Keagamaan

Untuk Pelaku Bom Bunuh Diri; Surga yang Mana Lagi?

Entah apa yang terjadi, belakangan ini upaya untuk menjejalkan paham radikal –utamanya ke kalangan anak-anak muda— makin santer dilakukan. Berbagai usaha, termasuk menebar dusta tentang surga, tak juga dihentikan. Janji surga yang diumbar begitu murahnya itu tentu saja dusta, karena, mana mungkin surga yang berisi kasih sayang Tuhan bisa mudah digapai dengan cara-cara kekerasan? Menunjuk-nunjuk hidung orang lain sambil menuduhnya kafir, mudah menyalahkan orang lain hanya karena malas mikir, atau bahkan meledakkan diri sambil nyinyir dengan keyakinan sempitnya tentang surga yang berisi kenikmatan penuh lendir, adalah sikap yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai utama Islam.

Islam mengajarkan kasih dan sayang, bukan permusuhan dan ajakan perang. Jikapun terdapat perselisihan, Islam memerintahkan umatnya untuk menyelesaikannya dengan cara-cara yang baik, seperti musyawarah. Tentang ini, melalui alquran Allah menegaskan pentingnya melakukan musyawarah setidaknya dalam tiga kesempatan, yakni pada QS al-Baqarah (2): 233, QS Âli ‘Imrân (3): 159, dan QS asy-Syûrâ (42): 38. Musyawarah dipandang lebih elegan dan lebih solutif dalam menyelesaikan masalah. Islam juga melarang umatnya untuk berlarut-larut dalam perdebatan, hal ini dipandang hanya akan  menjadikan manusia kehilangan kehormatan.

Janganlah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kehormatan,” (QS. Al-Anfal [8]: 46), demikian peringatan Allah.

Dalam kumpulan tulisan Hasan al Banna yang telah diterjemahkan, (Jihad: Dari Siap Mati Ke Siap Hidup, 2014), ia menyebut bahwa jihad dengan cara menghancurkan tata kehidupan yang telah ada demi menyenangkan Tuhan merupakan sebuah khayalan yang tidak masuk akal. Ia mengkritisi pemikiran Sayid Quthb yang menyatakan bahwa jihad merupakan sarana umat Islam untuk membela hak Allah yang menurutnya telah diserobot oleh sistem negara.

Pola jihad yang memandang negara sebagai biang keladi untuk semua carut-marut kehidupan masyarakat, dan karenanya negara harus diperangi dengan alasan agama, dipandang al Banna sebagai sebuah impian kosong yang terjadi karena kerancauan dalam berpikir. Negara, menurut al Banna, tidak boleh diperangi. Malahan negara harus dijaga kemerdekaannya. Negara yang merdeka menurutnya adalah negara yang umat Islamnya bisa beribadah dengan bebas dan tenang, tidak ada halangan dalam melakukan ibadah; negara itu, meski bukan negara Islam, disebutnya sebagai negara yang lebih mencerminkan ruh Islam.

Jihad yang dilakukan secara serampangan, seperti mengumbar kekerasan dan menganggu ketertiban, justru sangat merusak makna jihad yang sesungguhnya. Prof. Nasarrudin Umar, dalam kata pengantarnya di buku al Banna versi bahasa Indonesia, menyebut jihad tidak sama dengan perang suci. Konsep perang suci adalah pemaknaan yang diyakini sebagian pakar sebagai sebuah pemaknaan yang terpengaruh oleh konsep Kristen (perang salib), Jihad dalam Islam berarti mujahadah, yakni upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sementara dalam Fiqh jihad adalah kemampuan untuk menalar dan upaya maksimal untuk mengistinbathkan hukum-hukum syariah. Artinya, untuk dekat dengan Allah, manusia diharuskan untuk beramal baik dan menggunakan akalnya dengan baik.

Bom bunuh diri bukanlah amal baik, bukan pula pertanda bahwa akalnya telah digunakan dengan baik. Amal baik, adalah perbuatan yang memberi kebaikan baik untuk diri si pelaku maupun untuk orang lain. Bom bunuh diri tidak ada baiknya sama sekali; pelaku mati sia-sia, orang lain mengalami luka. Bom bunuh diri juga pertanda tidak digunakannya akal dengan baik; hidup itu untuk disyukuri, bukan diakhiri.

Terakhir, surga adalah tempat berpulang yang baik, di mana ia hanya bisa digapai dengan cara-cara yang baik pula. Sebuah kebaikan tidak akan bisa digapai dengan keburukan, karena keduanya berlawanan. Jihad, dalam arti memperbanyak amal baik dan menggunakan otak secara maksimal, adalah salah satu perintah  utama Islam, namun berbuat kerusakan –meski diklaim untuk kepentingan tuhan— adalah kejahatan yang tidak berdasar dan tidak layak dipercaya.

dus, jika berharap mendapat surga dengan cara meledakkan diri, surga yang mana lagi?

Khoirul Anam

Alumni Center for Religious and Cross Cultural Studies (CRCS), UGM Yogyakarta. Pernah nyantri di Ponpes Salafiyah Syafiyah, Sukorejo, Situbondo, Jatim dan Ponpes al Asyariah, kalibeber, Wonosobo, Jateng. Aktif menulis untuk tema perdamaian, deradikalisasi, dan agama. Tinggal di @anam_tujuh

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

1 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

1 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

1 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago