Categories: Narasi

Pancasila dan Nilai Luhur Budaya Indonesia

Mempertentangan Pancasila dengan agama merupakan usaha sia-sia, sebab kita tahu, dalam pasal atau sila-silanya, justru sejalan alias tidak ada satu pun yang bertentangan. Itulah sebabnya, mustahil Kepala BPIP, Prof. Yudian Wahyudi tidak memahami fakta ini, sehingga pernyataan yang memicu kontroversial, “musuh terbesar Pancasila adalah agama”, merupakan plintiran media yang kemudian dijadikan alat oleh kelompok tertentu untuk menjatuhkan martabat, lembaga, dan pemerintahan.

Padahal, sebagaimana terlihat dalam video lengkapnya, Prof. Yudian Wahyudi sejak awal membangun argumen bahwa terdapat sebagian kelompok kecil yang berusaha hendak mencongkel Pancasila sebagai ideologi negara dan akan diganti oleh ideologi agama. Inilah maksud yang sebenarnya.

Bahwa musuh terbesar Pancasila yang dimaksud adalah kelompok kecil yang terang-terangan menolak Pancasila itu, menganggapnya thagut. Kelompok inilah yang justru mempertentangankan Pancasila dengan agama. Prof. Yudian Wahyudi menyebutkan sebagai kelompok minoritas yang mengklaim dirinya sebagai mayoritas umat beragama.

Nilai luhur Pancasila

Kalau kita cermati dengan seksama, Pancasila, sesungguhnya tidak hanya digali dari rahim agama, tetapi juga dari nilai-nilai luhur budaya Indonesia. Dari mana sumbernya?  

Hal tersebut bisa dilacak, sebelum tumbuh kerajaan besar di Nusantara, seperti kerajaan Sriwijaya di Sumatera abad 7-12 dan Majapahir di Jawa Timur abad 12-16, kehidupan masyarakat Nusantara telah menunjukkan ciri-ciri, sikap, dan perilaku yang mencerminkan penjiwaan atas sila-sila Pancasila. Seperti kepercayaan kepada kekuatan gaib, toleransi, tolong menolong/gotong royong, bermusyawarah, rukun dan damai, gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja (masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila).

Baca Juga : KH Wahid Hasyim, Agama dan Pancasila

Istilah “Pancasila” juga digunakan sebagai acuan moral/etika dalam kehidupan sehari-hari, seperti terungkap dalam karya-karya pujangga; Empu Prapanca tentang Negara Kertagama dan Empu Tantular dalam bukunya Sutasoma.

Dalam buku Sutasoma terdapat istilah Pancasila Krama, yang mempunyai arti lima dasar tingkah laku atau perintah kesusilaan yang lima, meliputi: (1) tidak boleh melakukan kekerasan (ahimsa); (2) tidak boleh mencuri (asteya); (3) tidak boleh berjiwa dengki (indriya nigraha); (4) tidak boleh berbohong (amrsawada); (5) tidak boleh mabuk minum-minuman keras (dama).

Dalam buku Sutasoma, terdapat pula semboyan Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrua, meskipun agama berbeda bentuk/sifatnya, namun pada hakikatnya satu, yang kemudian menjadi “motto” lambang negara kita, Bhineka Tunggal Ika.

Secara harfiah, Pancasila dapat dijabarkan ke dalam dua kata, yaitu “Panca” yang berarti lima, dan “Sila” yang berarti dasar; maka disebutlah “lima dasar”. Istilah “Sila” juga diartikan sebagai aturan yang melatarbelakangi perilaku seseorang/bangsa, perbuatan yang menurut adab (sopan santun), akhlak dan moral.

Karena itu, pada akhirnya, istilah Pancasila diangkat oleh Bung Karno dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945 di muka sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) sebagai bahan dalam merumuskan dasar negara Indonesia merdeka, sehingga sering timbul anggapan bahwa tanggal 1 Juni sebagai sebagai lahirnya Pancasila.

Pancasila disebut sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia, karena nilai-nilai yang terkandung dalam sila-silanya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan bangsa Indonesia. Pancasila dipergunakan sebagai petunjuk hidup sehari-hari, dan dalam pelaksanaannya tidak boleh bertentangan dengan norma-norma kehidupan, baik agama, kesusilaan sopan santun maupun norma hukum yang berlaku.

Menjadikan Pancasila sebagai pandangan hidup, bukan berarti ia layaknya agama. Ini adalah salah paham akut. Sebab muncul anggapan bagi sebagian kalangan, alasan penolakan Pancasila dipersepsikan menyerupai agama. Pancasila dan agama merupakan entitas berbeda, tetapi memiliki banyak kesamaan nilai, yang keduanya bisa menyatu, simbiosis-mutualistis. Hal itu sejatinya menyadarkan semua pihak, bahwa pilihan Pancasila sebagai dasar dan ideologi bangsa merupakan pilihan yang tepat dan ideal.

This post was last modified on 20 Februari 2020 8:12 PM

Ali Usman

Guru pesantren di Yogyakarta, menamatkan studi S1 filsafat dan program magister di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Recent Posts

Bahaya Provokasi Digital; Dari Mobilisasi Massa ke Monetisasi Kekerasan

Aksi demonstrasi massa yang terjadi di banyak kota tempo hari tentu tidak terjadi secara kebetulan.…

6 jam ago

Tradisi Muludan; Strategi Resolusi Konflik Berbasis Lokalitas ala Muslim Pedesaan

Jika kita rutin membuka media sosial belakangan ini, maka kita akan disuguhi berbagai informasi dan…

6 jam ago

Menerjemahkan Pesan Maulid Nabi di Kebisingan Kerusuhan dan Kekerasan

Pada tanggal 5 September, umat Islam di seluruh dunia akan memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW,…

6 jam ago

Harga Sebuah Amarah; Melihat Efek Demonstrasi Destruktif dari Sisi Ekonomi dan Psikologi

Dalam sepekan terakhir kita disuguhi pemandangan brutal ketika gerombolan massa meluapkan amarah kolektifnya. Ada yang…

1 hari ago

Agar Aspirasi Tak Tenggelam dalam Kebisingan Anarkisme

Gelombang demonstrasi terjadi di berbagai kota di Indonesia. Pada dasarnya, demonstrasi adalah hak konstitusional warga…

1 hari ago

Kampanye Khilafah; Gejala FOMO Kaum Radikal Menunggangi Fenomena Demonstrasi

Akun TikTok @ekalastri333 dengan pengikut 12, 9 ribu dan menulis di bio profilnya sebagai “pengemban…

1 hari ago