Narasi

Peran Perempuan dalam Membentuk 4 Attitude Anak Anti-Kekerasan

Sejak anak itu lahir ke dunia, perempuan (ibu) adalah guru pertama bagi anak-anak dalam mengenal dunia dan kehidupan. Perempuan memiliki (dorongan emosional) yang kuat dalam menghidupi karakter anak, dari kecil hingga dewasa.

Maka, di sinilah pentingnya peran perempuan dalam membentuk (Attitude) baik sedini mungkin. Setidaknya ada 4 tugas yang harus dilakukan. Agar, anak-anak bangsa bisa terbebas dari mental kekerasan.

Pertama, diajarkan untuk selalu meminta maaf ketika salah. Mengapa? ini merupakan satu penanaman karakter atas anak anti-kekerasan yang paling mendasar. Agar anak-anak tidak memiliki watak yang “keras kepala”, angkuh, menang-nya sendiri, egois dan merasa benar padahal dirinya bersalah.

Dalam banyak fakta, banyak di kalangan ibu yang masih membela anak-anak-nya yang jelas-jelas melakukan kesalahan. Sehingga, problem didikan yang membangun (Attitude) kurang baik inilah. Membuat anak-anak melakukan sebuah kesalahan seperti tindakan kekerasan yang dianggap benar.

Kedua, selalu diajarkan untuk berbicara dengan bahasa yang baik/sopan. Hal ini mengingat perkembangan dunia di era digital. Anak-anak sering-kali terkontaminasi dengan virus-virus pola-komunikasi yang penuh kasar, misuh dan penuh cacian.

Kebiasaan yang semacam ini jelas adalah “akar” dari segala konflik-permusuhan. Kekerasan atas anak tidak datang dari ruang kosong. Sebab, banyak dipengaruhi oleh pola-komunikasi di dalamnya hingga menumbuhkan emosi.

Maka, sangat penting ditanam kepada anak-anak sejak dalam keluarga untuk membangun pola komunikasi-bahasa yang baik/sopan. Sebab, ketika anak-anak memiliki kebiasaan dalam berbicara yang baik dan penuh sopan-santun. Maka, ini adalah awalan yang baik bagi anak-anak dalam menghindari sebuah mental kekerasan itu.

Ketiga, dibimbing untuk selalu bersikap baik atas siapa-pun sejak dalam keluarga. Sebagaimana, perempuan (baca: Ibu) memiliki peran-tugas penting dalam membangun (Attitude) baik atas anak. Dengan menamakan kebiasaan untuk selalu bersikap baik atas siapa-pun.

Hal ini pada dasarnya sebagai satu orientasi penting bagaimana anak-anak akan jauh lebih menghargai orang lain. Anak-anak tidak akan sembarangan melakukan tindakan/sikap yang merugikan, menyakiti serta berbuat buruk atas orang lain. Sebab, ajaran untuk selalu bersikap yang baik akan membangun semacam kesadaran anak lebih menghormati orang yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda.

Sebab, awal-mula anak-anak mudah melakukan aksi-aksi kekerasan itu banyak dipengaruhi oleh (kebiasaan/sikap) yang kurang baik. Kurangnya penanaman karakter yang demikian sejatinya akan berpengaruh besar terhadap pola-pikir, karakter dan tindakan yang sering-kali membawa masalah.

Keempat, tanamkan pada anak, bahwa kekerasan dan perkelahian bukan jalan menyelesaikan masalah. Ini sangat penting untuk ditanamkan kepada anak-anak oleh para ibu-ibu di rumah. Karena, banyak seorang ibu yang lalai terhadap anak-anaknya akan pendidikan karakter yang semacam ini.

Dengan sebuah prinsip yang keliru, bahwa perkelahian dan jalan kekerasan dianggap jiwa pemberani/mental kesatria. Padahal, dengan membiarkan anak-anak melakukan hal yang semacam itu, niscaya akan menjadi satu penanaman karakter radikal sejak dini pada anak. Bahwa dengan berkelahi atau melakukan kekerasan itu dianggap cara menyelesaikan persoalan dengan baik.

Maka, dari sinilah pentingnya untuk menghindari penanaman (Attitude) yang demikian. Dengan membangun karakter anak-anak yang bisa memegang sebuah prinsip. Bahwa, kekerasan dan perkelahian bukanlah sebuah solusi dari penyelesaian suatu masalah melainkan akan membawa masalah baru yang lebih besar.

Oleh karena itulah, sangat penting bagi sosok perempuan (ibu) sebagai pahlawan bagi anak-anak sejak dalam keluarga. Untuk menamakan (Attitude) yang anti-kekerasan terhadap anak. Dengan menamakan 4 karakter yang telah disebutkan di atas demi mencetak generasi bangsa yang tolerant dan menjunjung tinggi kebersamaan serta perdamaian di negeri ini.

This post was last modified on 6 Maret 2023 2:02 PM

Amil Nur fatimah

Mahasiswa S1 Farmasi di STIKES Dr. Soebandhi Jember

Recent Posts

Euforia Kemerdekaan Rakyat Indonesia Sebagai Resistensi dan Resiliensi Rasa Nasionalisme

Kemerdekaan Indonesia setiap tahun selalu disambut dengan gegap gempita. Berbagai pesta rakyat, lomba tradisional, hingga…

8 jam ago

Pesta Rakyat dan Indonesia Emas 2045 dalam Lensa “Agama Bermaslahat”

Setiap Agustus tiba, kita merayakan Pesta Rakyat. Sebuah ritual tahunan yang ajaibnya mampu membuat kita…

8 jam ago

Bahaya Deepfake dan Ancaman Radikalisme Digital : Belajar dari Kasus Sri Mulyani

Beberapa hari lalu, publik dikejutkan dengan beredarnya video Menteri Keuangan Sri Mulyani yang seolah-olah menyebut…

8 jam ago

Malam Tirakatan 17 Agustus Sebagai Ritus Kebangsaan Berbasis Kearifan Lokal

Momen peringatan Hari Kemerdekaan selalu tidak pernah lepas dari kearifan lokal. Sejumlah daerah di Indonesia…

1 hari ago

Dialog Deliberatif dalam Riuh Pesta Rakyat

Di tengah riuh euforia Kemerdekaan Republik Indonesia, terbentang sebuah panggung kolosal yang tak pernah lekang…

1 hari ago

Pesta Rakyat, Ritual Kebangsaan, dan Merdeka Hakiki

Tujuh Belasan atau Agustusan menjadi istilah yang berdiri sendiri dengan makna yang berbeda dalam konteks…

1 hari ago