Fenomena saling caci, menuduh munkar pihak lain yang tidak sama jalan pikir keagamaannya, tuduhan bid’ah amliah kelompok lain dan seterusnya harusnya adalah kisah usang, namun ekspresi beragama seperti itu masih mengancam kebebasan berekspresi dalam hal memilih pendapat dari madhab tertentu.
Kisah paling mutakhir adalah pria berjenggot yang marah-marah, dan bahkan menuding perbuatan munkar sekelompok pemuda yang bermain rebana di masjid. Lebih jauh lagi, setiap ekspresi beragama yang bercorak islamisasi dengan mengakomodir budaya tertentu mendapat tuduhan sesat.
Memang, boleh jadi budaya sebagai hasil rasa, karya dan cita manusia tidak berdiri di atas dasar-dasar dan nilai-nilai agama. Kalau seperti itu, maka menjadi tugas agamawan dan umat beragama untuk melakukan rekonsiliasi supaya budaya yang ada tidak keluar dari nilai-nilai ajaran agama.
Bagaimanapun, agama hadir untuk kebaikan manusia. Agama hanya merubah sesuatu yang tidak baik dari manusia menjadi baik. Agama Islam, misalnya, ia hadir untuk menyelamatkan manusia dan hadir sebagai kasih sayang bagi seluruh umat manusia.
Demikian juga kebudayaan yang diciptakan manusia, kalau di dalamnya ada unsur-unsur yang bertentangan dengan nilai-nilai universal agama itulah yang harus diwarnai, bukan menggugat budaya itu sendiri. Hal seperti ini berulang-ulang dicontohkan oleh Rasulullah semasa hidupnya.
Kalau tidak demikian, agama, bisa dikatakan telah kehilangan isinya, agama menjadi turun nilai kemuliaannya sebagai media kasih sayang bagi semesta. Agama menjadi besar kotaknya namun isinya lenyap.
Contoh paling nyata adalah adanya prilaku sekelompok warga bangsa, agama dijadikan alat untuk menuduh sesat, memfitnah, dan bahkan mengatakan kafir kelompok lain yang tidak sepemahaman dengan mereka. Kelompok lain yang menjalankan tradisi keagamaan tertentu dituduh telah menyimpang dari ajaran agama
Di dalam agama Islam, seperti tradisi tahlilan, maulidan, shalawatan, shalawatan diiringi musik rebana dan lain-lain kerap menjadi objek tuduhan bid’ah dan sesat. Pokoknya, kebudayaan apapun yang disandingkan dengan agama dalam persepsi mereka adalah haram. Padahal, apabila dikaji praktik beragama yang mengakomodir budaya tersebut sama sekali tidak bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Hubungan Islam dan Kebudayaan
Satu kaidah mengatakan, “Tradisi yang baik yang tidak bertentangan dengan syariat, itulah sejatinya ma’ruf”.
Jadi, agama Islam sangat menghargai tradisi dan kebudayaan yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Maka, andaikata tradisi dan kebudayaan itu di dalamnya ada unsur-unsur yang bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam, yang dilakukan adalah mewarnai dan merubah pertentangan tersebut secara bijaksana.
Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam al Qur’an. “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. (An Nahl: 125).
Ayat di atas menegaskan Islam adalah agama yang ramah terhadap kebudayaan. Seandainya ada tradisi dan kebudayaan yang bertentangan dengan ajaran Islam, merubahnya adalah menggunakan pendekatan hikmah atau bijaksana. Tidak dibenarkan dengan kata-kata kotor, apalagi kekerasan.
Al Qur’an (Al Ra’d: 17) juga menegaskan, setiap sesuatu yang bermanfaat bagi manusia akan tetap ada di bumi. Kebudayaan pastilah memiliki nilai manfaat sebagai hasil dari rasa, karya dan cipta manusia. Karenanya, harus diapresiasi dan cukup mewarnainya dengan nilai-nilai ajaran Islam sebagaimana bunyi ayat tersebut.
Dalam hadits riwayat Imam Tirmidzi, Rasulullah menghimbau umat Islam supaya bergaul dengan masyarakat dengan budi pekerti yang baik. Sayyidina Ali menjelaskan, yang dimaksud oleh Rasulullah adalah menyesuaikan diri dengan masyarakat dalam segala hal kecuali kemaksiatan.
Begitulah, Islam sangat akomodatif terhadap setiap budaya dan tradisi. Yang baik tidak perlu digugat, sementara yang bertentangan diperbaiki dengan cara yang bijaksana tanpa harus menghilangkan keseluruhannya. Yang sesuai dengan syariat Islam di pertahankan, yang tidak sesuai di revisi.
Dakwah dengan Pendekatan Kebudayaan Terbukti Menebarkan Kerahmatan
Wali Songo, penyebar agama Islam pertama di Nusantara atau Indonesia dalam dakwahnya tidak pernah mengeluarkan kata-kata kotor, tidak memusyrikkan apalagi mengkafirkan masyarakat lokal. Mereka melakukan pendekatan secara bijaksana dan dengan Budi pekerti yang baik.
Media dakwah yang dikembangkan adalah melalui pendekatan media lokal. Mereka paham, bahwa pluralitas di negeri ini tidak akan pernah bisa di seragamkan. Oleh karena itu, syiar Islam harus dilebur dalam berbagai perbedaan tersebut karena bagaimanapun juga perbedaan adalah kehendak Tuhan.
Banyak sekali peninggalan kebudayaan peninggalan Wali Songo yang masih dilestarikan oleh masyarakat hingga saat ini. Hal ini menandakan begitu urgennya melakukan dakwah dengan pendekatan atau akomodatif terhadap budaya dan kearifan lokal.
Berbondong-bondongnya penduduk Nusantara kala itu memeluk agama Islam adalah karena kearifan para wali. Masyarakat merasa terayomi dengan agama baru, yakni Islam. Beda halnya dengan sebagian kelompok yang mengaku Islam saat ini, di mana mereka melakukan dakwah dengan cara kasar, penuh umpatan, cacian dan fitnahan. Bukan membuat orang tertarik terhadap Islam, bahkan di internal umat Islam sendiri mereka menjadi biang kekacauan.
Membuktikan, Islam yang di bawa oleh para wali adalah Islam rahmatan lil ‘alamin, memberikan kesejukan bukan perpecahan. Sekalipun ada yang menolak atau bahkan memusuhi Islam sekalipun mereka tetap menangani dengan belas kasih.
Karena sejatinya kelompok yang sering membawa agama sebagai alat untuk mencaci, memfitnah dan menyalahkan kelompok lain yang tidak seperahu adalah kesalahan nyata yang di larang dalam agama Islam. Bukan ajaran Islam manakala menyalahkan setiap kebudayaan dan kearifan lokal masyarakat yang telah diwarnai dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Bukan seperti itu kalau ingin berdakwah di bumi ini yang masyarakatnya plural. Islam harus tampil dengan orisinalitasnya sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin. Sebagaimana wajah aslinya, Islam sangat akomodatif terhadap kebudayaan. Di daerah kelahirannya, yakni di Arab, Islam seringkali mengakomodir dan sangat adaptif terhadap budaya dan tradisi lokal bangsa Arab. Bersorban dan bergamis adalah contoh di mana Islam sangat menghargai kebudayaan dan tradisi masyarakat Arab.
Suatu kesalahan kalau beranggapan setiap budaya lokal masyarakat tertentu, di negara tertentu, dianggap sebagai hal yang bertentangan seluruhnya dengan ajaran Islam. Dengan alasan semua budaya dan tradisi tersebut tidak pernah ada di Arab atau tidak pernah ada pada masa Nabi. Cukuplah teladan Nabi yang mengakomodir beberapa tradisi dan kebudayaan masyarakat Arab sebagai bukti Islam dan kebudayaan tidak selamanya bertentangan.
Karenanya, di negara yang multikultural seperti di Indonesia, pendekatan dakwah dengan pemanfaatan media lokal akan sangat efektif. Karena selamnya perbedaan yang ada di dunia tidak akan pernah mungkin untuk disatukan. Angan-angan untuk menyeragamkan manusia dalam satu wadah agama dan kebudayaan tertentu adalah mustahil, sebab yang menghendaki perbedaan itu adalah Tuhan sendiri.
This post was last modified on 13 Oktober 2023 12:49 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…