Categories: Narasi

Jihad Untuk Indonesia

Indonesia akan segera memasuki usia 70 tahun pada tanggal 17 Agustus besok, sebuah pencapaian luar biasa karena selama rentang waktu itu negeri ini mampu terus bertahan dan bahkan tumbuh menjadi bangsa besar yang kian diperhitungkan. Sebagai sebuah bangsa, Indonesia telah berhasil menjaga keutuhan ditengah banyaknya perbedaan.

Negeri ini memanjakan kita dengan kemegahan sumber daya alam serta beragam tradisi dan adat istiadat yang membantu kita tumbuh menjadi bangsa yang kuat nan hebat. Sejarah telah pula menunjukkan bahwa negeri ini tidak mudah goyah meski setumpuk permasalahan datang dan menyerang dari berbagai arah.

Kita tentu patut bangga menjadi bagian dari Indonesia, karena di negeri yang kaya ini kita belajar dan berproses menjadi manusia yang seutuhnya, yang toleran dan mengutamakan persatuan.Melalui toleransi kita membangun negeri ini, dan dengan persatuan kita mampu menghindarkan bangsa ini dari segala ancaman perpecahan.

Hal tersebut tentu harus selalu dipertahankan karena tidak ada hal yang lebih menyakitkan selain menyaksikan negeri ini hancur berantakan hanya karena ulah sebagian orang yang tidak lagi berpegang pada kewarasan.

Di detik-detik menjelang perayaan sekaligus puji sukur atas kemerdekaan bangsa, kita mencium gelagat buruk dari segelintir orang yang malah sibuk menuai perkara dengan menebar hasutan murahan atas nama agama. Mereka yang tidak lagi mau berfikir menuduh bahwa negeri ini telah banting setir dan berubah menjadi negeri kafir, karenanya mereka berusaha menjaring sebanyak mungkin orang untuk kemudian didustai dan bermimpi bisa membuat negeri ini mati.

Usaha ‘kecil-kecilan’ ini terlihat dari munculnya propaganda di dunia maya yang menyatakan bahwa membela Indonesia tidak lagi utama karena hal itu tidak akan bisa menyelamatkan kita dari siksa neraka. Mereka –yang sebenarnya tidak seberapa ini– berusaha meyakinkan kita bahwa pondasi-pondasi utama yang dijunjung negeri ini bertentangan dengan perintah agama.

Bahkan dengan hanya berbekal pada penafsiran ajaran agama yang terlalu dipaksakan, mereka berusahan meracuni keindonesiaan kita dengan menyatakan bahwa pancasila adalah barang najis, sementara konstitusi merupakan produk iblis, karenanya layak untuk tidak digubris.

Ups! tunggu dulu…

Mengira bahwa pondasi negara Indonesia bertentangan dengan perintah agama tentu merupakan sebuah kesalahan besar, karena justru melalui konsitusi negara kita mengenal agama. Sila pertama dalam pancasila mengajarkan kita untuk mengenal konsep ketuhanan yang maha esa, hal ini kemudian dilengkapi dengan seperangkat undang-undang  negara yang memberikan jaminan kebebasan bagi kita untuk belajar dan mengamalkan agama.

Artinya, negara tidak pernah melawan agama, ia justru menuntun kita untuk mengenali dan mencintai agama. Bukankah negara membebaskan kita untuk berekspresi terkait apapun jenis agama yang kita percayai?

Indonesia memiliki kekayaan alam dan keragaman yang membuat kita mampu merasakan secara langsung keberadaan dan kasih sayang tuhan. Dan di negeri ini pula kita belajar bahwa agama tidak melulu soal surga dan neraka, tetapi juga dorongan untuk selalu bisa memberikan manfaat baik untuk sesama.

Indonesia memang bukan negeri sempurna, masih ada banyak persoalan yang tercecer dimana-mana, namun hal itu tidak lantas berarti bahwa kita boleh membencinya. Sama halnya dengan bangsa-bangsa lain di dunia, bangsa ini masih terus belajar dan berusaha untuk menjadi lebih baik disetiap harinya. Kita tentu tidak boleh hanya duduk diam dan menyaksikan tanpa melakukan hal nyata untuk perbaikan Indonesia, karena Indonesia adalah kita; yang cinta perdamaian dan kebal terhadap berbagai hasutan yang mencoba merongrong persatuan kita demi bualan-bualan yang menyesatkan.

Mari membangun Indonesia!

Khoirul Anam

Alumni Center for Religious and Cross Cultural Studies (CRCS), UGM Yogyakarta. Pernah nyantri di Ponpes Salafiyah Syafiyah, Sukorejo, Situbondo, Jatim dan Ponpes al Asyariah, kalibeber, Wonosobo, Jateng. Aktif menulis untuk tema perdamaian, deradikalisasi, dan agama. Tinggal di @anam_tujuh

Recent Posts

Soft Terrorism; Metamorfosa Ekstremisme Keagamaan di Abad Algoritma

Noor Huda Ismail, pakar kajian terorisme menulis kolom opini di harian Kompas. Judul opini itu…

21 jam ago

Jangan Terjebak Euforia Semu “Nihil Teror”

Hiruk pikuk lini masa media sosial kerap menyajikan kita pemandangan yang serba cepat berubah. Satu…

23 jam ago

Rejuvenasi Pancasila di Tengah Fenomena Zero Terrorist Attack

Tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila. Peringatan itu merujuk pada pidato Bung Karno…

23 jam ago

Menjernihkan Makna “Zero Terrorist Attack” : Dari Penanggulangan Aksi Menuju Perang Narasi

Dalam dua tahun terakhir, Indonesia patut bersyukur karena terbebas dari aksi teror nyata di ruang…

23 jam ago

Sesat Pikir Pengkafiran terhadap Negara

Di tengah dinamika sosial dan politik umat Islam, muncul kecenderungan sebagian kelompok yang mudah melabeli…

6 hari ago

Dekonstruksi Syariah; Relevansi Ayat-Ayat Makkiyah di Tengah Multikulturalisme

Isu penerapan syariah menjadi bahan perdebatan klasik yang seolah tidak ada ujungnya. Kaum radikal bersikeras…

6 hari ago