Panggung politik Indonesia memang tengah panas-panasnya. Pemilu dan Pilpres 2024 memang masih beberapa bulan lagi. Namun, keriuhan pesta demokrasi itu sudah terasa sejak sekarang. Sebenarnya, di satu sisi, panggung politik kita itu menarik. Misalnya saja kemunculan pesohor Aldi Taher yang maju sebagai calon anggota legislatif dengan gayanya yang aneh dan terbilang lucu.
Aldi Taher bisa jadi merupakan semacam hiburan di tengah tegangnya situasi politik belakangan ini. Namun, di sisi lain panggung politik kita juga kerap diwarnai oleh manuver segelintir orang yang haus kekuasaan dan rela melakukan apa saja untuk mendapatkannya. Seperti tampak belakangan ini pada munculnya narasi people power.
Wacana people power itu sontak muncul dalam acara bertajuk “Rakyat Bertanya, Kapan People Power”. Acara itu diadakan pada Minggu 11 Juni lalu di Solo. Sejumlah tokoh hadir dalam acara tersebut. Antara lain Amien Rais, Akhmad Khozinudin (eks-HTI), dan sejumlah nama lain yang selama ini dikenal anti-pemerintah.
Narasi people power sebenarnya bukan barang baru dalam konteks politik kita. Narasi ini hampir pasti selalu muncul dalam momen-momen krusial, terutama di tahun politik. Pengusungnya pun itu-itu saja. Yakni kelompok oposisi destruktif yang anti pada pemerintah dan kelompok radikal-ekstrem yang memang menginginkan kekuasaan. Jika meminjam istilah Gus Dur, mereka ini adalah gelandangan politik yang berhasrat pada kekuasaan namun tidak punya kemampuan untuk meraihnya.
Para oposisi destruktif umumnya berasal dari kalangan tokoh politik yang mulai memudar pesona dan pengaruhnya di tengah masyarakat. Mereka kehilangan pamornya tersebab usia yang kian menua maupun perilakunya yang kerap membuat publik jengah. Akhirnya mereka terdampar di ormas atau partai-partai kecil yang tidak dianggap.
Sedangkan kelompok radikal-ekstrem adalah mereka yang anti pada ideologi Pancasila dan berusaha mengubah Indonesia menjadi negara khilafah. Mereka ini kerap mendompleng pada kelompok-kelompok tertentu. Termasuk bersekutu dengan kelompok oposisi destruktif untuk mendelegitimasi pemerintah. Para gelandangan politik ini selalu mendaur-ulang narasi people power dengan satu tujuan; merebut kekuasaan dari pemerintahan yang sah.
Dalih yang dipakai pun sebenarnya juga itu-itu saja. Yakni tudingan pemerintah bersikap zalim, menyengsarakan rakyat, atau bersikap tidak adil pada umat Islam. Narasi itu sengaja dibangun untuk melemahkan kepercayaan masyarakat pada negara sekaligus memprovokasi rakyat agar melawan pemimpinnya. Di titik ini, bisa dikatakan bahwa narasi people power yang digaungkan segelitir kalangan itu sebenarnya merupakan gerakan makar dan pemberontakan yang dikemas ke dalam istilah yang lebih halus.
Lantas, bagaimana kita seharusnya menyikapi berkembangnya narasi people power ini? Apakah kit perlu khawatir berlebihan pada narasi people power ini?
Secara umum kita sebenarnya tidak perlu khawatir berlebihan pada isu tersebut. Bisa dipastikan, narasi ini akan tenggelam dengan sendirinya, karena tidak mendapatkan perhatian apalagi dukungan dari masyarakat. Publik sudah jengah dengan manuver para gelandangan politik yang mengklaim dirinya sebagai pahlawan.
Bagi mayoritas masyarakat, para gelandangan politik itu tidak lebih dari benalu dalam sistem demokrasi kita. Bagaimana tidak? Mereka memanfaatkan kebebasan berpendapat dan berekspresi, justru untuk memproduksi dan menyebarkan narasi yang bertentangan dengan demokrasi itu sendiri.
Kita juga tidak perlu khawatir karena narasi people power itu tidak akan menjadi gerakan nyata di lapangan. Para penyeru narasi itu sama sekali tidak memiliki otoritas untuk memobilisasi massa atau sekadar membentuk opini di masyarakat.
Salah satu jalan terbaik untuk melawan narsis people power itu adalah dengan cara mengabaikannya. Semakin diabaikan, narasi itu akan semakin cepat tenggelam. Sebaliknya, semakin diperbincangkan, para pengusung akan semakin kegirangan karena dianggap penting.
Pemerintah tentu telah menakar berbagai kemungkinan dan potensi ancaman di balik narasi people power ini. Jika memang dirasa membahayakan, maka tentu pemerintah akan mengambil langkah-langkah yang tegas dan terukur sesuai konstitusi untuk menjaga bangsa dan negara.
Sebagai masyarakat, kita tidak perlu khawatir berlebihan dengan narasi people power yang digaungkan para gelandangan politik itu. Pemilu dan Pilpres juga menjadi momentum perebutan kekuasaan secara demokratis. Seiring dengan kian solidnya demokrasi kita, masyarakat pun kian cerdas dalam memilih pemimpin.
Masyarakat menilai rekam jejak dan integritas calon pemimpinnya. Artinya, siapa pun yang ingin berkuasa harus bisa meyakinkan publik bahwa dirinya kompeten dan berintegritas. Bukan justru sibuk menggaungkan narasi pemakzulan dan pemberontakan.
Tugas pokok kita sebagai masyarakat adalah menjaga soliditas bangsa di tahun politik. Caranya adalah dengan tidak memberikan ruang sekecil apa pun bagi praktik politik identitas atau politisasi agama apalagi tindakan makar yang dibungkus ke dalam narasi people power.
This post was last modified on 19 Juni 2023 11:52 AM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…