Narasi

Pendamai Adalah Pahlawan Tanpa Tanda Jasa yang Dicintai Tuhan

Ketika seseorang melihat sesuatu yang tidak ia disukai, biasanya reaksi yang dialaminya adalah perasaan mangkel, caremmet, jengkel, dan bahkan marah. Tetapi, berbeda dengan pendamai atau orang yang mencintai perdamaian. Ia akan santai dan rileks, jiwanya diselimuti dengan kasih sayang. Tingkahnya tak memihak kepada siapapun. Ia menjadi pencerah. Menjadi pencegah adanya permusuhan yang bisa berkepanjangan.

Bagaimana dengan kita, ketika dihadapkan dengan suasana yang menjengkelkan atau dihadapkan dengan perbedaan pendapat, keyakinan dan agama, marah? Kalau iya, berarti kita sedang dalam keadaan masalah yang serius. Terlebih, Tuhan tidak mencintai kita, hanya saja tidak membiarkan kita.

Cobalah kita renungkan pertanyaan, mengapa Tuhan tidak memusnahkan hamba-Nya yang tidak taat atau bahkan menyembah pada selain-Nya? Jawabannya, karena Tuhan itu Maha Menerima, Maha Tulus, Maha Bijaksana, dan Maha Asyik. Dari segala jenis ‘Maha’ itulah Tuhan masih memberikan despensasi, memberi kesempatan agar manusia mau berpikir dan kembali kepada jalan yang benar, yang damai.

Sejalan dengannya, kita selaku hamba-Nya, sudah seharusnya untuk mengikuti sifat-sifatnya-Nya. Mencintai atau tidak membenci. Tujuannya, biar hidup kita itu tak canggung, tak kaku ketika dihadapkan pada perbedaan atau pada sesuatu yang tidak sejalan dengan apa yang kita lakukan. Masak pantas, ketika kita melihat seseorang yang beda keyakinan sama kita, lantas kita membencinya dan kita kata-katain dan disesat-sesatkan, atau bahkan dikafir-kafirkan. Konyol bukan? Nah, kalau itu yang terjadi pada diri kita, maka kita perlu mengubahnya dengan cara tidak menyakiti hati dan keyakinan orang lain. Sebab, Tuhan memang dengan sengaja menciptakan perbedaan.

Karenanya, menjadi orang yang tidak bertingkah bodoh kepada orang yang berbeda keyakinan sangatlah perlu diperhatikan. Kita harus cerdas, yaitu menghargai. Bahkan, kalaupun agama kita dijelek-jelekkan, jangan sampai kita ikut gila lantaran membalas dengan menjelek-jelekkan pula. Tetapi, jadilah seperti pendamai yang membela agamanya dengan cara yang baik dan benar. Misal, dengan menjenguk orang yang mengolok-olok agama tadi tak kala sakit. Lalu mengatakan bahwa begitulah ajaran yang ada pada agama saya.

Memang, kita sebagai manusia tentu tak lepas dari yang namanya kekhilafan dan kebodohan. Tetapi, setidaknya kita mampu atau punya rem untuk menghindari adanya pertikaian. Setidaknya, kita ikut mengistiratkan pendamai. Sebab, pendamai akan berjuang dengan sepenuh jiwa raganya demi mencegah adanya perselisihan dan pertikaian. Baginya, perdamaian adalah segalanya.

Pendamai sering mengatakan, bahwa kesalahan terbesar dalam hidup ini adalah mengaku bahwa agamanya sendiri yang paling benar dan berhak masuk surga. Misal, ada orang Kristen yang mengaku bahwa agamanya paling benar, tentu orang Islam, Hindu, Budha, Katolik, dan Konghucu tidak akan menerima pernyataan tersebut. Begitu pun sebaliknya dan seterusnya.

Karenanya, apapun warna kulit kita, hitam, putih, rambutnya keriting atau lurus, Cina, Jawa, Batak, Madura, Sunda, kita semua sama. Sama-sama makhluk Tuhan, dan sama-sama satu Republik, Indonesia. Itulah yang diajarkan oleh pendamai kepada kita, bahwa kita harus saling menghargai, saling menghormati, dan bahkan saling tolong menolong. Sebab, berbuat baik itu tak perlu melihat siapa yang akan kita tolong.

Gus Dur sebagai Bapak Perdamaian mengatakan, “Tidak penting apa latar belakangmu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang lebih baik untuk semua orang, orang tidak akan tanya apa agamamu, apa sukumu, apa latar belakangmu.”

Entah apa yang akan terjadi, kalau misalkan ada seseorang yang sedang darurat dan memerlukan pertolongan, kita masih sibuk bertanya apa agamamu? Apa sukumu? Apa latar belakangmu? Sudah pasti, jika seseorang itu dalam keadaan tenggelam, sedang kita masih sibuk bertanya tentang latar belakangnya, tentu orang tersebut keburu sekarat.

Untuk itu, kita harus cerdas dalam mencintai dan membenci. Jangan sampai sesuatu yang seharusnya kita cintai malah dibenci, dan yang seharusnya kita benci malah dicintai. Tentu itu tak beres! Kita jangan sampai seperti itu. Dan, jangan lengah untuk menjadi pendamai di tengah-tengah kekacauan sebelum adanya kehancuran. Sebab, Tuhan sangat mencintai orang yang mencintai perdamaian.

Ach Fawaid

Keagamaan di Garawiksa Institute, Yogyakarta

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

22 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

22 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

22 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

22 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago