Kebangsaan

Penghayat Sapto Darmo Tegaskan ‘Demokrasi Spiritual’ Hadapi Tahun Politik 2024

Penganut atau penghayat kepercayaan merupakan salah satu kelompok rentan dalam penggunaan hak suara pada Pemilu 2024. Sejak awal terbentuknya NKRI, kelompok minoritas ini menanggung beban diskriminasi baik dari segi sosial maupun administratif. Ketua Program Studi Agama dan Lintas Budaya atau Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Samsul Maarif, mengatakan dalam sejarahnya, penghayat kepercayaan merupakan kelompok rentan dalam konteks pengakuan negara yang masih paradoks. Apalagi peraturan perundang-undangan masih mempertahankan pengelolaan agama dan kepercayaan yang tidak egaliter. Sehingga berimplikasi sulitnya pemenuhan hak secara penuh kepada penghayat.

Menjelang Pemilu 2024 sendiri, kelompok penghayat tidak masuk dalam narasi politik yang dijual oleh peserta Pemilu.  momentum Pemilu 2024 menunjukkan bahwa wacana dan ruang demokrasi didominasi oleh berbagai narasi elektoral. Sayangnya narasi elektoral ini masih berfokus pada kepentingan segelintir elite politik dan ekonomi dengan orientasi utama pada kekuasaan.

Demokrasi elektoral yang selalu diwacanakan sebagai pesta rakyat rawan terjebak pada aspek seremonial dan hanya mengedepankan sentimen identitas warga berbasis mayoritas-minoritas, membuat polarisasi sosial cenderung tak terhindarkan dan malah menciptakan kerentanan demokrasi. Kenyataannya, demokrasi elektoral semakin menegaskan struktur kuasa dan dominasi serta memarginalisasi kelompok-kelompok rentan.

Kerangka sosial ini dibaca oleh Bambang Purnomo, seorang penganut agama Sapto Darmo di Yogyakarta. Menurutnya, demokrasi di Indonesia tidak boleh dilandaskan pada kekuasaan. Meskipun pada akhirnya yang diperebutkan adalah kursi kekuasaan, namun penting untuk memberikan koridor moral yang baik dalam konteks operasional demokrasi di Indoenesia.

“Kalau saya pengennya demokrasi yang spiritual. Jadi selalu mendasarkan pada nilai-nilai ketuhanan.” Terang Bambang.

Ia mengurai bahwa pelaku demokrasi selalu menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan, maka ia akan berpihak pada kemanusiaan, maslahat publik, dan prinsip keadilan. Berbeda jika ia menganut prinsip ‘demokrasi liberal’, misalnya, ia akan cenderung buta arah dan akan menggunakan berbagai cara untuk mencapai kekuasaan. Yang baik atau yang buruk. Yang benar atau yang salah.

“Saya sekarang prihatin ya, karena masyarakat kita sekarang menjelang Pemilu ini kok do saling ga punya etika ya.” Ia tampak menyinggung penyakit sosial yang sering muncul menjelang kontestasi politik.

Ketua Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia Provinsi DIY itu menyayangkan karakter masyarakat Indonesia yang gemar menyalahkan satu sama lain. Saling tuduh seolah ia merasa paling benar dan bertanggungjawab untuk mengoreksi yang lain. Menurutnya, orang tidak perlu menilai sesuatu atau seseorang. Menilai itu pasti akan salah karena yang dinilai pasti hanyalah yang terlihat mata saja. Orang sering lalai bahwa yang tidak kelihatan itu tidak kalah pentingnya.

Soal demokrasi spiritual, merujuk pada tahun politik sebelumnya, kontestasi politik sering kali melahirkan konflik, baik di level elit maupun akar rumput. Tensi ini disebabkan absennya koridor ketuhanan dalam berbagai lini masyarakat. Terutama di level masyarakat, perbedaan pilihan politik sering menghilangkan akal sehat sehingga satu pihak saling menghakimi pihak lainnya.

Bukan hanya sekadar pilihan politik dan proses pemilihan umum, demokrasi spiritual membawa dimensi baru yang diperkaya oleh nilai-nilai etis dan kearifan spiritual. Dalam kerangka demokrasi spiritual, masyarakat bukan hanya dilihat sebagai kumpulan individu dengan kepentingan yang berbeda, tetapi sebagai entitas kolektif yang saling terhubung melalui nilai-nilai yang bersama-sama dihormati. Keputusan politik diambil dengan mempertimbangkan kebijaksanaan spiritual, di mana etika, keadilan, dan cinta menjadi pedoman utama.

Pemimpin dalam demokrasi spiritual tidak hanya diukur oleh keberhasilan kebijakan atau prestasi materi, tetapi juga oleh integritas moral dan kedalaman rohaniah mereka. Tanggung jawab kolektif dan kesejahteraan bersama menjadi tujuan utama, dengan keputusan yang diambil untuk memajukan kebahagiaan dan keadilan bagi semua, bukan hanya segelintir bagi otoritas elit.

Dalam demokrasi spiritual, setiap langkah kebijakan adalah peluang untuk mengaktualisasikan nilai-nilai luhur yang melampaui batasan-batasan politik konvensional. Kebersamaan, kebijaksanaan spiritual, dan cinta menjadi pendorong utama, membawa masyarakat menuju kedamaian, keadilan, dan kebahagiaan yang sejati.

“Nilai ketuhanan harus ada. Menghargai orang lain, menghormati sesama, adil, nah itu harus ada. Kalau engga seperti itu ya isinya perang terus gitu to.” Pungkas Bambang Purnomo.

This post was last modified on 21 Januari 2024 10:28 AM

Gatot Sebastian

Recent Posts

Residu Fatwa Jihad IUMS; Dari Instabilitas Nasional ke Gejolak Geopolitik

Keluarnya fatwa jihad melawan Israel oleh International Union of Muslim Scholars kiranya dapat dipahami dari…

20 jam ago

Membaca Nakba dan Komitmen Internasional terhadap Palestina

Persis dua tahun lalu, untuk pertama kalinya dalam sejarah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Senin 15…

20 jam ago

Jihad Ala Nusantara untuk Palestina

Pada April 2025, Internasional Union of Muslim Scholars (IUMS), sebuah organisasi para ulama dan cendekiawan…

20 jam ago

Sisi Gelap Propaganda Terorisme di Balik Fatwa Jihad ke Gaza

Pada 5 April 2025, komite Fatwa dan Yurisprundensi IUMS mengeluarkan fatwa lanjutan terkait kewajiban seluruh…

20 jam ago

Islam adalah Maslahat, Kajian Hadis La Darara wa La Dirar

Organisasi internasional yang menaungi ulama Muslim di berbagai belahan dunia International Union of Muslim Scholars…

2 hari ago

Mengapa (Tidak) Perlu Jihad ke Palestina?

International Union of Muslim Scholars (IUMS), sebuah organisasi dari ulama muslim dari perwakilan negara yang…

2 hari ago