Tidak bisa dipungkiri, virus radikalisme bisa menyerang siapa saja tanpa kenal umur. Terlebih anak-anak yang nota bene belum memiliki filter informasi, sangat mudah menjadi korban. Konten-konten radikalisme yang tersebar dalam dunia digital dengan mudah bisa diakses anak-anak. Jika anak-anak tidak diberikan pemahaman betapa bahayanya konten-konten tersebut, maka akan berbahaya bagi perkembangan karakter mereka. Bayangkan jika anak-anak tiap saat disuguhkan konten radikal, mungkinkah akan tumbuh menjadi generasi cinta damai?
Satu hal yang mesti disadari orang tua adalah, bahwa anak membutuhkan bimbingan dari keluarganya. Tidak bisa, hanya karena anak telah dimasukkan ke dalam lembaga pendidikan, lalu orang tua lepas begitu saja tanggung jawab membimbingnya. Sekolah hanya menekankan pada pengajaran kognitif kepada peserta didiknya. Sementara pelajaran moral dan mental, bisa didapatkan anak dari lingkungan keluarga. Siapa lagi kalau bukan orang tua, anggota keluarga yang bertugas membimbing dan membentuk mental-karakter anak?
Sebuah kajian neurologi membuktikan, bahwa sekitar 50% kapasitas kecerdasan orang dewasa telah terjadi ketika anak berusia 4 tahun, 80% telah terjadi ketika anak berusia 8 tahuuun, dan mencapai puncaknya ketika anak berusia sekitar 18 tahun. (Rohimin: 2008)
Dari kajian tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa perkembangan yang diperoleh anak di usia dini sangat mempengaruhi perkembangan anak pada tahap selanjutnya. Masa awal perkembangan anak inilah yang oleh sebagian orang disebut sebagai “golden age” (usia emas). Dalam masa usia ini, apa yang didapatkan anak dari lingkungan sekitarnya, utamanya keluarga, menjadi modal awal untuk membentuk karakter anak.
Danil Goloman, seorang ahli psikologi menyebutkan, bahwa kehidupan keluarga adalah sekolah pertama yang diterima anak-anak hingga mengantarkan mereka melewati masa remaja. Dalam lingkungan keluarga, kepribadian anak akan tumbuh dan berkembang. Perkembangan kepribadian anak sangat bergantung pada kepribadian anggota keluarga, utamanya orang tua. (Rohimin: 2008) Dengan begitu, keluarga yang mampu mengajarkan anak arti penting kerukunan, dan juga memberikan teladan dengan laku hidup yang mengarah ke situ, maka besar kemungkinan akan berhasil mendidik anak menjadi pribadi yang cinta damai dan perdamaian.
Guru Literasi Digital Anak
Keluarga yang bertanggung jawab, tidak akan menyia-nyiakan keberadaan anak di dalamnya. Justru sebaliknya, keluarga tersebut akan berjuang keras agar anak tumbuh menjadi generasi harapan bangsa. Bisa bermanfaat bagi diri sendiri, keluarga, agama, dan negara. Bisa membawa perubahan positif di manapun ia berada.
Satu hal yang sering diabaikan dalam masyarakat kita adalah peran perempuan. Dalam tradisi jawa, Islam dikatakan sebagai konco wingking, yang artinya hanya berkutat pada urusan domestik. Padahal, perempuan adalah ‘rahim peradaban’, yang darinya lahir manusia-manusia mulia. Bukankah ketika perempuan dalam suatu bangsa rusak, maka rusak pula bangsa tersebut? Artinya, peran perempuan, sebenarnya, amatlah urgen. Perempuan memiliki andil besar dalam mendidik anak.
Apalagi, ancaman-ancaman yang bisa merusak perkembangan karakter anak kian hari kian mengkhawatirkan. Perkembangan teknologi salah satunya, yang memiliki dua mata pisau yang berbeda. Di samping kemanfaatannya sebagai media informasi, juga bisa menjadi ancaman anak, berupa wadah bagi konten-konten radikal yang terus diproduksi lalu dikonsumsi anak-anak. Konten-konten tersebut, jika dikonsumsi anak secara terus menerus, tentu akan mengganggu kesehatan ‘mental’ sebagai warga negara Indonesia.
Karenanya, ibu sebagai salah satu sosok teladan anak dalam keluarga, mesti bisa memberikan teladan yang baik. Seorang ibu jaman now mesti cerdas dalam bermedia, sehingga bisa membentengi anak dari bahaya radikalisme yang menggunakan media internet sebagai alat propaganda dan indoktrinasi. Sudah seharusnya, ibu bisa menjadi guru literasi digital anak. Membimbing anak dalam berselancar di dunia maya, dan mewaspadai konten-konten radikal yang ada di dalamnya. Dan yang terpenting, seorang ibu mesti bisa membentuk anak agar tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang kritis, sehingga memiliki filter dalam merespon kegaduhan apapun di dunia maya, terutama berkaitan dengan radikalisme yang mengancam kerukunan kehidupan masyarakat.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…