Perdebatan tentang apakah Pancasila sebagai dasar negara sudah sesuai dengan ajaran agama atau justru bertentangan dengan agama merupakan diskusi klasik yang sudah tuntas pada masa lalu. Namun, seringkali ada kelompok yang merasa belum tuntas atau sengaja memunculkan kembali diskursus tersebut untuk kepentingan tertentu.
Pancasila sebagai dasar negara lalu dipotret dengan kacamata ayat yang di masa lalu juga menjadi perbincangan yang problematis. Ayat yang sering dijadikan dalil adalah ayat tahkim, Al Maidah 44-47 . Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.
Tafsir terhadap ayat ini memang cukup beragam beserta asbabun nuzulnya yang tidak seragam di kalangan para ulama. Namun, di masa lalu ayat ini telah digunakan oleh kelompok Khawarij dalam peristiwa tahkim atau arbitrase politik kekuasaan Muawiyah dan Khalifah Ali.
Ayat tahkim ini bagi kelompok Khawarij menjadi penanda bid’ah paling besar dalam sejarah Islam dengan menghukumi kafir saudara seiman. Tidak hanya itu konsekuensi dari labelisasi kafir berarti keabsahan untuk membunuh orang-orang yang dianggap kafir. Tidak mengherankan jika drama politik kekuasaan melahirkan saling tikam sesama muslim, bahkan Sang Khalifah Ali pun terbunuh oleh pemuda muslim yang termakan pemahaman ayat tahkim ala Khawarij.
Ayat tahkim di era modern dibawa juga dalam konteks pemaknaan politik sebagaimana Khawarij melakukannya. Sayyid Qutb, Abu A’la Al Maududi, Hasan Al-Banna, Abdul Qodir Audah, dan Taqiyuddin an-Nabhani memaknainya dalam konteks hukum pemerintahan dan politik. Kelompok radikal pada fase berikutnya juga memahami ini sebagai dalil sistem negara yang kafir seperti demokrasi, republik, nasionalisme dan Pancasila. Intinya, ijtihad manusia dalam politik kekuasaan tidak diterima karena yang mutlak mementukan hukum adalah Tuhan.
Lahirnya kelompok radikal teroris di tingkat global misalnya seperti Jamaah Islamiyah, Al-Qaeda dan ISIS berangkat dari asumsi yang sama dari ayat tahkim dalam konteks politik kekuasaan. Begitu pula Hizbut Tahrir (HT) juga memahami hal sama sebagaimana Taqiyuddin an-Nabhani dalam melihat sistem negara modern saat ini.
Dalam konteks inilah, cita-cita menegakkan khilafah dan sistem negara Islam dengan pula memandang demokrasi kafir dan Pancasila thagut adalah bagian dari cara mereka menafsirkan ayat tahkim tersebut. Jelas, sampai kapanpun relasi Pancasila dan Islam dalam pandangan mereka tidak akan pernah selesai sampai cita-cita itu tercapai.
Memahami Maksud Syariat
Sementara ulama baik klasik (salaf) dan modern (khalaf) juga memberikan interpretasi yang tidak selalu konfrontatif dengan seperti ulama yang disebutkan di atas. Kehati-hatian untuk menghukumi kafir secara serampangan begitu diperhatikan. Pendekatan yang dipilih dalam memahami hukum dan penerapan hukum adalah kepada tujuan syariat atau maqashid syariah.
Ibnu Qayyim misalnya mengatakan bahwa hukum syariah harus mendasarkan sesuai keputusan yang menginginkan kemakmuran di dunia serta akhirat, bahwa syariah seluruhnya berhubungan dengan keadilan, kasih sayang, keputusan serta kebaikan. Artinya, hukum syariah itu memiliki tujuan pokok yang terkandung dalam setiap produk hukum yang dihasilkan. Itulah hukum syariah.
Menyelami syariat berdasarkan tujuannya memang bukan perbincangan baru. Al Ghazali dan al Juwaini adalah dua ulama klasik yang sering menyinggung pembahasan maqashidus syariah meskipun hanya secara parsial dan tidak utuh. Dalam beberapa karyanya, mereka berdua membahas maqashidus syariah dalam pembahasan tema hukum tertentu. Memang belum menjadi pembahasan yang utuh, tetapi pengambilan hukum dengan berorientasi pada maqashidus syariah telah menjadi perbincangan ulama terdahulu.
Adalah Imam Syatibi yang mencoba mensistematisir dan mendetailkan kerangka teoritis maqashidus syariah dalam beberapa karyanya misalnya Al Muwafaqat fi Ushulil Ahkam. Dan dalam karyanya yang lain, yakni I’tisham, Syatibi menyatakan bahwa seseorang tidak akan bisa memahami syariat sesuai wajah aslinya bila tidak memperdalam pemahaman tentang maqashidus syariah.
Ulama modern seperti Dr. Wahbah al Zuhaili dalam kitabnya Ushul Fiqh al Islami mendefinisikan, maqashidus syariah adalah makna, tujuan dan rahasia yang hendak dicapai dari hukum-hukum yang ditetapkan oleh syari’ (Allah). Maqashidus syariah adalah tujuan inti dari hukum-hukum yang diundangkan oleh Allah. Tujuannya adalah kemaslahatan manusia.
Dengan memahami maqashidus syariah kita akan sampai pada pemahaman bahwa semua hukum Islam hadir sebagai upaya menciptakan maslahat, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, semua hukum harus berangkat dari maslahat, tidak kaku dan tidak terjebak dalam kejumudan teks tanpa memandang konteks yang mengitarinya.
Sila Pancasila yang Memuat Maqashid Syariah
Apakah mengkafirkan sesama muslim sesuai dengan tujuan syariat? Apakah menghukum kafir kepada Pancasila dan umat Islam yang mengikatkan perjanjian luhur dan damai dalam konteks bernegara sesuai dengan tujuan syariat?
Jawaban jelas pemikiran seperti itu bertentangan dengan syariat. Pada prakteknya mereka yang menghukumi kafir sistem negara dan sesama muslim seringkali melontarkan halal darah yang mengabsahkan pembunuhan di mana pun dan kapanpun.
Jika pemikiran yang mengkafirkan Pancasila dan sering pula menghalalkan darah sesama muslim bertentangan dengan tujuan syariat, berarti para pendiri bangsa ini sungguh alim dan wara’ dalam merumuskan dan menerima Pancasila sebagai dasar hukum bernegara sehingga sampai hari ini menjamin kerukunan dan kedamaian sesuai tujuan syariat.
Lalu, apakah Pancasila bertentangan syariat atau pula maksud syariat? Sejatinya, Pancasila adalah tafsir ulama dalam mengimplementasikan maqashid syariah. Jika kita merujuk pada
Al-Muwafaqat karya Imam Al-Syathibi tentang butir-butir Maqashid Syariah kita bisa memahami bahwa Pancasila adalah cara ulama dan tokoh bangsa merumuskan dasar negara sesuai maqashid Syariah.
Mari kita perhatikan, maqashid Syariah yang memuat lima hal.
Sila Pertama dan Hifdud Din
Prinsip pertama melindungi agama (hifdz din) dapat kita temukan dalam sila pertama, ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Dalam tafsir turunannya, sila ini menjamin kebebasan dan hak beribadah seluruh masyarakat Indonesia. Indonesia negara beragama, tetapi bukan negara agama. Negara yang menjaga dan menjamin keberlangsungan umat beragama.
Sila Kedua dan Hifdun Nafs
Tujuan syariat berikutnya adalah melindungi jiwa yang dapat kita temui dalam Sila Pancasila ‘Kemanusiaan yang Adil dan beradab’. Manusia dengan harkat mertabatnya harus dilindungi oleh negara. Tidak hanya nyawa, tetapi jiwa, raga dan kebutuhan diri sebagai manusia harus dilindungi.
Sila Ketiga dan Hifdun Nasl
Tujuan syariat berikutnya adalah melindungi keturunan dan keluarga. Prinsip ini apabila dibaca secara lebih luas sesuai dengan ‘Persatuan Indonesia’. Persatuan akan menjamin keutuhan suatu keluarga, masyarakat dan negara. Tidak akan ada jaminan keberlangsungan keluarga dan keturunan tanpa adanya persatuan.
Sila Keempat dan Hifdul aql
Prinsip berikutnya adalah menjaga atau melindungi akal. Kebebasan berpendapat dijamin dalam konstitusi melalui penerjemahan sila ‘Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan’. Demokrasi memberikan ruang bagi warga negara untuk bebas yang bertanggungjawab dalam berpikir, menyampaikan pendapat dan berijtihad.
Sila Kelima dan Hifdul Mal
Prinsip tujuan syariat berikutnya adalah melindungi harta yang dalam Sila Pancasila disebut ‘Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’. Tidak ada monopoli kekayaan dan status yang diunggulkan. Semua sama di mata negara berdasarkan asas keadilan. Keadilan dibutuhkan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan yang dalam konteks tujuan syariat disebutkan menjaga harta.
Kesesuaian 5 sila Pancasila dengan 5 Maqashid Syariat bukan kebetulan, tetapi hasil ijtihad kolektif para ulama, cendikiawan dan pejuang negeri ini. Merumuskan dasar negara bukan mengandalkan egoisme kelompok, tetapi jaminan terpenuhi kemashlahatan bersama (maslahah ‘ammah). Mashlahah inilah yang menjadi pokok dan inti dari maqashid syariah.
Karena itulah, sudah layak ditinggalkan perbincangan atau narasi yang membenturkan agama dengan Pancasila, apalagi omongan ngawur yang menyebut Pancasila thagut dan sistem kufur. Bisa jadi mereka kurang banyak belajar atau memang sengaja memberikan pemahaman yang bodoh terhadap generasi berikutnya.
This post was last modified on 22 September 2023 12:11 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…