Lajur kilat arus teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) bukan hanya menimbulkan dampak positif, tetapi juga memberi efek negatif. Segi positifnya, masyarakat bisa mengakses informasi yang tumpah ruah dengan cepat, kapan saja dan di mana saja. Namun di sisi lain, malah justru menebar kesesahan masyarakat. Belakangan ini, portal online (website) kerap diisi berbagai berita palsu atau hoax.
Sudah mafhum diketahui umum bahwa fenomena hoax tak hanya menjangkiti masyarakat awam saja, melainkan juga kaum terdidik. Kaum terdidik seekelas mahasiswa atau dosen, bahkan doktor ataupun profesor tak sedikit ikut terbius masuk dalam lingkaran setan hoax Apalagi momentum menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg), berita hoax sangat rentan dijadikan sebagai senjata untuk menyudutkan atau memfitnah salah pasangan calon (paslon) tertentu.
Tentunya ini sangat berbahaya serta dapat mencederai demokrasi. Bayangkan saja, bentrokan, baku hantam, tindakan kekerasan ataupun konflik lainnya bisa terjadi hanya lantaran terprovokasi berita hoax. Jangankan antar orang yang belum dikenal, antar saudara pun bisa bertikai karena berita hoax. Suara pemilih pun bisa berubah hanya lantaran mempercayai berita hoax. Kalau sudah begini, tentunya hasil pemilu akan keluar dari garis koridor demokrasi.
Subdirektorat Cyber Crime mengkonfirmasi saat ini paling tidak terdapat 300 konten medsos teridentifikasi menyebarkan berita hoax. Berbagai berita yang disajikan lebih mengedepankan hasutan, kebencian, dan kebohongan publik tanpa merujuk pada data dan realitas sebenarnya. Dan tanpa dilandasi pada pemahaman serta kematangan berpikir. Lambat laun berita mengancam integritas dan nilai-nilai luhur ‘Bineka Tunggal Ika’ yang selama ini kita jaga.
Sebagai masyarakat di era digital, sudah seharusnya pandai dalam memilah dan memilih informasi yang dapat dipercaya. Dan apabila menemukan situs online atau berita yang mencurigakan segera lapor kepada yang berwajib. Jangan sampai berita hoax tersebut terus menjalar.
Baca juga : Lawan Hoax: Revolusi Digital Harus dengan Revolusi Mental
Secara yuridis berita hoax yang menimpa Sri Sultan HB X melanggar dua pasal dalam UU No.11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pasal 27 mengenai larangan penyebaran dengan sengaja informasi yang bermuatan asusila perjudian, penghinaan, pencemaran nama baik, dan pemerasan. Sementara pada pasal 28 berkaitan dengan larangan penyebaran berita bohong, menyesatkan, menimbulkan kebencian, serta permusuhan berbau SARA.
Adapun ancaman yang bias dikenakan pada pelaku ialah dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 160 menyebutkan pelanggaran terhadap berita palsu dengan ancaman hukuman enam tahun penjara, dan pasal 311 dengan ancaman empat tahun penjara. Hoax harus segera ditindak. Mengingat fenomena hoax saat ini semakin merambah bak jamur di musim penghujan.
Memang tidak dipungkiri, mereka para penebar hoax punya misi tersendiri kenapa yang dicatut kebanyakan orang-orang ternama. Hal ini tak lain dan tak bukan, salah satunya karena ialah ada orientasi profit terselubung. Hoax memang memberi keuntungan secara materil kepada para oknum pembuat. Situs hoax ini membuat click bait yang mampu mengundang layanan iklan Google AdSense. Semakin banyak mendapat atensi oleh masyarakat, maka semakin banyak mereka mendulang keuntungan bagi si penebar hoax.
Langkah Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) yang langsung memblokir situs-situs yang berperan dalam menyebarkan hoax patut diapresiasi. Namun, upaya ini tentu masih belum cukup untuk memberantas hoax sampai ke akar-akarnya. Masyarakat sebagai konsumen informasi di dunia maya juga perlu dibina literasi medianya. Sosialisasi atau pembinaan terkait antisipasi berita hoax harus digencarkan kepada seluru lapisan masyarakat.
Literasi media penting bagi masyarakat dalam mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan memproteksi diri dari informasi yang mengundang keresahan bahkan perpecahan masyarakat. Sudah saatnya masyarakat Indonesia mampu menjadi generasi digital native yang cerdas dalam mengakses informasi. Tidak asal share informasi yang belum tentu valid kebenarannya. Artinya dalam hal ini, warganet harus punya landasan saring sebelum sharing.
Masyarakat harus bisa menjadi kontrol dan filter informasi yang beredar. Bila ada situs atau oknum yang menebar hoax, harus segera dilaporkan. Dengan adannya sinergitas antara pemerintah dengan masyarakat, harapannya siklus hidup berita hoax dapat dipotong, sehingga tidak menjalar ke mana-mana. Lambat-laun pun hoax dapat diberantas sampai ke akar-akarnya, semoga.
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…
View Comments