Narasi

Pancasila Harus Menjadi Karakter

Bangsa ini dengan ragam kekayaan budaya, etnik, suku, ras dan bahasa merupakan anugerah dari Tuhan yang patut disyukuri. Keragaman itu sejak dulu adalah ciri khas bangsa ini. Meskipun saling terpisah pulau tanpa satu ikatan yang menyatukan, sejak dulu antar elemen di Nusantara sudah saling berinteraksi dan menyapa.

Rasa syukur itu semakin perlu terus ditingkatkan ketika para pendiri bangsa (founding fathers) merumuskan dan membangun sebuah pedoman bersama bernama Pancasila. Pancasila bukan pandangan dan norma yang ditemukan, tetapi falsafah hidup bangsa yang diracik dari bahan dasar yang sudah ada. Lima Prinsip Dasar itu bukan barang asing yang diimpor dari negeri seberang, tetapi ramuan khas lokal yang diracik ciri khas bangsa yang bhineka.

Perumusan Pancasila bukan sekedar ingin mencari dasar negara, tetapi yang paling penting adalah sebuah karakter bangsa. Pancasila sebuah rangkuman epik dan filosofis tetang cerminan karakter anak bangsa yang tidak lepas dari pandangan hidup yang telah diwariskan dan bertahan cukup lama. Akan menjadi sia-sia dan akan terus menjadi perdebatan jika Pancasila hanya menjadi barang diskusi konstitusional jika tidak diletakkan sebagai karakter bangsa.

Fase perumusan karakter bangsa sudah selesai. Sejak disepakati Pancasila sebagai dasar negara yang tentu bukan perdebatan ringan, tetapi tetap dibangun atas azas saling menghormati dalam perbedaan, sejak saat itu fase perdebatan mestinya sudah tuntas. Komitmen itu sejatinya harus diarahkan pada penanaman Pancasila sebagai karakter bangsa.

Baca Juga : Pancasila dan Semangat Gotong Royong

Akan menjadi gagal jika Pancasila hanya dijadikan dasar negara yang wajib dihafal dan dipelajari oleh para generasi ini jika tidak ditanamkan menjadi sebuah karakter yang harus terus diwariskan. Pewarisan karakter ini ternyata sedikit mengalami kesulitan untuk tidak mengatakan gagal. Kenapa?

Dinamika perubahan yang terjadi dalam wilayah politik, ekonomi, sosial dan kemasyarakatan ternyata membuat sebagian kecil individu dan kelompok berani menggugat kembali Pancasila. Kelompok generasi yang tumbuh kembang tanpa sadar pentingnya sejarah ternyata dengan mudah terpukau ideologi luar dan impor yang terlihat memukau mesti asing. Ideologi dari luar dipasarkan ke dalam negeri yang dianggap akan menjadi solusi.

Kegagalan dalam fase sejarah tertentu di republik ini dianggap kesalahan filosofis, bukan anomali sosiologis. Artinya, suatu Orde dan rezim gagal dalam mengelola negara dianggap kegagalan Pancasila, bukan karena tidak diamalkan norma ideal Pancasila. Akhirnya, gegap gempita dan euforia reformasi membuka kran suara mereka untuk mementaskan aspirasi apapun, termasuk keinginan mengganti Pancasila.

Kembali pada pertanyaan awal tadi, kenapa ini mudah terjadi dan mungkin akan terjadi di fase berikutnya dalam sejarah ini? Saya tetap memilih jawaban penting karena Pancasila tidak ditanamkan dan diwariskan dengan baik sebagai karakter dan jati diri bangsa. Pancasila hanya menjadi alat legitimasi dan justifikasi, paling halus hanya dijadikan bahan pelajaran di tingkat sekolah untuk mencari angka kelulusan.

Bukan hanya penting mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara, tetapi lebih penting menanamkan Pancasila sebagai karakter bangsa. Generasi ini sudah terlalu jauh masanya untuk melihat dan mempelajari dengan baik perdebatan dalam perumusan dasar negara kala itu. Akibatnya, mereka lupa ada nilai berharga yang harus dipertahankan dari prinsip yang bernama Pancasila.

Kalimat yang sangat relevan dari Soemarno Soedarsono yang dikutip secara baik oleh Buya Syafii Maarfi dalam bukunya Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan kemanusiaan : When wealth is lost, nothing is lost. When health is lost, something is lost. When character is lost, everything is lost. Kutipan ini sangat reflektif betapa ketika karakter hilang maka itulah ancaman terbesar bagi diri seorang termasuk sebuah bangsa. Karena itulah, sejak dini Pancasila harus didesain kembali untuk ditanamkan menjadi sebuah karakter, bukan sekedar kampanye dan sosialisasi dasar negara. Pancasila harus menjadi nafas kultural dan kebangsaan seluruh masyarakat yang tercermin dalam sikap berbangsa dan bernegara.

This post was last modified on 8 Juni 2020 2:07 PM

mawaddah

View Comments

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

19 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

19 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

19 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

19 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago