang lain.

Ada yang salah kaprah dengan prosesor akal dan nuraninya, rasa cinta terhadap tanah airnya. Rasa cinta  itu diwujudkan dengan toleransi, saling menghargai satu sama lain. Toleransi bukanlah nilai baru dalam struktur masyarakat kita. Toleransi adalah kearifan bangsa ini, bangsa nusantara.

Multatuli mengajarkan kita untuk berbhinneka tunggal ika, berbeda-beda namun tetap satu jiwa. Apapun agama, suku, ras, bahkan pemikirannya, kita adalah satu, satu Indonesia Raya. Indonesia dibangun oleh bangsa beragama yang peduli dan cinta tanah air. Saking cintanya dengan negara, mereka (dari golongan apapun) menginginkan kemerdekaan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Guna membentengi bahaya perpecahan bangsa karena tidak saling memahami perbedaan, maka rasa toleransi inilah yang perlu ditanamkan kepada generasi bangsa. Toleransi adalah ajaran agama agama untuk menjaga keutuhan bangsa dan negara. Toleransilah yang bisa membuat kita hidup dengan aman tanpa prasangka.

Raja Asoka dalam prasastinya (270-230 bc) mengatakan bahwa barangsiapa ingin mengagungkan agamanya sendiri, dengan mencela agama orang lain, maka justru akan sangat merugikan agamanya sendiri, dan juga akan merugikan agamanya orang lain. Oleh karena itu, toleransi dan kerukunan sangat dianjurkan, agar terdapat ketenangan, ketentraman dan kedamaian dalam masyarakat.

Begitulah raja Asoka mengajarkan kita untuk bertoleransi, agar ketentraman dan kedamaian senantiasa menyertai kita. Tetapi, kenapa rasanya kedamaian sulit untuk didapatkan? Penulis rasa ada yang salah dengan cara kita berdemokrasi atau berpolitik. Seringkali politisi kebablasan menghalalkan segala cara untuk mencapai puncak kekuasaannya. Ada yang menjual ayat agama hingga menjajah yang tak berdaya. Politisi negeri ini acapkali membuat kekeliruan fatal yang menyebabkan krisis kemanusiaan di negeri ini.

Ada tesis menarik berkaitan dengan agama dan politik di negeri ini. Tesisnya adalah jika negara mengaharapkan perdamaian dan persatuan, politisi negeri jangan lagi menjual dalil agama untuk kepentingan kuasanya. Jika agama menjadi komoditas kampanye politik, maka tunggulah kehancuran bangsa dan negara.

Buddha mengatakan, politik yang maju dan beradab adalah politik yang: “tanpa membunuh, tanpa melukai, tanpa menjajah, tanpa membuat sedih, dan mengikuti Dhamma atau ajaran kebenaran” (Samyutta Nikaya).

Oleh karena itu, tidaklah mudah menumbuhkan rasa cinta terhadap tanah air di tengah banjir kebencian dan politisasi agama di negeri ini. Nasionalisme kini menjadi hal mahal untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan. Nasionalisme adalah ajaran agama yang damai dan rahmat.

This post was last modified on 2 Agustus 2018 1:18 PM

Al Muiz Liddinillah

View Comments

Recent Posts

Cara Islam Menyelesaikan Konflik: Bukan dengan Persekusi, tapi dengan Cara Tabayun dan Musyawarah

Konflik adalah bagian yang tak terelakkan dari kehidupan manusia. Perbedaan pendapat, kepentingan, keyakinan, dan bahkan…

2 hari ago

Beragama dalam Ketakutan: Antara Narasi Kristenisasi dan Persekusi

Dua kasus ketegangan umat beragama baik yang terjadi di Rumah Doa di Padang Kota dan…

2 hari ago

Bukti Nabi Sangat Menjaga Nyawa Manusia!

Banyak yang berbicara tentang jihad dan syahid dengan semangat yang menggebu, seolah-olah Islam adalah agama…

2 hari ago

Kekerasan Performatif; Orkestrasi Propaganda Kebencian di Ruang Publik Digital

Dalam waktu yang nyaris bersamaan, terjadi aksi kekerasan berlatar isu agama. Di Sukabumi, kegiatan retret…

3 hari ago

Mengapa Ormas Radikal adalah Musuk Invisible Kebhinekaan?

Ormas radikal bisa menjadi faktor yang memperkeruh harmoni kehidupan berbangsa serta menggerogoti spirit kebhinekaan. Dan…

3 hari ago

Dari Teologi Hakimiyah ke Doktrin Istisyhad; Membongkar Propaganda Kekerasan Kaum Radikal

Propaganda kekerasan berbasis agama seolah tidak pernah surut mewarnai linimasa media sosial kita. Gejolak keamanan…

3 hari ago