Narasi

Peran Guru Agama dalam Deradikalisasi

Beberapa kelompok yang menentang Pancasila sebagai dasar negara dengan memasukkan pemahaman penolakan tersebut melalui pendidikan agama, terutama Islam. Dengan alasan, Pancasila sebagai berhala yang wajib dijauhi dan ditumbangkan. Pemahaman ini tatkala tidak diselesaikan maka akan mengawatirkan dalam perkembangan bangsa yang majemuk dan beragam ini.

Pemahaman negatif mengenai Pancasila melalui pendidikan agama akhir-akhir ini mulai tampak di permukaan. Lihat saja anak-anak kecil serta anak baru dewasa lebih bangga menenteng bendera “ISIS” dari pada bendera Merah Putih. Ironisnya, beberapa waktu kemarin di daerah Yogyakarta salah satu simbol pendidikan di Indonesia,  salah satu SMA secara terang-terangan untuk baiat masuk kelompok radikal. Bahkan daerah Solo ada sekolah dasar yang tidak mau menghormati dan melakukan upacara bendera Merah Putih.

Alasan yang mereka tetap sama sejak dahulu. Yakni Pancasila adalah landasan etika yang dibuat oleh manusia. Ketika buatan manusia dijadikan pedoman hidup, dianggap sebagai penyembahan berhala. Pancasila itu merupakan berhala. Di zaman Nabi, berhala harus dihancurkan. Berhala dianggap sebagai tuhan lain. Dengan pernyataan demikian, kemudian akan menimbulkan bahwa orang yang menjalankan dan mengamini, dianggap orang yang menyembah berhala atau musyrik.

Demi memutus semua anggapan miring mengenai Pancasila dan agama Islam dalam diri generasi penerus bangsa, semua elemen harus ikut andil dalam penanaman pendidikan agama yang mencintai negara dan keberagaman. Tetapi dalam pendidikan agama di sekolah, maka kunci utama adalah sosok guru. Dialah cerminan dan panutan bagi anak-anak, meskipun beberapa pemahaman bahwa guru hanya fasilitator dalam lingkungan sekolah, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa peserta didik akan meniru apa yang dilakukan oleh guru. Tatkala guru melakukan tindakan A, maka peserta didik akan melakukan A bahkan bisa lebih dari A.

Guru agama harus memahami secara mendalam mengenai ilmu agama, kemanusiaan serta sejarah kebangsaan. Tiga paduan ilmu ini akan membuat guru mengajarkan ilmu agama secara tepat dan mencintai kebangsaan. Guru yang hanya memahami agama semata tanpa diimbangi rasa kemanusiaan dan sejarah kebangsaan, maka dia akan menganggap bahwa Pancasila adalah berhala. Sedangkan guru yang memahami sejarah kebangsaan tanpa mengetahui agama secara mendalam akan menganggap bahwa Pancasila tidak ada unsur keagamaan.

Pemahaman semacam itu kemudian akan membuat generasi penerus bangsa kosong nasionalis bahkan kosong keagamaan. Generasi ini merupakan generasi yang rapuh, mudah terpengaruh pemahaman dari luar. Pemahaman yang hanya dilihat dari kacamata kuda. Oleh karena itu, guru agama harus memahami –setidaknya, tiga unsur ilmu tersebut. Coba lihat pemahaman guru agama yang memahami sejarah akan melihat bahwa penolakan Pancasila semakin menjadi-jadi tatkala penghapusan tujuh kata dalam Pancasila: dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Kemudian Pancasila dianggap sebagai ideologi sekuler yang tidak sesuai dengan asas Islam.

Kemudian guru agama yang memahami agama secara mendalam tidak akan menelan sejarah itu secara mentah-mentah, kemudian akan dipahami sejarah itu kedalaman pemahaman sejarah. Penghapusan 7 kata dalam Pancasila bukan berapa penghianatan bagi seorang muslim, melainkan prinsip hukum Islam dalam peleburan hukum positif dalam suatu negara agar bisa diterima oleh semua pihak. Islam tidak hanya untuk penganut, tetapi hukum Islam harus bisa dinikamti seluruh umat manusia.

Jika guru agama bisa menghayati agama secara mendalam dan Pancasila secara menyeluruh, maka tidak akan mengajarkan kepada murid-muridnya bahwa Pancasila sebagai berhala. Sebab agama menghadirkan ajaran universal, sedangkan Pancasila adalah salah satu tafsir terhadap ajaran tersebut. Bisa dikatakan bahwa Pancasila ada tafsir yang sesuai dengan kultur budaya Indonesia terhadap ajaran agama Islam yang universal tersebut. Melihat nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sama halnya nilai-nilai ajaran agama Islam.

Guru agama sangat penting dalam memperkuat eksistensi Pancasila dalam generasi bangsa Indonesia, sebab guru dapat mempengaruhi murid yang diajarkan. Coba kita hitung secara kualitatif, satu guru agama dapat mempengaruhi 25 murid satu tahunnya, tatkala guru mempengaruhi murid dengan pemahaman Pancasila bahwa komponen salah satu tafsir agama Islam, maka eksistensi Pancasila akan terawat dan terjaga. Sebaliknya, guru agama yang menganggap Pancasila sebagai berhala, maka kita dapat prediksi dua puluh lima tahun ke depan, negara keberagaman ini akan menjadi negara berasas satu agama semata. Semoga ini tidak terjadi. Amin.

Novita Ayu Dewanti

Fasilitator Young Interfaith Peacemaker Community Indonesia

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

9 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

9 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

9 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

9 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

1 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

1 hari ago