Berlalu sudah momentum Pilkada serentak di mana para calon serta pendukungnya menyuarakan visi-misinya memajukan setiap daerahnya. Kini, masyarakat sudah memilih, calon mana yang memenuhi aspirasi mereka. Para calon serta pendukungnya mengetahui dari hitungan cepat dari beberapa survei yang dilakukan para lembaga.
Pilkada serentak 2018 yang diselenggarakan di 171 daerah (17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota) tampaknya lebih menarik ketimbang pilkada serentak 2017. Dinamika pilkada serentak setahun yang lalu tenggelam lantaran didominasi ingar- bingar pemilihan gubernur Jakarta yang diwarnai isu serta sentimen berbasis SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Begitu ramai pemberitaan dan perbincangan masyarakat terkait tarik-menarik pasangan calon (paslon) dalam Pilgub Jakarta sehingga seolah-olah Pilkada 2017 hanya berlangsung di ibu kota negara. Padahal, saat yang sama, pilkada berlangsung secara serentak di 101 daerah yang mencakup 7 provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota di Indonesia.
Berbeda dengan Pilkada 2017 yang cenderung terpusat pada Pilgub Jakarta, suasana persaingan sudah tampak mencolok di sejumlah daerah dalam Pilkada 2018, baik di Jawa maupun luar Jawa. Kompetisi yang sangat ketat sekurang-kurangnya berlangsung di lima provinsi utama, yakni Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan. Ini menarik karena lima provinsi tersebut secara berurutan memiliki jumlah pemilih terbanyak, total mencapai 108,2 juta pemilih atau sekitar 67 persen dari sekitar 160,7 juta pemilih dalam Pilkada 2018. Secara teori, kemampuan parpol atau koalisi parpol memenangi pilkada di lima provinsi tersebut diperkirakan berpeluang pula memenangi kompetisi Pilpres 2019.
Hakikat dari proses pilkada merupakan upaya mencari pemimpin, yaitu kepala daerah yang memiliki kemampuan membangun dan memajukan. Bisa memaksimalkan sumber daya daerah demi kesejahteraan. Dalam pencalonan kepala daerah, parpol cenderung mengusung calon yang kemungkinan menangnya lebih besar. Bahwa ada parpol melakukan fit and proper test sebagai cara untuk mengetahui kemampuan kandidat, itu betul. Namun, ada indikator lain yang dipergunakan parpol.
Sebagai mesin elektoral partai biasanya melihat tiga faktor. Pertama tingkat elektabilitas yang diukur melalui pendekatan ilmiah survei. Kedua jaringan pendukung selain mesin partai politik. Ketiga kemampuan finansial dibutuhkan untuk membuat program kampanye yang dapat menjangkau pemilih. Tiga faktor di atas merupakan konsekuensi dari demokrasi terbuka yang kita anut.
Dari tiga faktor tersebut, yang sangat terasa dalam sosial-politik masyarakat adalah pendukung. Di mana pendukung yang “fanatik” akan menggunakan semua jalan demi memenangkan calonnya. Kasus yang sayang santer di dunia maya adalah kasus seorang guru yang dipecat melalui pesan WhatsApp.
Kabar pemecatan guru ini mulanya viral di media sosial Facebook. Informasi itu diunggah pemilik akun bernama Andriyanto Putra Valora yang merupakan suami dari guru tersebut. Dalam unggahannya, Andriyanto menyertakan keterangan mengenai seorang guru yang diberhentikan dengan tidak hormat, atau hanya melalui grup WhatsApp karena memilih pasangan Ridwan Kamil-UU Ruzhanul Ulum dalam Pemilihan Gubernur Jawa Barat.
Andriyanto juga mengunggah screenshoot percakapan WhatsApp guru tersebut dengan pihak sekolah. Dalam unggahan tersebut, terdapat percakapan yang intinya memperlihatkan bahwa sang guru tidak mau mengikuti arahan pihak sekolah untuk memilih salah satu pasangan calon wali kota-calon wakil wali kota Bekasi. Ia juga menolak arahan sekolah untuk memilih pasangan calon gubernur-wakil gubernur Jawa Barat tertentu.
Apa yang terjadi dalam kasus ini, sangat disayangkan di mana Pilkada merupakan jalan yang terbaik untuk memilih dan setiap warga negara dapat menentukan pilihan pemimpin sesuai dengan kehendak mereka. Pilkada merupakan ruang terbuka di mana semua warga dapat berdialog dan menyampaikan aspirasi tanpa adanya ancaman.
Selain itu diperlukan jiwa besar untuk saling berbagi kekuasaan (sharing power), akomodasi kebinekaan, dan komitmen kebangsaan bahwa kepen ting – an bangsa harus lebih dinomorsatukan di atas ambisi perseorangan dan golongan. Dalam konteks inilah Halaqah Kebangsaan seperti yang telah dimulai oleh Muhammadiyah dapat diselenggarakan oleh organisasi yang lainnya. Demokrasi yang kuat adalah prasyarat utama kemajuan bangsa. Wallahu a’lam
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…