Perihal Pancasila sebagai ideologi NKRI merupakan konsensus yang sudah mapan sejak awal mula NKRI mendeklarasikan diri menjadi bangsa yang merdeka. Awalnya, terjadi sebuah perdebatan panjang terkait diterapkannya konsep negara-bangsa sebagai konstruksi NKRI dan Pancasila sebagai idelogi negara pada awal perumusannya. Dua kubu besar, yakni kubu Islam dan nasionalis, keduanya pernah mengalami dialektika yang sangat dinamis dalam tubuh Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) saat menjelang kemerdekaan. Kubu pertama diwakili oleh tokoh-tokoh Islam di antaranya Ki Bagus Hadikusumo, KH Abdul Kahar Muzakkir (Muhammadiyah), dan KH Wahid Hasyim (NU). Sedangkan kubu nasionalis dimotori oleh Soekarno, Hatta, dkk.
Dua kubu yang ada tersebut dilabeli dengan Islam dan nasionalis disebabkan oleh pandangan dan cita-cita politik mereka berkaitan dengan format atau konstruksi Negara Indonesia merdeka nantinya (Nasih, 2012). Disebut kubu Islam karena mereka menginginkan Indonesia merdeka diformat sebagai negara-Islam atau setidaknya menjadikan “Islam sebagai dasar negara”. Disebut kubu nasionalis karena mereka menginginkan Indonesia merdeka dikonstruksi sebagai negara-kebangsaan atau negara bangsa (nation-state).
Oleh karena konsep negara-bangsa lahir di negara sekuler Barat, kubu Islam khawatir Indonesia menjadi negara sekuler karena pada dasarnya masyarakat Indonesia adalah masyarakat religius. Lalu, pandangan ini disanggah oleh Soekarno. Menurutnya, negara-bangsa Indonesia tidak hendak mengesampingkan agama. Bahkan, dalam negara-bangsa, agama akan dimerdekakan dari negara dan sebaliknya negara juga dimerdekakan dari agama, sehingga masing-masing bisa kuat. Dalam sebuah negara-bangsa, warga negara tetap memiliki kesempatan untuk memeluk agama tertentu karena negara memberikan kebebasan kepada warganya beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianut.
Disinilah, lalu ditemukan kesepakatan bahwa NKRI lahir dengan format negara-bangsa dan Pancasila menjadi jalan tengah perekat kebhinnekaannya. Karena, jika salah satu agama saja yang diakui menjadi dasar negara, sentimen teologis dapat memupuk perpecahan. Sejarah mencatat, perdebatan panjang juga terjadi pada penetapan sila pertama Pancasila yang awalnya berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” atas usul Ki Bagus Hadikusumo, Ketua Hoof Bestur Muhammadiyyah waktu itu. Hal ini karena ada keberatan dari suatu kelompok atas tambahan tujuh kata tersebut, yang dikhawatirkan dapat menjadi ancaman keluar dari negara Indonesia yang baru mengawali cita-cita kemerdekaan.
Dari itu, jelaslah ada kelapangdadaan dalam diri kubu Islam yang menyadari bahwa persatuan sangat penting dalam bangunan kokoh Indonesia merdeka. Mereka menyadari bahwa Pancasila adalah perekat kebhinnekaan NKRI, yang menurut Clifford Geertz (Hardiman, 2002: 4) sangat sulit melukiskan anatomi kemajemukan Indonesia secara persis. Pancasila adalah harga final dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia karena digali dari rahim bangsa Indonesia sendiri.
Hanya saja, kini, muncul lagi kelompok yang ingin mendirikan Republik Indonesia berdasar khilafah dengan berideologi Islam (berdasar salah satu agama). Tentu saja, hal tersebut tidak dapat dibenarkan karena akan menuai penolakan dan konflik yang bisa berujung pada pertumpahan darah. Lagipula, pembentukan NKRI berdasarkan Pancasila merupakan kristalisasi cita-cita kolektif bangsa Indnesia yang majemuk (Din Syamsuddin, 2015: 279). Itulah hasil ikhtiyar panjang perjalanan bangsa dalam lintasan sejarah yang tidak boleh dilupakan demi kemajuan negara kita bersama.
Tidak dapat Dipisahkan
Perlu dipahami, Pancasila dan NKRI tidak akan pernah dapat dipisahkan. Pancasila mencerminkan kita sebagai bangsa Indonesia. Pancasila ibarat Piagam Madinah bagi masyarakat Indonesia karena turut membawa semangat tersebut dalam diri bangsa Indonesia.
Kita ketahui bersama bahwa Nabi Muhammad SAW pernah mencatat sejarah dengan merajut kebersamaan menuju tegaknya peradaban kemanusiaan, yaitu peradaban yang berdiri tegak di atas keanekaragaman agama, budaya dan ras dengan konsensus piagam madinah. Di Madinah, Nabi Muhammad SAW menyaksikan langsung kenyataan sosial masyarakatnya yang begitu beragam. Dalam melihat keyataan sosial tersebut, tak ada niat sedikitpun baginya untuk memingirkan mereka, apalagi memusuhinya. Justru di tegah keanekaragaman tersebut, Nabi Muhammad SAW hadir untuk menawarkan jalan damai, agar setiap agama dan kelompok bebas menjalankan keyakinan dan aktivitas sosialnya dengan aman.
Hal tersebut terlihat saat Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, yang pertama kali dilakukan adalah mepersaudaraan kaum Muhajirin dan Ansar. Pilihan ini, selain untuk menciptakan suasana damai di kota itu, juga Rasulullah SAW ingin memperlihatkan kepada sahabatnya bahwasanya persaudaraan jauh lebih tinggi posisinya ketimbang ikatan kekeluargaan. Kenapa demikian? Karena ikatan persaudaraan mampu melampui batas etnis, agama, budaya, suku, dan ras. Sementara ikatan kekeluargaan hanya akan mengiring manusia menjadi eksklusif, dan nepotisme, yang justru dapat melegalkan penindasan bagi orang-orang di luar keluarga.
Dari apa yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad kepada umatnya, terlihat bahwa ajaran persaudaraan dan perdamaian harus selalu diutamakan. Bukan kekerasan yang mengancam keberagaman. Ini penting untuk dipahami, mengingat perdamaian adalah kebutuhan mendasar dalam kehidupan umat manusia. Dalam konteks ini, toleransi menjadi jalan terbaik untuk menyelesaikan perbedaan, bukan kekerasan. Oleh karenanya, dengan visi rahmatan lil’alamin (rahmat bagi semesta alam) tersebut, Nabi ingin mengikis prilaku intoleransi, sebab prilaku intoleransi tidak hanya membuat manusia tergangu secara sosial dan ekonomi, tapi juga akan berefek pada kekhusyu’an manusia dalam beribadah.
Dalam Q.S. Ali Imron ayat 103, Allah berfirman “Dan berpegangteguhlah kalian pada tali Allah dan janganlah berpecah-belah…”. Artinya, umat Islam sebagai pewaris spirit Piagam Madinah harus lebih menekankan persatuan dan rahmat daripada pemaksaan ide yang berujung perpecahan. Wallahu a’lam.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…