Narasi

Pancasila; Kontrak Sosial dan Pemersatu Bangsa

Pancasila sebagai “ideologi negara” bersifat komprehensif berkembang pada tahun 1960-an. Pada awal kelahirannya; 1 Juni 1945, Pancasila tidak lebih dari sebuah kontrak sosial, sebagaimana hasil penelusuran Onghokham dan Andi Achdian, sejarawan dari Universitas Indonesia (Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas, 2006: 107). Hal serupa ditegaskan oleh Gus Dur yang menyatakan, proses penerimaan NU (Nahdlatul Ulama) terhadap Pancasila bukan karena paksaan, melainkan dengan kesadaran berbangsa-negara (Tempo, 21 Maret 1997).

Pancasila sebagai ideologi bangsa tentunya sah-sah saja jika dikatakan sebagai kontrak sosial. Pancasila tidak lahir dari seorang tokoh atau ulama, melainkan melalui perdebatan dan negosiasi dalam tubuh BPUPKI dan PPKI ketika menyepakati dasar negara yang kelak digunakan untuk Indonesia yang merdeka. Pancasila tidak lahir berdasarkan kepentingan sepihak atau golongan, tetapi atas dasar kepentingan bersama yakni negara dan manusia di dalamnya.

Pancasila yang menjadi ideologi bangsa, berisi visi dan misi yang tertuang di dalam kelima silanya. Sila Pertama “Ketuhanan yang Maha Esa” lahir melalui diskusi yang panjang disertai perdebatan. Sila pertama pada Piagam Jakarta yang berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” mendapat respon keberatan dari sejumlah kalangan selama proses sidang BPUPKI dan PPKI, sehingga mengalami pencoretan pada tujuh kata di dalamnya dan berakhir pada kalimat “Ketuhanan yang Maha Esa” sebagai sila pertama (As’ad Said Ali, Negara Pancasila, 2009: 53).

Pada sila pertama; Ketuhanan yang Maha Esa, adalah wujud dari demokratisasi para Founding Father yang menghindari terbentuknya negara sekuler; negara yang terpisah dengan urusan agama, dan tidak menghendaki sebuah negara yang berdasarkan hukum agama Islam (Negara Syariah). Pancasila melalui sila pertama, memberikan kebebasan dan pemenuhan hak-hak kepada warga negara Indonesia untuk beragama sesuai dengan keyakinan yang dimiliki. Hal tersebut tertuang dalam UUD 1945 pasal 28E ayat 1.

Pada sila Kedua; Kemanusiaan yang adil beradab, adalah penguatan dari sila pertama tentang peran agama yang akan menjadi kering dan tidak sesuai dengan pokok ajaran agama. Agama yang sarat dengan pengajaran pada nilai-nilai positif untuk diamalkan para pemeluknya, yakni manusia yang memiliki sikap adil dan beradab.

Kemudian, sila ketiganya yang berbunyi “Persatuan Indonesia”, Pancasila tidak luput menanamkan pesan persatuan dan kesatuan terhadap rakyat dalam bernegara. Pancasila sejatinya memiliki pesan yang  terkandung pula dalam agama Islam, yakni hubbul wathon minal iman; cinta tanah air adalah sebagian dari iman. Lantas apa yang harus digugat oleh sebagian golongan yang menganggap Pancasila sebagai Thogut atau berhala, sementara nilai-nilai Islam pun terkandung didalamnya?

Sila keempat; kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan, mendorong pada sebuah pertanggungjawaban dari para pemimpin negara untuk bersikap terbuka pada setiap usulan, keluhan yang berasal dari warga negara Indonesia tanpa terkecuali.

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia adalah bunyi sila kelima dalam Pancasila. Sebagaimana pernyataan Gus Dur di atas, dapat dipahami bahwa NU menerima Pancasila atas dasar berbangsa tanpa memprioritaskan sebuah agama maupun golongan. NU murni memposisikan diri sebagai bagian dari warga negara Indonesia yang turut memperjuangkan nilai keadilan bagi warga lainnya.

Pancasila adalah hasil rumusan Founding Fathers yang sesuai dan tepat bagi negara Indonesia. Pancasila adalah konsep utuh yang terurai dalam setiap silanya, terkait dan tidak memilki kontradiksi antara sila-sila di dalamnya. Konsep utuh yang terkandung dalam sebuah bangsa (Indonesia), yakni berketuhanan, masyarakat yang adil dan beradab, membina persatuan, pemimpin yang mengedepankan musyawarah dalam mengambil keputusan, untuk terciptanya keadilan sosial sebagai harapan menjadi bangsa ideal.

Pancasila sebagai Ideologi bangsa yang muncul dari kontrak sosial (persetujuan bersama) dengan misi menjadi pemersatu bangsa dan cita-cita luhur dalam kelima silanya. Keluhuran nilai yang terkandung dalam Pancasila justru dianggap sesat, Thogut oleh golongan yang mengidamkan berdirinya hukum Syariah di Indonesia.

Pancasila yang sarat dengan visi-misi terhadap ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kebijaksanaan dan keadilan tersebut selayaknya menjadi pijakan untuk menjalankan hidup berketuhanan dan bernegara secara toleran. Kaburnya pemahaman oleh golongan yang tidak setuju terhadap Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia, memunculkan pertanyaan: sudahkah mereka memahami hasanah dari nilai dan cita-cita yang terkandung dalam Pancasila?

ACHMAD ZAKARIA

Mahasiswa Pascasarjana UIN Walisongo dan Anggota LPM IDEA

Recent Posts

Nasionalisme, Ukhuwah Islamiah, dan Cacat Pikir Kelompok Radikal-Teror

Tanggal 20 Mei berlalu begitu saja dan siapa yang ingat ihwal Hari Kebangkitan Nasional? Saya…

16 jam ago

Ironi Masyarakat Paling Religius: Menimbang Ulang Makna Religiusitas di Indonesia

Indonesia kembali dinobatkan sebagai negara paling religius di dunia menurut dua lembaga besar seperti CEOWORLD…

16 jam ago

“Ittiba’ Disconnect”; Kerancuan HTI Memahami Kebangkitan Islam

Meski sudah resmi dibubarkan dan dilarang beberapa tahun lalu, Hizbut Tahrir Indonesia alias HTI tampaknya…

19 jam ago

Kebangkitan Nasional, Ki Hadjar Dewantara, dan Kejawen

Nasionalisme, sejauh ini, selalu saja dihadapkan pada agama sebagaimana dua entitas yang sama sekali berbeda…

2 hari ago

Membangun Sinergi Gerakan Nasional dan Pembaruan Keagamaan

Kebangkitan Nasional pada awal abad ke-20 bukan sekadar momentum politis untuk meraih kemerdekaan. Lebih dari…

2 hari ago

Cahaya dari Madinah: Pendidikan dan Moderasi sebagai Denyut Nadi Peradaban

Pada suatu masa, lebih dari empat belas abad silam, Yatsrib, sebuah oasis di tengah gurun…

2 hari ago