Keagamaan

Imam Al-Ghazali dan Dakwah Kesenian

Al-Hujjah al-Islam, yakniAbu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Ath-Thusi An-Naysaburi Al-Faqih Ash-Shufi Asy-Syafi’I Al-Asy’ari, yang masyhur dipanggil (Imam Al-Ghazali). Dalam sebuah karyanya Ihya Al-ulumudin, Beliau begitu apik di dalam membangun korelasi kognitif, antar pengaruh nada/suara (kesenian) yang indah, sejatinya memiliki dampak positif terhadap kejiwaan seseorang.

Di dalam kitab Ihya’ Ulumudin: 2/275. Imam Al-Ghazali mengatakan “Orang yang jiwanya tak tergerak oleh semilir angin, bunga-bunga dan suara seruling musim semi adalah dia yang (kehilangan jiwanya) yang sulit terobati”. Secara subtansial, suara angin, bunga-bunga dan suara seruling merepresentasikan ke dalam (bentuk kesenian) seperti seni musik.

Imam Al-Ghazali memiliki pandangan sufistik, bahwa (jiwa) seseorang yang enggan mendengarkan bunyi-bunyian yang merdu dan indah. Niscaya akan berpengaruh terhadap jiwanya yang buram, jiwanya yang kehilangan kedamaian dan ketenangan. Piranti jiwa bagi Imam Al-Ghazali sangatlah berperan penting dalam segala perilaku, sikap dan karakter dari seseorang.

Jiwa yang sakit akan selalu membuat seseorang mudah marah dan penuh perilaku kemungkaran. Maka, mengobati jiwa yang sakit dengan bunyi-bunyian (kesenian) yang merdu, sama-halnya menghidupkan jiwa-jiwa yang gemar akan kedamaian dan ketenangan. Tentu, radikalisme-terorisme adalah perilaku kemungkaran yang membuktikan bahwa jiwanya sedang sakit.

Dakwah Kesenian yang Membawa Rahmat

Kelihaian Imam Al-Ghazali di dalam menjelaskan, betapa pentingnya suara-suara/bunyi-bunyi-an yang merdu dan indah. Sebagai obat bagi jiwa yang tenang dan secara korelatif dapat mengobati penyakit-penyakit diri yang gemar memecah-belah dan penuh kebencian. Maka, dakwah kesenian/kebudayaan inilah yang secara korelatif sebetulnya dapat melahirkan kesadaran beragama yang penuh rahmat.

Dalam konteks dakwah kesenian, beberapa hari yang lalu kita disaksikan oleh sikap konservatisme keagamaan. Yaitu seorang Pria tidak dikenal tiba-tiba memarahi dan mengamuk terhadap para remaja yang belajar rebana di Masjid yang ada di Suarabaya. Menganggap musik itu mungkar dan tidak ada hujjahnya.

Kita tahu, rebana merupakan salah satu dakwah kesenian di Indonesia yang mengenalkan ajaran Nabi dan keteladanan Beliau yang membawa rahmat. Dibungkus dengan musik religi (shalawatan) yang dikombinasikan dengan nada-nada yang indah dari rebana. Dakwah mengenalkan sosok Kanjeng Nabi yang penuh rahmat, tidak destruktif dan penuh rahmat yang dibungkus dengan musik kesenian rebana tersebut.

Bagi Imam Al-Ghazali, musik yang mengeluarkan nada, bunyi-bunyian itu sangat tidak mungkin haram. Kecuali, bunyi-bunyian itu melahirkan suara-suara yang penuh kebencian, memecah-belah, mencerca dan membuat pendengarnya semakin menjauh kepada-Nya. Sebagaimana dalam konteks musik religi, irama shalawatan yang indah diiringi dengan nada/bunyi-bunyian rebana pada dasarnya tak sekadar membuat seseorang menjadi tenang dan damai, tetapi menghayati bagaimana keteladanan Nabi yang membawa rahmat.

Bagi Imam Al-Ghazali “Mendengar suara-suara ii mustahil haram. Bagaimanapun ia adalah suara-suara yang indah dan berirama. Tak seorang-pun yang mengharamkan suara burung nuri dan burung-burung lainnya yang berkicau indah. Tidak ada bedanya antar tenggorokan satu dengan tenggorokan lain, antara benda tak bergerak dan binatang. Maka, sejatinya suara burung nuri disamakan dengan suara manusia atau suara-suara bambu, (atau dalam tradisi kesenian Nusantara) seperti kendang, rebana dan lain-lain”.

Dari argument Imam Al-Ghazali ini kita bisa memahami, bahwa yang mungkar sejatinya bkan musik/suara (kesenian) yang melahirkan nada-nada/bunyi-bunyian yang membawa ketenangan jiwa yang terobati. Seperti bunyi-bunyian rebana yang indah dengan iringan shalawat cinta kepada Nabi. Itu tidak sekadar membuat pendengarnya tenang, tetapi membuat pendengarnya bisa memahami sosok Nabi yang tolerant, penuh cinta kasih dan membawa rahmat.

Karena yang haram dan mungkar itu bukan musik. Tetapi suara-suara yang lantang penuh kebencian, intolerant, memecah-belah dan suara-suara yang penuh amarah. Yang haram dan mungkar bukanlah musik, tetapi suara-suara yang keluar dari mulut orang yang merasa paling suci lalu memecah-belah tatanan.

This post was last modified on 13 Oktober 2023 12:47 PM

Saiful Bahri

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

1 hari ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago