Keagamaan

Optimalisasi Akal dalam Beragama Merubah Cara Pandang yang Absurd

Benar dan tidak ada yang memungkiri al Qur’an dan hadits sebagai sumber primer. Tetapi, anggapan bahwa beragama cukup menggunakan keduanya adalah salah. Kenapa? Karena dua sumber dalil primer tersebut butuh tafsir dan takwil. Itulah mengapa para ulama salaf dan ulama khalaf menulis kitab-kitab tafsir al Qur’an yang tujuannya tidak lain untuk membantu umat Islam memahami ayat-ayat al Qur’an.

Hadits juga demikian. Ia butuh penjelas. Para ulama ahli hadits kemudian menulis kitab-kitab sebagai penjelasan terhadap maksud suatu hadits supaya tidak salah memahaminya. Seperti, beberapa hadits terlihat kontradiktif maknanya, namun setelah membaca penjelasan para ulama ternyata tidak dan lebih mudah dipahami.

Dengan daya nalar dan kekuatan membaca teks wahyu dan hadits, serta sanad ilmu yang diperoleh dari guru-guru yang bersambung kepada Rasulullah, mempermudah para ulama untuk memaknai al Qur’an dan hadits secara tepat. Salah satu cabang ilmu yang membantu untuk memahami ayat-ayat al Qur’an disebut ushul fikih. Ilmu ini, ditopang dengan ilmu tafsir sangat membantu untuk memahami wahyu secara sempurna.

Bagi mereka yang telah belajar ushul fikih dengan segera akan memahami bahwa keterlibatan daya akal dalam memahami al Qur’an maupun hadits sangat dominan. Daya nalar akal mampu menemukan makna-makna tersembunyi dalam nash (teks keagamaan). Hal ini tidak bisa dipungkiri karena wahyu Tuhan sendiri yang memerintahkan manusia untuk mengoptimalisasikan akal untuk memahami teks keagamaan tersebut.

Dari sini lalu ada istilah dalil naqli dan dalil aqli. Keduanya tidak akan bertentangan. Akal dan wahyu saling menopang untuk menciptakan iklim beragama yang sehat. Namun, tidak sembarang manusia yang mampu melakukan interpretasi terhadap teks keagamaan, hanya para ulama yang diberikan kelebihan menafsir atau menakwil teks keagamaan. Kelebihan tersebut adalah mampu bermanthiq atau berlogika dengan benar. Itupun tidak semua ulama, hanya mereka yang benar memiliki otoritas yang tidak diragukan, seperti Ibnu Katsir, Thabari, al Baghawi dan lain-lain.

Sehingga, cara beragama mereka tidak absurd, namun moderat. Dalam kitab-kitab tafsirnya, tidak satu pun diantara mereka yang mendorong atau mewajibkan umat Islam untuk menegakkan sistem khilafah, apalagi dengan pembunuhan melalui doktrin murtad dan sesat terhadap orang atau kelompok yang berbeda. Ini satu contoh. Selain itu, cara pandang mereka terhadap perbedaan agama atau keyakinan cukup toleran, sebab memang ada banyak ayat-ayat al Qur’an menyatakan perbedaan adalah sunnatullah.

Paradigma berpikir seperti hanya bisa nyata dengan optimalisasi akal sehat dalam memahami teks-teks keagamaan. Perspektifnya luas seta kaya interpretasi sehingga tidak terjebak pada kejumudan. Karenanya, penyimpangan atas syariat tidak akan terjadi manakala seseorang melakukan penalaran rasional yang begitu mendalam dan mendasar.

Ketimpangan beragama, seperti ditampilkan oleh kelompok HTI dengan ide penegakan khilafah dalam konteks negara bangsa seperti saat ini karena mereka tidak melakukan penalaran rasional secara mendalam dan mendasar. Sebab interpretasi kebenaran teks keagamaan terabaikan manakala optimalisasi akal sehat tidak difungsikan secara baik.

Penalaran rasional, apalagi dibantu dengan membaca tafsir para ulama yang otoritatif, tak akan bertentangan dengan syariat. Akal dan wahyu berposisi saling menggenapi atau saling melengkapi dan mendukung dalam mengartikulasikan kebenaran. Seperti sikap keberagamaan yang moderat adalah artikulasi dari kebenaran teks keagamaan yang ditopang oleh penalaran rasional. Sebaliknya, sikap ekstrem dalam beragama merupakan kesalahan yang penyebabnya karena kurangnya penalaran rasional yang menumbuhkan sistem pengetahuan tentang agama yang sangat doktriner, serba hitam putih.

Al Qur’an menyebut Ulul Albab untuk jenis manusia paling unggul. Kata ini sepadan dengan al ‘aqlu, yang dalam bahasa Indonesia diartikan akal atau nalar. Orang bisa disebut Ulul Albab apabila memfungsikan akalnya dengan baik, terutama dalam hal beragama. Sehingga mampu menilai mana yang baik dan buruk, salah dan benar. Memahami agama dengan memfungsikan nalar yang sehat menjadikan seseorang tidak sombong, makin peduli dengan orang lain, tidak anti perbedaan, dan tentu saja makin religius. Sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah dan diteruskan oleh para ulama yang mewarisi sikap beragama dari beliau.

Sebaliknya, mandulnya penalaran dengan akal sehat dalam beragama menyebabkan telinga mereka “pekak”, tidak mau mendengar kebenaran dari pihak lain sekalipun dengan argumentasi yang lebih kuat. Akibatnya, apa yang semestinya tidak perlu diperjuangkan dipropagandakan sekalipun harus menghilangkan nyawa. Terorisme, demikian juga propaganda penegakan khilafah, adalah bukti mandulnya otak sehingga menutup penalaran yang baik dalam beragama.

Mereka diingatkan oleh al Qur’an: “Sesungguhnya binatang (makhluk) adalah yang seburuk-buruknya di sisi Allah, yakni orang yang pekak dan tuli yang tidak berpikir”. (Al Anfal: 22).

Seseorang akan mudah didoktrin apabila akal dan nalar tidak bekerja atau tak berfungsi. Misal, doktrin jihad semu kelompok teroris dengan bom bunuh diri. Meyakini bom bunuh diri sebagai suatu perintah agama adalah kesalahan fatal dalam beragama. Sekalipun demikian, tidak sedikit mereka yang meyakini sebagai perintah agama gara-gara tidak mengoptimalkan akalnya dalam beragama.

Seperti itu pula doktrin penegakan khilafah kelompok HTI. Suatu kesalahan fatal dalam beragama sebab memahami dalil-dalil agama secara parsial, alias tidak utuh. Bagi yang mendayagunakan akal sehatnya, akan sesegera mungkin menyadari bahwa itu sebuah kesalahan.

Karenanya, nalar yang baik akan membawa seseorang pada penalaran dalam beragama secara baik pula. Kejumudan ilmu pengetahuan agama terlahir dari matinya akal sehat yang tak mampu menalar secara baik. Memandang interpretasi kebenaran ajaran agama dari satu sudut pandang yang sempit. Islam yang rahmatan lil alamin di tangan mereka menjadi kaku dan jumud. Islam yang melarang membunuh manusia tanpa alasan yang dibenarkan, di tangan mereka menjadi alat pembunuh. Maka, gunakan akal sehat dalam beragama supaya corak keberagamaan kita sesuai dengan ajaran Islam yang sesungguhnya.

Nurfati Maulida

Recent Posts

Beragama dengan Ilmu: Menyusuri Jalan Kebenaran, Bukan Sekadar Militansi

Beragama adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan banyak individu. Ia menjadi landasan spiritual yang memberi…

16 jam ago

Iman Itu Menyejukkan, Bukan Menciptakan Keonaran

Iman adalah salah satu anugerah terbesar yang diberikan Allah kepada umat manusia. Ia adalah pondasi…

16 jam ago

Kedewasaan Beragama, Menata Rasa Sesama

Nuladha laku utama Tumrape wong Tanah Jawi Wong agung ing Ngeksiganda Panembahan Senopati Kepati amarsudi…

16 jam ago

Waspada Kebangkitan Ormas Intoleran dan Ancaman Kerukunan di Sulawesi Selatan

“Kita perang saja! Tentukan saja, kapan dan di mana perangnya?” “Biar saya sendirian yang pimpin…

2 hari ago

Melawan Amnesia Pancasila; Dari Ego Sektarian ke Perilaku Intoleran

Hari-hari belakangan ini lanskap sosial-keagamaan kita diwarnai oleh banyaknya kasus intoleransi. Mulai dari kasus video…

2 hari ago

Memecah Gelembung Fanatisme di Media Sosial

Fanatisme itu ibarat minuman keras yang memabukkan. Daripada aspek kebermanfaatannya, fanatisme justru lebih sering memicu…

2 hari ago