Narasi

Perang Atas Nama Agama?

Musim tekonologi menjadikan peperangan tidak saja berbentuk fisik namun juga media. Pun, efeknya sangat memilukan dan merata di kalangan masyarakat. Jika perang fisik hanya dirasakan satu atau sekelompok orang yang secara zahir berada di satu tempat, namun peperangan media membuat orang di seluruh dunia merasakan kepiluan hati yang cukup mendalam.

Lihatlah betapa terdapat kelompok muslim yang selalu mengatasnamakan agama dalam menyebar kebencian di dunia maya. Mereka membenci sesame manusia dalam rangka menyucikan diri dengan cara menajis-kafirkan orang lain. Mereka berkoar-koar bahwa hanya kelompok yang mereka anutlah yang mampu menjadi wasilah untuk menuai surga-Nya. Sementara, kelompok lain, meski selalu memperbaharui syahadad, menjalankan shalat, zakat, puasa Ramadan, hingga haji, dianggap kafir dan layak dimasukkan ke dalam Jahannam.

Belang Diri

Kelompok yang selalu menebar kebencian atas nama agama sejatinya tidak selamanya berjalan mulus. Dari mulut mereka sudah banyak terbukti mengeluarkan busa-busa kebohongan kepada publik. Tingkah mereka tidak mencerminkan sebagai muslim shalih. Beberapa kegiatan negatif dilakukan dalam rangka memperturutkan nafsu diri dan kelompoknya. Lihatlah betapa mutakhir banyak dari mereka yang terbukti melakukan kebohongan, makar terhadap pemerintahan, mengadu domba, hingga berbuat (maaf) mesum.

Realita memilukan tersebut mestinya menjadi bahan renungan oleh kelompok yang selalu mengatasnamakan agama Islam dalam menyulut peperangan di jagat media. Jika mereka memiliki akal sehat untuk berpikir positif, mestinya mereka mampu mencerna realita sehingga dapat menilai mana yang benar dan mana yang salah. Kendati demikian, akal sehat dapat dengan mudah tertutup oleh keyakinan yang sudah tertancap di dalam hati. Meski melihat realita tidak sesuai dengan kata hati, aturan agama, dan negara, mereka tetap mengikutinya.

Meski beberapa kelakuannya bertentangan dengan agama, mereka tetap mencari dalil dalam rangka menyucikan nama kelompoknya. Mereka tidak rela jika nama kelompoknya tercemar oleh perbuatan-perbuatan negatif yang telah mereka lakukan. Akhirnya, nama Islam menjadi tumbal dalam rangka membenarkan kesalahan-kesalahan yang telah mereka lakukan. Ke sana kemari, mereka menjual agama Allah dalam rangka kepentingan kelompoknya. Sehingga yang terjadi adalah, mereka tidak lagi mempertahankan keyakinan terhadap ajaran agama yang ada di Islam melainkan mempertahankan nama baik kelompoknya.

Kita yang sesama muslim mesti menyayangi mereka karena bagaimanapun, mereka adalah saudara seiman kita. Jangankan kepada mereka, kepada sesama manusia (bahkan yang tidak seiman) dan seluruh mekhluk-Nya pun kita mesti memberikan kasih sayang. Kepada kelompok yang suka memicu peperangan di jagad media, kita mesti menyayanginya dengan cara memberi pengajaran baik sehingga mereka mampu menyerap inti agama yang benar.

Beberapa agenda yang dapat diterapkan dalam rangka menanamkan rasa sayang kepada kelompok yang suka menularkan virus peperangan adalah mengolaborasikan kepiawaian umat muslim tua dan muda. Para ulama adalah muara ilmu agama Islam yang rahmatan lil alamin. Mereka memiliki kelengkapan referensi tekstual dan kontekstual dalam rangka menebar kasih sayang terhadap sesama. Hanya saja, banyak dari mereka belum mengenal media. Padahal, sekarang meruapakan era media.

Sambut gayung dengan kepemilikan para ulama, kelompok muda dapat memainkan perannya dalam bidang media. Mereka yang lebih banyak mengenal media bisa menjadi corong terhadap tausiyah-tausiyah para kaiainya. Mereka bisa memediasi kedalaman ilmu agama yang dimiliki para ulama sehingga mampu dinikmati oleh seluruh masyarakat dunia, tak terkecuali bagi kelompok yang suka menanamkan virus peperangan. Alhasil, semoga upaya ini mampu menyebarkan virus perdamaian di jagat media.

Anton Prasetyo

Pengurus Lajnah Ta'lif Wan Nasyr (LTN) Nahdlatul Ulama (LTN NU) dan aktif mengajar di Ponpes Nurul Ummah Yogyakarta

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

17 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

17 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

17 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

17 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago