Deretan Terorisme di Lingkungan Kerja Pemerintahan
Publik kembali dikejutkan dengan penangkapan tersangka teroris dengan latar belakang karyawan PT KAI sebagai salah satu BUMN. Tersangka teroris berinisial DE (28), menurut keterangan dari Densus 88, sebelum masuk ke BUMN tersebut, telah berbaiat ke ISIS yang tergabung dengan Mujahidin Indonsia Barat (MIB). Dari hasil penggeledahan ditemukan belasan pucuk senjata dan amunisi.
Penangkapan DE menambah daftar teroris dengan latar belakang karyawan dan pegawai di lembaga pemerintahan. Sebelumnya, 10 September 2021, salah satu Karyawan Kimia Farma berinisial S ditangkap Densus 88 di Bekasi karena terafiliasi dengan Jamaah Islamiyah (JI). Pada November 2019, seorang karyawan inisial QK sebagai staff setingkat supervisor di PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. ditangkap karena terafiliasi dengan jaringan terorisme.
Tidak berhenti di situ saja, pada tanggal 27 Juli 2018, seorang pria berinisial AHD alias Opung (46), karyawan PT PLN Wilayah Riau diamankan oleh aparat yang diduga terlibat tindak terorisme. Dia diduga sebagai penyandang dana aksi yang hendak dilakukan pasca kerusuhan Mako Brimob, Depok.
Tidak hanya di lingkup BUMN, radikalisasi di lingkungan Pegawai Negeri Sipil (PNS) juga tidak sedikit. Misalnya, pada Maret 2022, seorang PNS inisial TO (46) yang bekerja di Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Tangerang di Kabupaten Tangerang ditangkap karena diduga terlibat tindakan terorisme. Suami dari PNS Kemenag Kanwil Jawa Timur bernama Budi Satrio ditembak tim Densus 88 pada Mei 2018.
Pada Desember 2017, Densus pernah menangkap seorang pegawai Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kutai Kartanegara (Kukar), bernama Mujakir (37) karena diduga jaringan terorisme. Begitu pula, Achmad Ridho Wijaya, kepala seksi simpul transportasi atau terminal Dinas Perhubungan (Dishub) Kabupaten Malang, ditangkap Densus 88 Antiteror pada 19 Februari 2016 di Malang.
Pada tahun 2015 silam, Seorang PNS di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan berinisial RY ditangkap oleh prajurit Komando Rayon Militer (Koramil). RY pejabat pelaksana teknis kegiatan (PPTK) Dinas Pekerjaan Umum Luwu Utara.
Tentu kita masih ingat pada masa era kejayaan propaganda ISIS, eks PNS Kementerian Keuangan insial Triyoni Utomo Abdul Sakti (40) pernah dideportasi oleh otoritas keamanan Turki dengan tujuan awal bergabung ke ISIS. Cerita lainnya yang pernah mengejutkan datang dari Mantan Direktur Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Badan Pengusahaan Kawasan Batam (BP Batam), Dwi Djoko Wiwoho. Jabatannya bukan kelas biasa, tetapi pejabat teras di BP Batam.
Menanggapi kasus DE, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD membenarkan banyaknya pegawai BUMN dan ASN yang terpapar oleh terorisme. Kejadian itu harus diakui lemahnya pengawasan di internal lingkungan kerja dalam mencegah penyebaran ideologi radikal. Dari aspek pengelolaan profesionalitas kerja memang tidak menjadi persoalan, namun yang luput disadari adalah aspek ideologis dari pekerja yang kurang mendapatkan perhatian.
Mengenali Narasi Ideologis di Lingkungan Kerja
Adanya penangkapan tersebut mengindikasikan bahaya radikalisme dan terorisme telah benar-benar masuk hingga jantung pemerintahan dan berada nyaman di tengah masyarakat. Ada tiga hal yang perlu dicermati. Pertama, pengawasan internal dan rekrutmen di lingkungan kerja yang masih lemah. Kedua, perubahan pola kelompok radikal yang memanfaatkan ruang lembaga pemerintahan sebagai sarang penyebaran paham radikal. Ketiga, belum kuatnya deteksi dini yang dimiliki masyarakat dalam menangkal paham radikal terorisme.
Persoalan pertama terkait manajemen dan pengawasan internal memang sangat dibutuhkan di masing-masing instansi. Perubahan pola kelompok radikal terorisme di lingkungan kerja tidak hanya berasal dari kelompok afiliasi JI, tetapi kelompok afliasi ISIS juga sudah mulai masuk dalam jantung lembaga pemerintahan.
Pada kesempatan ini ada hal yang perlu dipahami sebagai benteng diri dan upaya deteksi bagi pekerja agar tidak mudah terpapar paham radikal di lingkungan kerja. Ada narasi-narasi ideologis, sebagaimana dinyatakan Mahdud MD, untuk diwaspadai ketika menyebar di lingkungan kerja. Bagaimana mendeteksi hal tersebut?
Pada mulanya menjadi radikal diawali dengan terpapar dengan berbagai narasi. Beberapa narasi yang muncul dimasukkan secara halus dan lembut dibungkus dengan dalih cara beragama yang sempurna, pentingnya komunalitas dan solidaritas hingga butuhnya untuk aksi heroisme. Pola narasi akan bertingkat dari narasi keagamaan, narasi sosial kemasyarakatan, narasi politik-ideologis dan narasi heroik.
1. Narasi keagamaan
Dalam tahapan narasi ini, para pekerja sudah harus memiliki filter yang kuat. Biasanya mereka akan menyebarkan propaganda dan indoktrinasi dengan membungkus dengan kesalehan beragama. Isu-isu yang muncul misalnya :
Pada fase narasi ini, pembentukan identitas dan kesadaran berkelompok dengan menolak keberadaan kelompok lain sudah tercipta.
2. Narasi sosial-kemasyarakatan
Setelah narasi pembentukan jati diri dianggap selesai, para pekerja akan diajak pada narasi sosial-kemasyarakatan untuk mempertegas ekslusiftas. Beberapa narasi misalnya :
Dalam kasus tertentu, narasi memilih untuk bersosialisasi dan hanya berkomunitas dengan seagama dan sealiran atau dalam ruang kerja tidak harus resign, tetapi bertaqiyah untuk terus bekerja dengan mengajak lebih banyak pengikut.
3. Narasi politik
Jika tingkatan narasi sosial-kemasyarakatan sudah tuntas, pekerja akan diajak pada isu yang lebih strategis dan politis. Narasi yang muncul misalnya ;
4. Narasi heroik
Setelah terbentuk narasi-narasi kebencian yang dibungkus dengan mengeksploitasi doktrin keagamaan, mereka diajak untuk memiliki militansi untuk beraksi. Narasi yang muncul misalnya :
Tahapan penyebaran narasi tersebut di lingkungan kerja dilakukan secara perlahan dan biasanya dalam kelompok yang tertutup. Karena itulah, penting jika pekerja/pegawai menemukan narasi sejak dari awal sudah bisa mendeteksi untuk segera keluar dari kelompok ekslusif tersebut atau bisa melaporkan kepada teman dan atasan.
Tentu tidak semuanya harus dilakukan dengan cara stereotip. Perubahan keagamaan seseorang tidak lantas memudahkan kita untuk menuduh radikal atau teroris. Tahapan radikalisasi tidak instan. Mewaspadai dan mengenali sejak awal lebih berharga dari pada harus menyembuhkan ketika sudah terpapar.
Bersambung.. Mengenali Modus dan Kanal Radikalisasi di Lingkungan Kerja
This post was last modified on 22 September 2023 12:16 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…