Narasi

Pelukan Kebangsaan sebagai Ikon Hijrah Kebangsaan

Hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah menuju Madinah bisa menjadi refleksi kita dalam memasuki tahun politik 2019 yang saban hari kian banal. Dikatakan demikian karena makna hijrah semestinya merupakan titik tolak bagi kita untuk segera kembali memperbaiki diri menuju masyarakat yang bisa mengedepankan nilai-nilai kebangsaan dan keberagamaan terutama dalam demokrasi elektoral. Artinya, Peringatan 1 Muharam 1440 H dapat memberikan makna akan pentingnya hijrah kebangsaan bagi kita dalam mengarungi kontestasi politik 2019 mendatang.

Sejatinya, hijrah kebangsaan bisa dimulai dari bagaimana kita memaknai selebrasi pesilat Hanifan Yudani yang memeluk Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto usai meraih medali emas dari pencak silat Asian Games 2018 beberapa waktu silam. Sebab selebrasi tersebut dapat menjadi sindiran bagi kita untuk segera menegaskan kedewasaan berdemokrasi dalam berpolitik. Dikatakan demikian karena kedua kandidat calon Presiden tersebut memiliki para pendukung yang sangat loyal. Mereka acapkali berseteru meski kontestasi politik telah usai. Lihat saja jelang kontestasi presidensial 2019, bisa kita saksikan gejolak perseteruan antar anak bangsa kian meruncing hingga dikhawatirkan terjadi bentrokan fisik.

Tapi, hadirnya peristiwa langka “pelukan kebangsaan” bisa dikatakan sebagai sindiran bagi kita semua akan arti pentingnya nilai-nilai perdamaian sesama anak bangsa. Makna dari pelukan tersebut bisa dikatakan bagian kegembiraan politik. Dan kegembiraan politik sebagai ikon hijrah kebangsaan yang sejatinya bisa memberikan ruang interaksi antar pendukung tanpa rasa curiga, tanpa prasangka. Sehingga kemudian bisa memberikan kesempatan kepada publik untuk lebih memahami kedewasaan berdemokrasi.

Peristiwa itu pula termasuk sarana ekspresi universal yang strategis sebagai upaya merajut pembelahaan sosial yang mungkin telah terjadi selama ini. Apalagi selama ini, upaya penyebaran nilai-nilai perdamaian dan kedewasaan berdemokrasi masih lebih banyak disesaki oleh pesan-pesan abstrak. Penyebabnya dikarenakan kultur politik Indonesia yang kian menjauh dari etika dan moralitas politik. Dikatakan demikian karena moral para politisi masih kerap terbungkus materialisme, konsumerisme dan hedonisme. Bahkan laku para politisi masih saja mencerminkan kehampaan etika dan moralitas politik yang turut mencederai hakikat politik.

Eksesnya para politisi masih saja mengedepankan pola kalkulasi untung rugi dalam mengarungi dinamika perpolitikan tanah air. Padahal roh para politisi sejatinya adalah untuk berjuang secara sungguh-sungguh menyejahterakan rakyat, bukan justru menjadi pemburu rente ekonomi. Apalagi hanya sekadar menjadi pemburu rente kekuasaan guna mengejar kemuliaan diri. Serpihan banalitas politik (the banality of political evil) itulah yang kemudian perlu segera dibenahi dengan makna hijrah kebangsaan agar kedepan bisa menggerakkan perubahan politik yang lebih baik.

Perubahan politik agar kita bisa kembali menemukan keindahan dan kehormatan dalam berpolitik. Apalagi keindahan itu salah satu bagian dari kegembiraan politik. Yakni kegembiraan yang bisa mengembalikan tujuan luhur dan kesucian politik guna memberikan pencerahan dan mengarahkan publik kepada hidup yang lebih baik dengan penuh pengorbanan. Kegembiraan politik yang merupakan antitesa atau situasi di mana publik dapat bergembira karena politik. Kegembiraan yang muncul dari partisipasi politik itu sendiri, bukan dari tawaran uang apalagi iming-iming balas jasa politik.

Kegembiraan ini muncul dari pengertian bahwa rakyat berperan serta dan memegang kendali politik. Sehingga rakyat dapat memiliki kedaulatan politik untuk mewujudkan kedaulatan itu dalam pilihan ideologisnya. Dengan kembali mempertegas etika dan moralitas politik, setidaknya dapat mengembalikan kesucian politik sebagai modal utama membangun masyarakat sipil yang berkeadaban sekaligus mewujudkan kontestasi politik yang beretika. Inilah kedewasaan demokrasi yang harus terus kita tumbuh-kembangkan oleh segenap anak banga termasuk para pekerja politik.

Dengan demikian, artefak sejarah dari “pelukan kebangsaan” akan dapat menjadi stimulus bagi semua anak bangsa, untuk segera melakukan hijrah kebangsaan. Caranya dengan menghentikan segala keributan di tengah panasnya suhu politik jelang kontestasi presidensial 2019. Termasuk para relawan pendukung tagar #2019GantiPresiden dan #2019TetapJokowi untuk bisa lebih memaknai “pelukan kebangsaan” sebagai dimensi riil berdemokrasi. Tapi tentunya berdemokrasi yang santun, dengan tidak saling hujat, tidak hoax, apalagi tebar kebencian. Dengan demikian, ritus kontestasi elektoral 2019 benar-benar menjadi arena pembelajaran dan kegembiraan politik yang dapat mencerdaskan nalar publik.

Bambang Arianto

Recent Posts

Kritik Kebudayaan di Tengah Pluralisasi dan Multikulturalisasi yang Murah Meriah

Filsafat adalah sebuah disiplin ilmu yang konon mampu menciptakan pribadi-pribadi yang terkesan “songong.” Tempatkan, seumpamanya,…

45 menit ago

Spirit Kenaikan Isa Al Masih dalam Menyinari Umat dengan Cinta-Kasih dan Perdamaian

Pada Kamis 9 Mei 2024, diperingati hari Kenaikan Isa Al Masih. Yakni momentum suci di…

48 menit ago

Pembubaran Doa Rosario: Etika Sosial atau Egoisme Beragama?

Sejumlah mahasiswa Katolik Universitas Pamulang (Unpam) yang sedang berdoa Rosario dibubarkan paksa oleh massa yang diduga diprovokasi…

1 hari ago

Pasang Surut Relasi Komitmen Kebangsaan dan Keagamaan

Perdebatan mengenai relasi antara komitmen kebangsaan dan keagamaan telah menjadi inti perdebatan yang berkelanjutan dalam…

1 hari ago

Cyberterrorism: Menelisik Eksistensi dan Gerilya Kaum Radikal di Dunia Daring

Identitas Buku Penulis               : Marsekal Muda TNI (Purn.) Prof. Asep Adang Supriadi Judul Buku        :…

1 hari ago

Cak Nur, Keislaman, dan Keindonesiaan

Nurcholish Madjid (Cak Nur) adalah seorang intelektual muslim yang memiliki pengaruh besar dalam pemikiran Islam…

1 hari ago