Categories: Narasi

Parade Tauhid atau Parodi Tauhid?

Jika Allah menghendaki Parade Tauhid Indonesia (PTI) rencananya akan digelar oleh sejumlah orang pada 16 Agustus 2015, sehari sebelum peringatan kemerdekaan RI ke-70. Mereka disebut akan mengerahkan massa mengumandangkan dan membentangkan kalimat tauhid dalam aksi long marc dari Senayan – Bunderan HI – Monas.

Katanya, parade ini adalah rekomendasi Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) yang digelar Februari lalu. Katanya pula, parade ini adalah implementasi salah satu butir risalah KUII tentang peningkatan peran politik Islam di Indonesia. Dan katanya lagi, parade ini adalah awal kebangkitan Islam sebagai agama dan sistem politik. (Lihat keterangan resmi penyelenggara dalam www.paradetauhid.id ).

Dalam sejumlah iklan, media kampanye, dan rilis di sejumlah media nasional, panitia menyebut acara ini bertema syukuran atas kemerdekaan RI. Tentu saja acara seperti ini jauh lebih baik dari pada kontes dangdut atau hura-hura saat merayakan kemerdekaan. Karena hakikatnya –sebagaimana diakui dalam Pembukaan UUD 1945- kemerdekaan adalah ‘rahmat Allah yang Maha Kuasa’.

Tak bisa dipungkiri, ada beberapa hal yang masih sangat mengganjal, khususnya terkait motif sesungguhnya dari parade ini. Sudah pasti sebagai orang Indonesia yang ber-Pancasila, saya tidak akan mengomentari soal bentangan dan pekik tauhid yang akan berkumandang di sana. Karena ideologi Pancasila berikut produk konstitusi lainnya menjamin kemerdekaan berekspresi, apalagi yang berkaitan dengan keyakinan dan agama.

Namun, sejumlah tokoh yang mengiklankan –meski tidak semuanya- berikut website yang getol mengkampanyekan rencana aksi inilah yang membuat saya bertanya ulang apa motif sesungguhnya? Karena sejumlah tokoh, termasuk yang menjadi panitia, menyatakan bahwa parade ini didasari pada ‘penindasan’ negara terhadap umat Islam dan instrumen syariah. Ini aneh karena setahu saya negara tak pernah berkhayal memusuhi agama apapun. Tuduhan serius ini tidak pernah ada bukti.

Cerita manis yang menyebut parade ini untuk mensyukuri kemerdekaan 70 tahun RI pun pupus. Mengingat parade ini dikompori oleh sejumlah situs yang selama ini dikenal publik sebagai situs bermuatan negatif. Situs-situs itu terkesan ‘mengarahkan’ parade tauhid untuk kepentingan merubah ideologi negara. Sepak terjang beberapa Ormas –meski tidak semuanya- yang akan bergabung dalam parade ini pun dikenal tidak ramah terhadap NKRI dan Pancasila. Justru mereka kerap teriak merubah ideologi negara.

Lebih aneh lagi, sejumlah keterangan panitia yang dirilis beberapa media massa menyebut bahwa Parade Tauhid Indonesia adalah pelaksanaan amanat dan rekomendasi KUII. Padahal jika dibaca secara utuh risalah hasil KUII tersebut, tak ada satu butir pun yang merekomendasikan Parade Tauhid lewat aksi massa. Itulah faktanya!

Adapun butir yang menghimbau agar dilakukan penguatan dan kebangkitan politik Islam tidak semestinya keluar dari bingkai NKRI dan Pancasila, seperti gagasan mendirikan negara agama (khilafah). Karena butir-butir rekomendasi itu harus dibaca lengkap secara utuh, dimana dalam pendahuluan risalah disebut, “Bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 adalah puncak perjuangan dan cita-cita umat Islam Indonesia.”

Dengan demikian, semakin jelas bagi siapapun bahwa pernyataan parade ini berdasarkan risalah dan rekomendasi KUII sekedar klaim dan membohongi umat. Apalagi Ketua Steering Committee Kongres Umat Islam Indonesia, KH Slamet Effendi Yusuf, dengan tegas membantah keterkaitan KUII dengan Parade Tauhid.

Satu hal lagi yang menggelitik hati saya, yaitu soal penamaan Parade Tauhid Indonesia. Bagi saya penggabungan dua kata ‘Tauhid’ dan ‘Indonesia’ ini sangat lucu. Sebab sejumlah nama yang mengkampanyekan parade selama ini dikenal sebagai penentang konsep ‘Islam Nusantara’. Orang-orang itu beralasan bahwa istilah ‘Islam Nusantara’ adalah upaya mengkerdilkan makna Islam yang sejatinya bersifat universal, tidak tersekat geografis dan wilayah.

Dengan logika yang sama, menamakan acara dengan ‘Tauhid Indonesia’, sama artinya dengan membonsai makna Tauhid yang bersifat universal. Boleh jadi mereka berdalih bahwa maksud penamaan acara dengan ‘Tauhid Indonesia’ sekedar penanda bahwa kata ini merujuk pada gerakan Tauhid yang dilakukan oleh umat Islam Indonesia. Kalau begitu sama saja dengan ‘Islam Nusantara’, istilah ini juga merujuk pada praktek keislaman masyarakat Nusantara. Saya hanya menggunakan logika yang mereka bangun selama ini, dan ternyata mereka tidak konsisten. Inilah yang membuat hati saya terbahak-bahak.

Jelaslah sudah sekarang bahwa apapun acaranya, entah itu Parade atau lainnya, sah dilakukan di Republik ini selama menampilkan nilai-nilai kebangsaan dalam bingkai NKRI dan Pancasila. Bagi umat Islam Pancasila adalah puncak perjuangan dan cita-cita. Kecintaan kepada bangsa dan negara, apalagi di momen peringatan Kemerdekaan sama sekali tidak menyalahi prinsip-prinsip keislaman.

Semua komponen bangsa ini berharap acara serupa, termasuk Parade Tauhid itu sendiri senafas dan sejalan dengan konsep NKRI dan ideologi Pancasila. Jika tidak, -semoga tidak terjadi- umat Islam hanya akan melihat Parodi Tauhid. Na’udzu billahi min dzalik.

PMD

Admin situs ini adalah para reporter internal yang tergabung di dalam Pusat Media Damai BNPT (PMD). Seluruh artikel yang terdapat di situs ini dikelola dan dikembangkan oleh PMD.

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

48 menit ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

50 menit ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

52 menit ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago