Narasi

Nuansa Kesukuan Memperelok Perdamaian Bumi Nusantara

Hidup dalam masyarakat bercirikan pluralisme etnisitas yang sedang mengalami proses perubahan menuju kearah negara nasionalis yang utuh memang banyak persoalan yang perlu dihadapi, baik pada tingkat lokal maupun regional atau nasional, yang bersifat multikompleks. Semua itu memiliki keterkaitan prinsip-prinsip identitas, loyalitas dan solidaritas, yang di dalam kehidupan sebagai corak bangsa Indonesia.

Eksistensi satuan-satuan etnis secara etnografis telah ada jauh sebelum zaman modern. Berdasarkan deskripsi kota Malaka pada sekitar tahun 1500 oleh Tome Pires, terdapat puluhan kelompok etnis seperti Aceh, Melayu, Sunda, Jawa, Bali, Bugis, Ambon dan sebagainya (Sartono Kartodirdjo: 1999). Masing-masing etnis mempuyai perkampungan sendiri, sudah jelas menunjukkan otonominya sebagai kesatuan.

Golongan-golong etnis ini memiliki struktur sosial, sistem hukum, adat istiadat dan keagamaan sendiri, maka komunitas terpisah satu sama lain. Hal ini bukan suatu masalah bagi bangsa Indonesia, semua itu bisa disatukan melalui alat pemersatu bangsa. Jauh sebelum merdeka pendiri bangsa ini telah membuat dasar kesatuan bangsa melalui Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan undang-undang 1945. Dasar kesatuan inilah menjadi pemersatu keberagaman etnis bangsa ini.

Nasionalisme Kesukuan

Suatu contoh sejarah mengenai politik kolonial saat abad ke-19 ialah bagaimana mahasiswa Stovia yang berasal dari suku Jawa masih diatur memakai kain dan ikat kepala, yakni lambang setatusnya sebagai inlander. Pada waktu-waktu tertentu mereka dilarang berbahasa Belanda di depan atasan atau Belanda; mereka juga dilarang memakai celana panjang menyamai teman Belanda atau suku Ambon dan Manado. Terasalah perlakuan diskriminatif serta tumbuhnya rasa inferior karena stigma pribumi. Maka pandangan mereka merasa terasingkan dan kehilangan identitas.

Dalam suatu situasi seperti itu timbullah bentuk solidaritas, yang terwujud dalam wadah perkumpulan (asosiasi) seperti Boedi Oetomo, Serikat Islam, Pasundan, Jong Sumatera, Jong Ambon dan sebagainya. Asosiasi ini berdiri karena adanya momentum penting yaitu munculnya kesadaran kolektif dan kebutuhan akan identitas diri kala itu. Pada saat inilah terjadi nosionalisme tehadap kesukuan atas dasar asosiasi masyarakat Indonesia.

Mengigat konteks sosial dekade awal abad ke-19 ini, realitas yang ada menunjukkan suatu Kulturkebundenheit pada umumnya dan kaum intelektual khususnya belum dapat mengatasi kebudayaan etnis, maka semua organisasi yang ada pada waktu itu menunjukkan etnisitasnya.

Baru mulai tahun 1920-an bermunculanlah pemakaian nama Indonesia selaku simbol bangsa Indonesia sebagai kesatuan bangsa-nasion. Proses integrasi politik dapat mengatasi batas-batas etnis dan mampu mencangkup komunitas multietnis. Pemerintah di sini sangatlah penting perannya sebagai wasit dari semuanya.

Sebagai wilayah kepulauan pemerintah NKRI harus jeli membaca persoalan-persoalan kesukuan di wilayah-wilayah. Suatu persoalan kesukuan di negara kesatuan sangat sensitivitas keberadaannya ketika terjadi konflik antar suku, adat istiadat dan keagamaan. Lepasnya Timor-Timor dari NKRI, kemudian Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ini suatu pelajaran bagi masyrakat Nusantara dan pemerintah akan pentingnya memelihara komunikasi yang baik untuk menjaga keutuhan bangsa kita.

“Budaya adalah kegiatan berpikir, bertindak dan merasa yang dilakukan masyarakat yang menampilkan identitasnya sebagai suatu kesatuan. Dengan batasan, budaya Indonesia di sini memiliki arti keseluruhan pemikiran dan tindakan yang menampilkan identitas kita sebagai bangsa” (Abdurrahman Wahid: 2001).

Melihat ungkapan Gus Dur diatas beliau sangatlah mengapresiasi kebudayaan sebagai kegiatan berpikir, merasa dan bertindak yang kemudian membentuk suatu identitas kultural. Identitas kultural ini bahkan terbentuk sebagai kesatuan yang saling berkesinambungan. Proses berpikir, merasa dan bertindak ini bahkan pada satu titik melahirkan seni dan sastra, di mana melalui seni itu kita bisa melihat totalitas pandangan hidup (Weltanschauung) dari masyarakat tersebut.

Oleh karena itu, kebudayaan dalam artian ini merupakan pandangan-dunia sebuah masyarakat yang membentuk identitas kultural, yang berisi cara berpikir, merasa dan bertindak. Alhasil, pada satu titik tercermin dalam karya seni dan sastra masing-masing etnitas menampilkan keindahan dalam kerukunan.

Belajar dari Gus Dur untuk Kedamaian Indonesia

Pemikiran Gus Dur konon selalu kontroversial dan sulit dipahami. Pemikiran ini sering menabrak mainstrem pemahaman masyarakat Indonesia. Khususnya, masyarakat Muslim dan Nahdlatul Ulama (NU) yang beliau nodai. Resikonya, belum lagi pemikiran itu dipahami, Gus Dus sendiri telah dicaci, misalnya melalui sebutan pembela PKI, pembela Ahmadiyah, pembela Inul Daratista atau lebih kejam lagi, penghina Al-Qur’an kitab porno (Syaiful Arif: 2013).

Belum lagi gagasan Gus Dur ketika beliau menjabat Presiden ke-4. Berbagai gagasan seperti usulan pembubaran TAP MPRS No. XXV tahun 1966, pembubaran Depertemen Sosial dan Depertemen Penerangan, serta perjalinan hubungan Indonesia-Israel, tidak hanya menimbulkan kontraversi bagi umat Muslim saja, tetapi masyarakat Indonesia yang anti-komunisme dan sekian pegawai negeri yang mengantungkan hidup di dua depertemen tersebut.

Dalam pemikiran Gus Dur tidak ada yang salah hanya saja perlu pemahaman yang lebih ekstra bagi masyarakat awam. Gus Dur dalam pemikiranya ini mengambarkan garis-batas pemahaman awam masyarakatyang memang rapuh dan perlu dibangunkan. “Membangunkan pemikiran” suatu upaya yang dilakukan Gus Dus demi pemahaman yang lebih mendalam atas berbagai persoalan bangsa yang sebelumnya hanya dipikirkan masyarakat secara selayang pandang.

Sebagai pemikiran, pemikiran Gus Dur akhirnya memang berbeda dengan pemahaman awam. Alasanya jelas, Gus Dur berpikir melalui refleksi dengan pendasaran atas literatur pemikiran yang kaya. Refleksi pemikiran Gus Dur tentu melakukan penelian kembali: sebuah kritik-dari atas persoalan yang direfleksikan.

Pemahaman-pemahaman seperti inilah dapat melahirkan toleransi. Tetapi, pemerintah disini harus mampu mempersatukan pemikiran kesukuan atas pentingnya menjaga bangsa ini. Soal pemikiran Gus Dur harapannya bagi bangsa ini sebagai contoh yang baik untuk menghindari kontraversional di dalam jati diri bangsa.

Semua hal yang dilakukan Gus Dur di kala menjabat Presiden bahkan mulai dari masa mudanya merupakan upaya langkah konkrit untuk menjaga perdamaian antar etnitas dan agama di Indonesia. Beliau sangat memperhatikan nilai-nilai tolerasi dalam bernegara dan berketuhanan bagi bangsa ini. Pada saat usia kemerdekaan menempuh 72 tahun pemerintah dan masyarakat Indonesia harus mampu memahami jati diri banngsa sebagai negara kesukuan untuk menciptakan harmoni hidup damai, tentaram dan sejahtera masyarakatnya.

This post was last modified on 15 Agustus 2017 3:08 PM

Sholikul Hadi

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

19 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

19 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

19 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago