Indonesia merupakan negara dengan yang sangat majemuk. Dihuni beragam ras, suku, etnik, tradisi, budaya, dan agama. Dalam realitas majemuk itulah, agama Islam berkembang menjadi mayoritas agama yang dipeluk oleh warga negara Indonesia. Oleh karena itu, timbulnya konsepsi Islam tentang prulaitas adalah hal yang sangat wajar dan sangat perlu dipertimbangkan dengan sangat baik, dalam memetakan banyaknya konflik etno religius yang terjadi di Indonesia.
Naasnya, persoalan yang paling rumit dalam diskursus keislaman saat ini adalah terkait bagaimana menerapkan konsep prulaitas sebagai bagian dari nilai-nilai ajaran Islam di ruang publik. Khususnya adalah relasi antara Islam dengan negara-bangsa (nation-state). Bagi ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah sebenarnya persoalan konsep negara-bangsa sudah tuntas dengan diakuinya Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara.
Namun, seiring dengan perkembangan waktu dan hadirnya beragam pemahaman keagamaan Islam, pemahaman negara-bangsa tersebut lambat laun menjadi pudar dan meluntur. Oleh karena pemahaman keagamaan yang minim disertai minimnya pemahaman tentang ideologi negara, beberapa kalangan pun terjebak dalam narasi radikalisme dan terorisme hingga rela melakukan aksi bunuh diri demi membela keyakinan yang ia miliki.
Hanya saja, perlu dipahami bahwa secara substantif Islam hadir sebagai ajaran yang di dalamnya mengatur kehidupan manusia di bumi (khalifatullah fil ardli). Islam juga hadir untuk menebar kedamaian bagi seluruh alam semesta (rahmatan lil’alamiin). Namun, Islam sebagai paham keagamaan mengandung banyak penafsiran dari para pemeluknya sendiri.
Baca juga : Multikulturalisme Sebuah Keniscayaan Indonesia
Di Indonesia, banyak ragam paham keislaman, baik yang dipengaruhi oleh sistem ideologi yang bersumber dari ideolognya masing-masing, sistem mazhab fikih, maupun bentuk manhaj yang lain menyebabkan terbentuknya berbagai ormas Islam yang antara satu dengan yang lainnya memiliki manhaj berpikir yang berbeda meskipun merujuk dari sumber hukum yang sama (Ali Muhtarom, 2018).
Secara lebih lanjut, kehadiran bentuk ideologi Islamisme, yang oleh Hasan Turabi diartikan sebagai “Muslim Politis, yang bagi mereka Islam adalah satu-satunya solusi, Islam adalah agama dan pemerintahan, dan Islam adalah konstitusi dan hukum,” menambah kerumitan tersendiri dalam menjaga dan merawat nation-state yang dalam konteks Indonesia disatukan pada dasar ideologi Pancasila.
Oleh karena itu, islamisme dan Islam adalah entitas yang berbeda. Islamisme mengklasifikasikan seluruh kalangan non muslim sebagai kuffar atau orang-orang kafir yang layak dibunuh. Meski dalam konteks kefanatikan beragama, Islamisme dapat dibenarkan, namun dalam bermuamalah dan berkebangsaan, pemahaman Islamisme perlu ditinjau ulang. Mengingat, ijtihad politik kebangsaan dari para pendiri bangsa yang telah dilakukan berpuluh-puluh tahun lalu telah menjadikan Pancasila sebagai dasar negara bukan Islam sebagai landasan bernegara. Tapi, itu bukan berarti menjauhkan Indonesia dari ajaran Islam, karena pasal Ketuhanan Yang Maha Esa yang merupakan ajaran Islam juga termaktub di dalamnya.
Perlu dipahami, pemahaman Pancasila merupakan jalan tengah antara pemahaman kalangan sekuler kiri dan yang islamis kanan. Pancasila sebagai pengejawentahan substansi ajaran Islam belum tuntas dipahami oleh sebagian dari mereka umat Islam yang pada kondisi tertentu mempersoalkannya karena dianggap bukan sebagai dasar negara yang berasal dari konstitusi Allah (hukum Allah). Bahkan ada sebagian dari mereka yang menyebutnya sebagai “thaghut“.
Ketidaktahuan tersebut tentu sangat berbahaya karena bisa berdampak pada pemahaman yang kurang tepat pada generasi muda muslim terkait pemahaman Pancasila. Dan selanjutnya, mempengaruhi generasi milenial muslim sehingga enggan mengakui Pancasila sebagai dasar negara. Apalagi ikut-ikutan meneriakkan tuntutan penerapan syariat Islam dengan upaya untuk mengganti Pancasila dengan dasar negara Islam.
Karenanya, persoalan mendasar yang perlu diselesaikan dalam konteks beragama adalah penanaman prinsip moderasi beragama. Hal ini hanya bisa tumbuh apabila paham keagamaan disampaikan secara kaffah, sehingga tidak ada lagi penyalahgunaan tafsir ajaran agama dan terjadi kekerasan dalam beragama. Di samping itu, pemahaman tentang falsafah Pancasila juga harus ditanamkan bagi seluruh generasi bangsa. Dalam artian, mereka bukan hanya diminta untuk menghapal dan belajar Pancasila dalam ruang kelas, namun juga menerapkannnya dalam kehidupan sehari-hari. Desain pembiasaan kalangan muda dengan suasana kebinekaan sangat penting agar generasi bangsa tidak terjebak dalam eksklusivisme identitas ras, suku, dan agama yang notabene bisa memicu mudah masuknya pemahaman radikal yang mengatasnamakan agama.Wallahu a’lam.
This post was last modified on 29 November 2019 2:35 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
View Comments