Baru-baru ini jagat media sosial dihebohkan dengan berita pembunuhan yang dilakukan oleh dua orang remaja AR (17) dan AF (14) di Makassar terhadap Fadli, seorang bocah berumur 11 tahun. Berita ini viral, pasalnya kedua remaja tersebut mengaku bahwa mereka melakukan pembunuhan tersebut karena pelaku terobsesi untuk menjual organ tubuh manusia di internet.
Tidak bisa dipungkiri, kehadiran dunia digital sebagai konsekuensi atas kemajuan TIK, selain membawa dampak positif atas kemudahan informasi, juga membawa dampak negatif tumbuh suburnya tindakan-tindakan brutal di dunia maya dan nyata. Karenanya, warganet mesti jeli dalam memilih dan memilah rimba informasi, sehingga tidak terjebak pada informasi yang mengkampanyekan hal-hal negatif. Hoaks, adu domba, provokasi, intoleransi, dan ujaran kebencian merupakan hal yang marak ditemukan di jagat media sosial. Ketika satu orang termakan informasi-informasi negatif tersebut, lalu mempercayainya atau menyebarkannya, maka akan membawa korban lainnya yang lebih banyak dan berdampak luas.
Diakui atau tidak, sebenarnya era digital telah menggerus karakter good and smart dalam diri generasi bangsa. Mengapa hal ini terjadi? Kemajuan fitur aplikasi dalam TIK dan gaya komunikasi baru yang relatif lebih mudah melalui media sosial, membuat seorang terbiasa menjalani hidup instan. Langsung percaya informasi yang didapat. Jarang melakukan analisis. Hanya dengan bermodal kuota internet dan smartphone, kita sudah bisa berselancar di dunia maya, menjelajahi beragam berita yang diinginkan. Di satu sisi, itu merupakan capaian besar dalam kehidupan manusia, di sisi lain, disrupsi informasi harus dihadapi dan memaksa mereka terjebak dengan narasi-narasi negatif yang perlahan mengikis karakter kemanusiaan. Mengakibatkan kita mudah berperilaku brutal. Memecah persatuan. Dalam konteks ini, mudah percaya terhadap informasi, akan menjerumuskan pengguna internet pada jurang kehancuran.
Tindakan pembunuhan oleh dua remaja karena tergiur dengan uang Rp 1,2 milyar menjadi rambu-rambu penting betapa kita harus memiliki kemampuan untuk menyortir informasi yang didapatkan. Ini karena narasi-narasi yang tersebar di media sosial, sungguh penuh-sesak dengan konten negatif yang harus diwaspadai. Sekali kita mudah percaya tanpa konfirmasi dan kebijaksanaan dalam mengelolanya, niscaya hanya akan menimbulkan kerusakan. Dari tindakan intoleransi sampai aksi brutal dan pembunuhan.
Harus Dibekali
Di era disrupsi informasi seperti sekarang ini, di mana segala hal berubah dengan cepat, anak-anak harus dibekali dengan kemampuan literasi digital. Ini penting sebagai upaya membangun pondasi pendidikan karakter era kekinian. Mengingat, kehidupan mereka pasti akan senantiasa bersinggungan dengan jagat digital. Literasi digital bisa menjadi sarana tepat dalam upaya menangkal budaya konsumsi informasi secara instan yang menyebabkan banyak masyarakat kita terjebak dalam berita informasi negatif dan brutal. Melalui edukasi literasi digital, tradisi membaca di dunia maya akan terbangun, sehingga mereka mampu memilih informasi dengan tepat, memilah informasi yang konstruktif, tidak intoleran, brutal dan menimbulkan kerusakan.
Kurniawati dan Baroroh (2012) menyebutkan bahwa literasi digital adalah ketertarikan, sikap dan kemampuan individu dalam menggunakan teknologi digital dan alat komunikasi untuk mengakses, mengelola, mengintegrasikan, menganalisis dan mengevaluasi informasi, membangun pengetahuan baru, membuat dan berkomunikasi dengan orang lain agar dapat berpartisipasi secara efektif dalam masyarakat. Literasi digital memungkinkan para pengguna internet menjadi masyarakat cerdas media dengan cara terbiasa mengumpulkan informasi dan mengelolanya secara efektif.
Melalui pembiasaan mengasah keterampilan literasi digital, mereka juga dapat belajar bagaimana caranya agar memiliki kematangan emosi dan karakter damai sehingga tidak terhasut informasi fitnah berisi ujaran kebencian. Mereka dapat dengan sendirinya mengelola informasi yang didapatkan, namun tidak mentah menerima hoaks, sehingga bisa membangun pengetahuan baru yang lebih efektif, dan selanjutnya mampu memberikan kontribusi bagi perdamaian dan persatuan bangsa apabila ia turut memberikan klarifikasi informasi di dunia maya.
Dengan edukasi literasi digital, akan hadir sikap kritis sekaligus pemahaman bagaimana perilaku bersatu dan berdamai dalam diri anak-anak, yang tentu saja akan memupuk sikap toleran dan tidak anti-keberagaman yang akan diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal ini karena melalui literasi digital, mereka akan terbiasa menemukan beragam perbedaan pendapat yang mungkin ia temukan dari bacaan yang dibaca. Sehingga, terbangunlah pemahaman bahwa toleransi bermanfaat untuk menyuburkan pengetahuan dan perdamaian, sementara intoleransi menumbuhkan permusuhan. Tindakan intoleran dan brutal akan merusak kemanusiaan.
Kemampuan tersebut bisa tumbuh seiring kemampuan mereka mengkonstruksi mana hal baik dan buruk dalam pikiran mereka. Pemahaman akurat tentang hal-hal baik dan buruk ini akan sangat dibutuhkan untuk menghindarkan diri dari perilaku dan tindakan yang merusak perdamaian, merugikan orang lain, dan menimbulkan kerusakan pada lingkungan sosial. Wallahu a’lam.
This post was last modified on 16 Januari 2023 4:34 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…