Narasi

Pancasila Kokoh, Ideologi Radikal Rontok

Dalam rangkaian sejarah lahirnya Pancasila, tidak bisa kita pungkiri bahwa Pancasila lahir sebagai wakaf umat Islam utuk bangsa ini. Keikhlasan dan kelegowoan para pemimpin Islam waktu itu untuk menghilangkan tujuh kata dalam draf Piagam Jakarta menandakan bahwa persatuan bangsa jauh lebih penting dibandingkan primordialisme keagamaan. Dan pada akhirnya peneguhan beragama atas rakyat Indonesia telah termaktub dalam sila pertama Pancasila yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berarti bangsa Indonesia adalah bangsa yang beragama.

Dalam beberapa kesempatan, seringkali kita membaca atau mendengar istilah “Pancasila itu Islam banget”, dalam perspektif kekinian yakni cara pandang generasi milineal seperti terkesan ‘lebay’, atau mungkin justru narasi seperti ini yang memudahkan generasi milineal untuk memahami apa itu Pancasila. Dalam beberapa kesempatan mengisi seminar atau diskusi kebangsaan, saya selalu memancing audien dengan pertanyaan, siapkah anda mati demi Pancasila ?. Kemudian saya coba menyambung dengan analog yang sederhana, kalau kita (agama apapun) mau mati demi agama kita karena ada iming-iming surga, bagaimana dengan Pancasila.

Jika dipahami secara letterlijk maka bisa jadi pertanyaan saya tersebut mengesankan adanya ‘thogut’ baru yakni Pancasila, padahal bukan narasi seperti itu yang saya harapkan. Secara sederhana saya mencoba menjelaskan, dengan pertanyaan, manakah dibagian sila-sila Pancasila yang mengingkari prinsip agama, utamanya ajaran Islam? dengan spontan dijawan tidak ada. Lalu siapkah mati demi Pancasila ? jawabannya tentu sesuai dengan pemahaman seseorang atas apa yang ia yakini. Jika ia meyakini bahwa Pancasila adalah nilai nilai Islam yang terlembagakan dalam wadah yang bernama Ideologi negara, maka memilik membela Pancasila bisa dikatakan membela nilai nilai agama yang hidup dalam negaranya. Sungguh aneh jika kemudian menganggap Pancasila sebagai ‘thogut’ atau sesembahan selaian Allah, karena memang Pancasila tidak untuk dijadikan sembahan atau Tuhan. Disinilah kemudian kebijaksaan dalam menyikapi Pancasila dan menyandingkannya dengan nilai agama (Islam) menjadi keniscayaan, terutama umat Islam.

Lawan Radikalisme

Bangsa Indonesia telah menapaki usia ke-73 tahun, pun dengan semakin bertambahnya usia, pada kenyataannya bangsa ini masih saja dihadapkan dengan problematika ideologis dan nasionalisme, salah satunya praktek radikalisme yang masih menjadi ancaman bagi keutuhan negara. Matinya Santoso sebagai salah satu gembong teroris dalam realitasnya tidak serta merta mematikan aksi terorisme maupun radikalisme, bahkan bukan tidak mungkin justru memantik aksi-aksi terorisme yang lebih radikal.

Tidak bisa dipungkiri Bangsa Indonesia yang memiliki keanekaragaman budaya tentunya memiliki potensi yang sangat besar bagi tumbuh kembangya pemahaman dan gerakan radikal, baik yang mengatasnamakan agama, suku dan golongan. Menjadi suatu keniscayaan bahwa realitas sosial ini menjadi penyebab seringnya terjadi konflik horisontal di masyarakat, salah satunya yang sangat disayangkan yakni aksi radikal yang mengatasnamakan agama. Munculnya pemahaman dan sikap radikal atas bangsa ini tentunya menjadi fokus kajian yang sangat menarik untuk diteliti, mengingat pamahaman (ideologi) radikal tidak hanya terjadi dalam arus lokal-nasional, akan tetapi justru pemahaman tersebut sangat mungkin diinternalisasi oleh wacana global atas isu keagamaan yang selama ini terjadi. Sebagai bangsa yang berideologikan Pancasila, tentunya fenomena gerakan radikal menjadi bahaya laten yang harus segera diselesaikan

Masih segar dalam ingatan kita sekitar beberapa tahun yang lalu, adanya kasus radikalisme yang mengatasnamakan agama, setelah kasus pembakaran masjid di Tolikara, Papua, tidak berselang lama kemudian muncul pemberitaan dibakarnya gereja di Singkil, Aceh. Merebaknya kasus kekerasan yang didasari oleh sentimen agama perlu mendapat perhatian dari negara, utamanya berkaitan dengan upaya resolusi paska konflik agar kejadian serupa tidak terulang di masa mendatang. Bangsa Indonesia dengan basis kemajemukan yang begitu luar biasa tentunya menjadi lahan yang sangat potensial bagi lahirnya aksi radikal baik yang dilatarbelakangi oleh sentimen agama, suku, dan golongan.

Ideologisasi Pancasila

Radikal sendiri dipahami sebagai suatu sikap ekstrim atau keyakinan yang tidak memberikan ruang toleransi kepada kelompok yang tidak sepaham dengannya. Pemahaman diatas tentunya sangat tidak relevan jika kemudian dikontekstualkan dengan nilai maupun ajaran agama yang selalu mengarahkan umatnya untuk menjunjung tinggi sikap toleransi. Disamping itu, sebagai negara yang berideologikan Pancasila dimana ruang toleransi dan kerukunan antar umat beragama menjadi pilar penting dalam membangun tatanan demokrasi yang lebih Pancasilais tentunya sangat menentang adanya sikap intoleransi yang secara sporadis akan mengarah pada lahirnya bibit-bibit konflik di masyarakat.

Bangsa ini sedang berada pada persoalan yang besar, tidak hanya dalam konteks politik dan ekonomi, namun justru yang lebih berbahanya yakni pada ranah sosial-budaya, disadari atau tidak kita telah dimasuki oleh pemikiran-pemikiran radikal yang bertujuan untuk memecah belah rakyat Indonesia. Tentunya ini menjadi relevan jika kemudian dikontekstualkan dengan pesan Soekarno ketika memberikan pidato kenegaraan pada tahun 1956, bahwa suatu bangsa tanpa adanya keyakinan tidak akan bisa berdiri,“nation without faith can’t stand”. Pemaknaan atas kata keyakinan ini yang bisa kita pahami sebagai suatu agama (religion) dan ideologi negara (ideology) yakni Pancasila. Maka jelas bahwa munculnya gerakan radikal serta sikap intoleransi bukanlah karakter dari bangsa ini.

Epilog

Berangkat dari realitas tersebut maka dapat disimpulkan ada bahaya laten yang mengancam integrasi bangsa. Sebagai negara yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan berpegang pada Pancasila maka sikap intoleransi yang ditunjukkan dengan aksi radikal tidak bisa di terima olah nalar apapun. Problematika ini harus segera diselesaikan, dan  menjadi tanggung jawab dari negara untuk segera melakukan langkah strategis. Tanggung jawab ini juga menjadi pekerjaan rumah bagi perguruan tinggi sebagai salah satu institusi yang memiliki kewajiban untuk memberikan edukasi serta pembudayaan Pancasila pada masyarakat, khususnya generasi muda.

Agung SS Widodo, MA

Penulis adalah Peneliti Sosia-Politik Pusat Studi Pancasila UGM dan Institute For Research and Indonesian Studies (IRIS)

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

11 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

11 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

11 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago