Narasi

Pancasila: Penjaga Budaya dan Pencegah Adu Domba

Ketika menuliskan artikel ini Penulis teringat perbincangan santai lima tahun yang lalu dengan salah seorang pendidik yang juga berposisi sebagai ketua RT di kampungya. Dalam perbincangan tersebut beliau mengeluhkan dua hal yakni Pertama, kondisi anak muda jaman sekarang yang tidak lagi mengenal tata krama atau budi pekerti jika berbicara dengan orang yang lebih tua serta ketidakpahaman mereka dalam mengamalkan Pancasila.

Kedua, sebagian masyarakat kita yang tidak lagi mampu mengamalkan Pancasila dengan baik dan benar. Rasa kebersamaan seolah-olah telah mati diganti dengan uang. Dengan kata lain, uang telah mengambil alih nurani untuk membangun ikatan kebersamaan dalam masyarakat. Beliau memberikan contoh sederhana yakni ketika gempa bumi mengguncang Yogyakarta pada tahun 2006. Sebelum bantuan sosial datang, masyarakat memiliki rasa senasib sepenanggungan yang begitu kuat, mereka saling memahami satu dengan lain karena berada pada situasi yang sama, sehingga apa yang dimiliki oleh pribadi menjadi milik bersama, tanpa perasaan ini niscaya mereka tidak akan bisa bertahan hidup.

Lalu semua menjadi berbeda ketika bantuan sosial, utamanya dalam bentuk bantuan uang digulirkan oleh pemerintah, bonding social (ikatan sosial) yang semula sangat terlihat dalam tubuh masyarakat kemudian menjadi hilang, yang terlihat adalah keinginan (nafsu) untuk memperoleh bantuan sebanyak mungkin. Realitas tersebut menjadi suatu keniscayaan yang seringkali kita temui di masyarakat.

Pada titik ini  tentunya  akan muncul suatu pertanyaan, dimanakah Pancasila ? atau justru pertanyaan sebaliknya, dimana masyarakat kita yang dulu begitu guyub dan rukun ?. jangan-jangan bukan Pancasila yang meninggalkan kita, akan tetapi kita lah yang meninggalkan Pancasila. Harus diakui problematika ideologis yang dihadapi oleh bangsa ini tidak lain adalah ketidakmampuan masyarakat untuk memahami sekaligus mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Lalu kemudian muncul pertanyaan retorik, Pancasila terlalu abstrak untuk diamalkan ?.

Baca Juga : Provokasi Virtual dan Masa Depan Persatuan Bangsa

Pemahaman seperti ini jelas salah, justru Pancasila lah, kristalisasi dari nilai yang selama ini hidup di masyarakat, sebagaimana Soekarno pernah menyampaikan bahwa dirinya adalah penggali Pancasila, yang bisa dimaknai bahwa Soekarno telah melakukan perenungan atas tata nilai dan norma yang selama ini berlaku di masyarakat. Dengan ini jelas sudah bahwa Pancasila adalah nilai yang kemudian dapat mewujud sebagai norma yang dapat diimplementasikan secara konkret.

Secara sederhana, mengamalkan Pancasila berarti menjaga budaya dan tradisi bangsa yang sudah turun temurun selama ratusan tahun. secara kultural bangsa ini memahami konsep Ketuhanan yang Berkebudayaan, dimana aspek budaya dan adat istiadat kita sangat relevan untuk dimaknai pada aras transendental dimana nilai-nilai ke-Tuhan-an hadir dan menjadi hikmah. Pun, disisi yang lain konsep keadilan sosial yang menjadi tujuan dari bernegara juga sudah hadir dalam perilaku masyarakat dengan adanya iuran sosial, pralenan (iuran/bantuan kematian), arisan, dan lain-lain. Kita harus memahami, wajah masyarakat kita ini adalah wajah dari implementasi Pancasila. Maka sangat mengherankan jika masyarakat tidak memahami fitrah yang selama ini ada dan hidup dalam urat nati kehidupan mereka.

Bangsa Indonesia lahir karena adanya perbedaan (pluralism) dimana kemudian diikat oleh Pancasila dan slogan “bhinneka tunggal ika”, disinilah pentingnya memperjuangkan persatuan dalam keberagaman, nir adu domba primordialisme, dan semua itu bisa hadir ketika bangsa ini memahami dengan baik nilai-nilai Pancasila. Kita telah memiliki ‘ideologi’ yang menjadikan iri bangsa-bangsa lain dan kita memiliki rakyat yang menjadi mesiu dalam memperjuangkan kemerdekaan.

Menarik jika kita kembali melihat apa yang dikatakan oleh Soekarno pada Pidato Peringatan Lahirnya Pancasila di Istana Negara pada tanggal 5 Juni 1958, dalam kesempatan itu Soekarno memberikan ceramah kepada para Pemuda Liga Pancasila yang berintikan perbedaan antara perjuangan rakyat Indonesia dengan rakyat India, yang berbunyi “rakyat India dapat mengalahkan imperialisme inggris, yang pada hakikatnya satu imperialisme dagang, satu handelsimperialism, dengan memobilisir kekuatan daripada satu nationale bourgeoisie yang sedang timbul. Sedang kita, saudara-sadaraku, tidak memiliki nationale bourgeoisie, oleh karena itulah perjuangan bangsa Indonesia mau tidak mau harus mempergunakan tenaga dari rakyat jelata. Secara historikal jelas sudah bahwa aras perjuangan kemerdekaan bangsa ini lahir dari rasa nasionalisme yang dimiliki rakyat Indonesia, bukan digerakkan oleh kaum borjuis sebagaimana India. Oleh karena itu, menjadi wajar kiranya jika ruh dari kemerdekaan bangsa ini tidak lain adalah perjuangan rakyat, dan seturut dengan hal tersebut, sudah sepantasnya jika tugas menjaga Pancasila menjadi tugas kita sebagai rakyat dan bukan siapapun. Sudah saatnya seluruh elemen bangsa ini kerja bersama untuk menjaga Pancasila dan membumikannya di tanah pertiwi.

This post was last modified on 9 Juli 2020 3:05 PM

Agung SS Widodo, MA

Penulis adalah Peneliti Sosia-Politik Pusat Studi Pancasila UGM dan Institute For Research and Indonesian Studies (IRIS)

Recent Posts

Kerapuhan Khalid Basalamah dalam Menyikapi Islamisasi Tradisi Lokal

Salah-satu sosok penceramah yang sangat gencar menolak islamisasi tradisi lokal adalah Khalid Basalamah. Bahkan, beberapa…

9 menit ago

Anggapan Keliru Kearifan Lokal dan Tradisi Menodai Akidah

Akidah mana yang tercemari oleh pujian-pujian kepada nabi, bunyi rebana, wewangi kemenyan, atau bahkan ziarah…

5 jam ago

Kearifan Tuhan dalam Kearifan Lokal

Peran “khalifah” adalah mandatory dari Tuhan yang Maha Kuasa yang dilimpahkan kepada manusia sebagai penduduk…

5 jam ago

Islam dan Kearifan Lokal : Jejak Dakwah Nabi Muhammad Mewujudkan Islam Rahmatan Lil Alamin

Dalam sejarah Islamisasi di jazirah Arab, Nabi Muhammad SAW sangat bijak dalam memberdayakan tradisi lokal…

1 hari ago

Belajar Kearifan Lokal dalam Relasi Islam-Kristen di Desa Ilawe

Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, dikenal akan kekayaan budaya, tradisi, dan kearifan lokalnya…

1 hari ago

Gejala Inferioritas Beragama; Dari Puritanisme ke Romantisisme

Fenomena keberagamaan kita hari ini diwarnai oleh gejala inferiority complex. Sejenis sindrom rendah diri atau…

1 hari ago