Narasi

Perbedaan Itu Peluang, Bukan Hambatan

“Engkau menyingkapkan diri, dalam segala sesuatu, ketika Engkau menciptakannya, O.., lihatlah, cadar-cadar itu kini tersingkir” (Abd al Karim al Jili)

Penggalan syair di atas adalah karya Abd al Karim al Jili, murid sufi besar Ibnu Arabi. KH Husein Muhammad (2014) mengutipnya untuk menggambarkan realitas perbedaan yang diciptakan Tuhan. Bahwa segala macam ciptaan Tuhan yang bermacam-macam tersebut merupakan “tajalliyyat” atau penyingkapan Tuhan dalam alam semesta. Fenomena alam semesta adalah keindahan-keindahan yang menunjukkan Eksistensi Tuhan.

Ini artinya bahwa perbedaan yang tercipta di semesta ini semata hanyalah keindahan. Maka tidak dibenarkan bagi makhluk-Nya saling menghujat dan menghina karena perbedaan tersebut. Sebaliknya, perbedaan harus diapresiasi dan dihargai sebagai entitas kehidupan yang saling melengkapi.

Penghormatan terhadap perbedaan ini penting mengingat seringkali perpecahan dan chaos terjadi karena perbedaan tersebut. Agama, suku, bahasa, budaya, bahasa, lawan jenis, dan keanekaragaman lainnya terkadang menjadi pemicu pertikaian karena satu sama lain tidak memiliki sifat empati. Egosentrisme mengalahkan semangat toleransi sehingga perbedaan yang semestinya menjadi peluang, justru malah menjadi hambatan.

Salah satu diantara momen yang bisa menyulut perpecahan karena perbedaan adalah dinamika politik. Sentimen SARA kadang dimainkan untuk saling berburu posisi dan jabatan. Apalagi isu agama, menjadi sasaran tembak paling empuk untuk menjatuhkan lawan. Gelora politik yang diharapkan bisa menciptakan iklim demokrasi yang sehat, justru malah melahirkan disharmoni dan kegaduhan.

Kondisi semacam ini jelas bisa mengancam kebhinekaan Indonesia. Negara dengan tingkat keragaman luar biasa banyak ini, akan terancam pecah jika sentimen SARA dimainkan. Karena itu, KH. Ahmad Ishomuddin (2018) mewanti-wanti agar jangan sampai sentimen SARA menjadi penghambat dalam menciptakan demokrasi yang sehat. Siapapun warga negara Indonesia berkenan maju dalam kontestasi politik selama memenuhi syarat.

Kiai Ishom juga menegaskan bahwa agama bukan menjadi syarat multak bagi seseorang untuk maju dalam kontestasi politik. Yang terpenting bukan apa agamanya, tetapi bagaimana integritas dan kredibilitasnya dalam berdemokrasi. Jika kepribadiaannya bagus, bisa dipastikan agamanya juga bagus dan ia layak dijadikan sebagai pemimpin.

Perbedaan Sebagai Peluang

Perbedaan yang ada memang memiliki dua kutub, yakni negatif dan positif. Kutub negatif terjadi apabila perbedaan tidak dihargai dan tidak dimaknai sebagai rahmat. Sementara, perbedaan bisa menjadi kutub positif apabila mampu diapresiasi dan dimaknai sebagai piranti kehidupan yang penuh keindahan. Kutub positif inilah yang perlu dikembangkan agar perbedaan yang ada bisa menjadi peluang. Sebagaimana pelangi yang penuh warna, perbedaan juga menyiratkan ragam entitas yang indah.

Untuk menjadikan perbedaan sebagai peluang, tentu kita perlu memiliki kebesaran jiwa. Memiliki jiwa yang besar sangat dibutuhkan sebagai pondasi dalam menegakkan tata kelola kehidupan yang harmoni. KH Ahmad Mustofa Bisri (2017) bahkan menegaskan bahwa jiwa besar harus tertanam dalam diri setiap manusia. Karena perilaku mulia ini dapat melahirkan sikap ksatria dan toleran.

Soal berjiwa besar kita bisa meniru sikap Gus Dur saat dilengserkan. Gus Dur dilengserkan atas tuduhan melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus bruneigate dan bulogate. Meski sampai saat ini tuduhan tersebut tidak terbukti dan Gus Dur masih “bersih”. Pelengseran Gus Dur tak lain merupakan pertarungan politik.

Dalam posisi Gus Dur dilengserkan, banyak pihak yang tidak menerima, terutama kalangan pesantren dan nahdliyyin. Dalam catatan Gus Dur di bukunya Islamku, Islam Anda, Islam Kita, dijelaskan bahwa kekuatan massa saat itu sudah siap untuk membela Gus Dur. Mereka datang ke Jakarta demi menuntut hak presidennya yang telah didzalimi.

Gus Dur bukannya mendukung kekuatan tersebut, tetapi malah mencegahnya dan meminta mereka menerima dengan legowo kalau presidennya dicopot. Dalam benaknya, Gus Dur menyadari bahwa tidak ada jabatan di dunia ini yang perlu dipertahankan mati-matian. Disinilah kebesaran jiwa Gus Dur sebagai politisi patut untuk dijadikan contoh.

Selain berjiwa besar, jiwa yang pemaaf dan toleran juga perlu dimiliki. Hal ini penting mengingat tanpa saling memaafkan dan toleransi, maka kehidupan yang damai sulit terwujud. Sikap memaafkan inilah yang akan menjadi piranti bagi nikmatnya kehidupan.

Dua sikap diatas adalah ikhtiar untuk menjadikan perbedaan sebagai peluang, yakni peluang perdamaian. Semoga saja dua hal tersebut mampu tersemai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

This post was last modified on 17 Januari 2018 10:05 AM

Fatkhul Anas

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

1 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

1 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

1 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago