Narasi

Palu, Donggala, dan Pancasila

Kejadian menyedihkan yang menimpa Palu dan Donggala berupa gempa bumi yang kemudian diikuti tsunami, menyemangatkan kita untuk benar-benar ber-Pancasila. Sila kelima, menjadi bagian penting untuk dibuktikan. Butir-butir pengalaman pada sila terakhir harus kita tunjukkan. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Gempa magnitudo yang menjadi perantara rusaknya Kota Palu, Sulawesi Tengah, seharusnya menjadi bahan pertanyaan apakah kita siap untuk ber-Pancasila? Bukti konkret yang harus ada, yaitu suka memberi pertolongan kepada orang lain. Jika masih enggan atau merasa disusahkan, jangan katakan bahwa sudah ber-Pancasila. Sebab, menghormati hak-hak orang lain, mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan gotong-royong, merupakan butir pengalaman sila kelima yang tak boleh diabaikan.

Ketika Pancasila hanya difokuskan untuk menjadi tameng atau penghalang radikalisme, saling menghargai perbedaan maupun keyakinan, maka kekompletan Pancasila akan terlukai. Sebab, ada dua sila yang secara khusus mengajarkan kita untuk saling berbagi, saling memberi, saling membantu, dan saling meringankan dalam berbagai macam kesulitan apapun. Selain dari sila kelima, yaitu sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab.

Setelah sila tentang ketuhanan tersebut, mendorong kita untuk saling mencintai antar sesama manusia, terlebih satu bangsa, Merah-Putih. Tentunya, jika Palu dan Donggala berduka, maka dukanya adalah duka kita semua. Sebab, kita merupakan bagian dari mereka, bagian dari seluruh umat manusia. Karenanya, kita pun dituntut untuk gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.

Sungguh, alangkah bahagianya bila antar sesama manusia saling memberi, saling berbagi, saling membantu dalam berbagai dalam bentuk apapun dan sekecil apapun. Bagi orang yang sedang membutuhkan, tentu akan sangat berharga. Yakinlah, bahwa siapapun yang membantu keperluan saudaranya, pasti akan mudah ketika membutuhkan bantuan. Hukum timbal balik pasti ada dan nyata.

Cepat atau lambat, perbuatan baik senantiasa akan memberikan kebaikan pula. Hal ini termaktub dalam kita suci al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 7, “Barang siapa berbuat baik, sesungguhnya kebaikan itu untuk dirinya sendiri, dan jika berbuat jahat maka kejahatan itu untuk dirinya sendiri.”

Bersama-sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial wajib kita laksanakan. Pancasila yang menyeru untuk berbagi juga harus diutamakan. Peri Kemanusiaan jangan sampai terabaikan. Sebab, Pancasila begitu antusias dalam mendorong rasa kepedulian yang tinggi terhadap orang lain.

Tak hanya itu, Pancasila juga mengajarkan atau bahkan mengingatkan kita untuk bersyukur atas nikmat-nikmat yang telah diberikan oleh yang Maha Esa. Tetapi, jika kita tetap lupa dan alpa untuk bersyukur, untuk berbagi, untuk peduli kepada sesama, kemudian nanti terjadi suatu bencana, maka rasakanlah berapa perihnya ditelantarkan bersama penderitaan.

Karenanya, paling tidak kita mampu melakukannya serta dapat memahami bahwa Pancasila merupakan spirit orang beriman yang bisa memberikan secara tulus serta spontan untuk kebahagiaan masyarakat. Karena sesungguhnya, pengorbanan seorang Pancasilais hampir tidak terbatas, dan itu merupakan pengorbanan sejati.

Pancasila yang kita jadikan panutan dalam hidup ini, nilai-nilainya jangan sampai ada yang dibuang. Terlebih, saat ini ajaran Pancasila tentang cinta kasih sayang dan berbuat kebaikan semakin tertutupi oleh berita-berita kekerasan, kriminal dan terorisme. Karenanya, jangan sampai kita bangga dengan Pancasila, tetapi tak mengamalkan isi yang terkandung di dalamnya. Kita bangga dengan dengannya, tetapi tak berusaha mengharumkannya. Ketahuilah, membiarkan Pancasila semakin berkurang maknanya, berarti kita telah ikut serta dalam menyembelih Burung Garuda. Sebejat itukah kita?

Mengembalikan nilai-nilai berharga dari Pancasila adalah tugas kita bersama. Untuk itu, pastikan Pancasila benar-benar tertanam dalam jiwa. Demi kemanusiaan, demi kesejahteraan, dan demi kasih sayang, mari kita ber-Pancasila dengan utuh dengan landasan memberi manfaat kepada diri sendiri dan orang lain, dengan niat ibadah, sukarela tanpa harus dibebani ada balasan dan pujian dari sesama.

Tunjukkan dan buktikan kita benar-benar ber-Pancasila. Dan ingatlah, bahwa ketulusan dan kebijakan yang melandasi kebersamaan menjadi unsur mewah dari Pancasila itu sendiri. Tampaknya, kita mulai paham bahwa ada hubungan positif antara iman seseorang dan kesanggupan untuk berbagi. Jadi, ketika ada orang yang mengaku beriman dan toleransi, tetapi tidak sanggup berbagi, terlalu sayang dengan hartanya hingga lupa atas kemaslahatan orang banyak, maka keimanan dan ketoleransian orang tersebut perlu diragukan. Lalu, benarkah ia ber-Pancasila?

This post was last modified on 4 Oktober 2018 12:10 PM

Ach Fawaid

Keagamaan di Garawiksa Institute, Yogyakarta

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

2 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

2 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

2 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago