Categories: Kebangsaan

Pelajaran Toleransi Dari Anak-Anak

Sore itu anak saya yang baru kelas 3 SD, Ain, mendatangi saya dan bercerita tentang kejadian yang ia alami ketika sedang bermain dengan teman-temannya siang tadi. Ain memang biasa bercerita, dan saya selalu bersemangat mendengarkannya. Tetapi apa yang ia ceritakan sore itu benar-benar membuat saya terharu.

Ain bercerita tentang percakapan antara Sin dan Naf. Sin adalah teman sepermainan Ain yang baru kelas nol besar di TK dan berasal dari keluarga Muslim, sementara Naf sudah kelas 2 SD dan berasal dari keluarga non-Muslim. Sin berbicara kepada Naf, “Naf kamu kan orang kristen, kenapa kamu bermain dengan Teh Ain?” kata Sin.

Ain lalu memotong pembicaraan Sin, “ Sin….. (ada jeda)  walaupun kita berbeda agama, tetapi kita harus saling hidup rukun, jangan begitu ya..,” kata Ain.

Saya sangat terkejut sekaligus bangga dan haru. Terkejut karena anak yang masih seusia TK ternyata sudah harus berhadapan dengan segrerasi antara agama, padahal dunia anak adalah dunia bermain yang  semestinya tidak mengenal pengkotakan karena agama, suku atau golongan.

Adalah fakta bahwa segregasi telah masuk ke dunia anak. Dunia bermain anak mengalami segregasi dengan berbagai macam latar belakang; agama, ekonomi, status sosial, dll kerap menjadi alasan untuk ‘pemisahan’ tersebut. Dalam konteks latar belakang agama, ada kecenderungan baik dari keluarga, guru di sekolahan, atau lingkungan tinggalnya untuk membuat ‘kotak’ dimana anak-anak hanya akan bermain dengan anak-anak yang memiliki ‘kotak’ yang sama dengannya saja.

Saya tidak menyalahkan Sin atas sikap segregasinya, karena dia masih anak-anak yang  belum mengerti arti keberagaman. Tetapi saya juga tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya Indonesia di masa mendatang jika sikap segregasi sudah mulai meracuni anak-anak. Mungkin Indonesia akan terpecah-pecah berdasarkan suku/etnis, agama, golongan dan ekonomi atau kepentingan politik. Mengerikan membayangkannya dan semoga tidak terjadi.

Apa yang terjadi pada Ain, yang secara spontan membela teman sepermainan dari tindak diskriminasi, merupakan bukti bahwa anak-anak kita bisa diajari dan diajak untuk menghormati perbedaan dan mengerti arti penting kerukunan. Orang tua dan guru adalah orang-orang penting yang dapat membangun pola pikir, mental dan sikap anak agar menjadi toleran dan damai.

Oleh karenanya orang tua dan guru harus berkolaborasi dengan maksimal. Orang tua memiliki porsi yang krusial dalam membentuk seorang anak, sebab hati dan pikiran anak adalah lahan yang menjadi garapan pertama orang tua. Sementara sekolah atau guru bertugas untuk memperkuat ‘cetakan’ yang sudah dibuat oleh orang tua di rumah.

Namun demikian, upaya guru dan orang tua dalam penanaman nilai penghargaan terhadap perbedaan akan berhadapan dengan realitas di masyarakat yang bertolak belakang. Seringkali apa yang diajarkan oleh guru dan orang tua (das sollen, yang seharusnya) berbeda dengan apa yang dilihat siswa/anak di masyarakat/lingkungan (das sein, yang terjadi). Anak mengalami split personality: apa yang diajarkan tidak sesuai dengan apa yang dilihat. Akhirnya anak akan tumbuh dalam kegamangan. Bila anak tidak memiliki kedekatan psikologis dengan orang tua dan/atau gurunya, anak akan mencari pembenaran dari apa yang dilihatnya.

Di akhir saya ingin menegaskan, penanaman nilai dalam keluarga menjadi fondasi utama dalam pembentukan sikap anak, khususnya penghargaan terhadap perbedaan. Nilai yang didapat dari keluarga dikuatkan dengan apa yang diajarkan guru dan sekolah. Sehingga anak bisa mendapatkan dua referensi yang sama kuat untuk berhadapan dengan kondisi lingkungan yang kadang tidak sesuai dengan apa yang dibayangkan.

Kita semua tentu mengharapkan agar anak memiliki sebuah pijakan yang kuat untuk berhadapan dengan realitas yang tidak bisa diintervensi. Karena itu penguatan parenting bagi orang tua dan guru menjadi penting, tentu dengan porsi mereka masing-masing. Menanamkan penghargaan terhadap perbedaan kepada anak sejak dini adalah sesuatu yang penting dan perlu. Walahu a’lam.

Manhan Marbawi

Sekjen Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia (AGPAII), Koordinator Jakarta Edu Forum dan Guru PAI di SMPN 280, Jakarta

Recent Posts

Prebunking vs Propaganda: Cara Efektif Membendung Radikalisme Digital

Di era digital, arus informasi bergerak begitu cepat hingga sulit dibedakan mana yang fakta dan…

1 jam ago

Tantangan Generasi Muda di Balik Kecanggihan AI

Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah membawa dampak signifikan dalam berbagai aspek kehidupan. Pengaruhnya…

4 jam ago

Belajar dari Tradisi Islam dalam Merawat Nalar Kritis terhadap AI

Tak ada yang dapat menyangkal bahwa kecerdasan buatan, atau AI, telah menjadi salah satu anugerah…

4 jam ago

Kepemimpinan Kedua Komjen (Purn) Eddy Hartono di BNPT dan Urgensi Reformulasi Pemberantasan Terorisme di Era AI

Presiden Prabowo Subianto kembali melantik Komjen (Purn) Eddy Hartono sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme…

1 hari ago

Hubungan Deepfake dan Radikalisasi: Alarm Bahaya bagi Kelompok Rentan

Dunia digital kita sedang menghadapi sebuah fenomena baru yang mengkhawatirkan: krisis kebenaran. Jika sebelumnya masyarakat disibukkan…

1 hari ago

Evolusi Terorisme Siber; Dari Darkweb ke Deepfake

Sebagai sebuah ideologi dan gerakan sosial-politik, terorisme harus diakui memiliki daya tahan alias resiliensi yang…

1 hari ago