Narasi

Perempuan Zaman Now: Pilar Pendidikan Karakter Keluarga

Berkaitan dengan pendidikan tentunya perempuan memiliki hak yang sama dengan laki laki-laki. Artinya, tidak ada larangan perempuan untuk sekolah sampai ke jenjang yang lebih tinggi. Apalagi, perempuan kelak akan menjadi ibu yang akan mendidik anak-anaknya. Peranan seorang ibu sebagai sekolah pertama sangatlah vital dalam pendidikan keluarga, sehingga harus punya bekal yang cukup untuk mengajarkan nilai-nilai karakter kepada anak-anaknya.

Selain itu, di tengah-tengah hegemoni global ternyata masih ada residu persoalan yang membelenggu perempuan. Diantaranya tradisi diskriminasi gender yang sudah terlanjur berurat akar di masyarakat negeri ini. Subordinasi gender tetap masih marak terjadi, terutama di daerah pedesaan, di mana perempuan dianggap manusia kelas dua setelah laki-laki. Akibatnya, kekerasan terhadap perempuan banyak terjadi. Jangankan mendapatkan hak pendidikan yang tinggi, malah justru marak terjadi tindakan kekerasan terhadap mereka. Misalnya saja kasus KDRT tentu akan menghambat optimalnya pendidikan karakter dalam keluarga. Dan yang ada pendidikan anak juga kena getahnya.

Pemenuhan hak perempuan untuk sekolah tinggi tidak mengajarkan mereka untuk lari dari fungsi biologisnya dan perananya di dalam keluarga. Melainkan mengajarkan untuk lebih berharga dan mensyukuri fungsi tersebut. Oleh karena itu, salah jika atas nama emansipasi, lalu perempuan sibuk mengejar karier dan mengabaikan keluarganya. Perempuan yang berpandangan luas dan cerdas akan lebih mampu membangun keluarga dan mencerdaskan generasi mendatang. Seperti kata pepatah “suksesnya seorang laki-laki pasti ada peran perempuan di belakangnya”. Di sini keluarga harus menempati skala prioritas tertinggi sebagai instrumen pendidikan.

Memang perempuan sekarang ini telah diberi kebebasan untuk mengenyam pendidikan, turut berpolitik, dan memilih jalan hidupnya. Tidak seperti dulu yang membatasi hak pendidikan bagi perempuan. Namun, masalah gender dewasa ini tetaplah hadir yang tidak lagi dalam bentuk pembatasan, akan tetapi dalam modus lain seperti image dan pandangan masyarakat tentang perempuan. Masih banyak pandangan minor dari masyarakat terhadap perempuan yang secara tidak langsung mensubordinasikan perempuan terhadap laki-laki.

Baca juga : Perempuan dalam Persimpangan Nasionalisme dan Radikalisme

Disadari atau tidak ada banyak hal yang sejatinya mengandung diskiminasi gender. Seperti perempuan dianggap aneh apabila mengambil studi pada jurusan tehnik. Masyarakat masih berpandangan bahwa perempuan yang normal akan mengambil jurusan seperti sekretaris, keguruan, tata busana, ataupun tata boga. Kemudian, image negatif yang diberikan ketika perempuan mengerjakan profesi laki-laki seperti jadi sopir, berbeda dengan laki-laki yang dianggap sudah biasa. Kasus KDRT, pelecehan seksual, dan masih banyak lagi lainnya yang melibatkan perempuan sebagai korban. Tentunya, hal ini harus diantisipasi dan ditangani.

Oleh karena itu, perempuan juga diharapkan mampu mengontrol dirinya. Dalam artian ketika diberi kebebasan serta peran sebagai mitra bersama laki-laki (berkeluarga). Perempuan hendaknya tidak lupa dengan fungsinya, baik secara biologis maupun sosialnya. Seperti halnya fungsi ibu melahirkan dan menyusui yang merupakan fungsi biologis dan hanya mampu dilakukan oleh perempuan. Begitu juga fungsi sosialnya, seperti menjaga kehormatan atau nama baik serta memperhatikan kesejahteraan keluarganya. Selain fungsi biologis dan sosial, fungsi lainnya juga harus dilakukan secara berimbang di antara laki-laki dan perempuan, sehingga keberadaaan perempuan tidak lagi didiskriminasikan.

Itu semua merupakan tugas serta tanggung jawab kita sebagai insan yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM). Kita semua harus sadar dan memuliakan posisi perempuan, dimulai dari lingkungan masyarakat terkecil yaitu keluarga dengan menjadikan perempuan sebagai figur yang dihormati peranannya, bukan malah menjadi pelampiasan emosi ataupun kekerasan. Kalau kesadaran kolektif ini benar-benar dibumikan dalam keluarga maka niscaya akan berdampak positif pada proses pendidikan anak melalui pola pengasuhan yang baik. Langkah awal pendidikan keluarga ini tentunya akan berguna untuk tahap pendidikan selanjutnya ke arah yang lebih baik.

Suwanto

Penulis merupakan Peneliti Multiple-Representation Learning di PPs Pend.Kimia UNY, Interdisciplinary Islamic Studies di Fak. Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, dan Culture Studies di UGM

Recent Posts

Mereduksi Fetakompli Radikalisme dengan Berislam secara Logis

Ada statment yang selalu diserukan oleh kelompok radikal. Bahwasanya: “Khilafah itu adalah bukti kegemilangan peradaban…

4 jam ago

Mengantisipasi Residu Kebangkitan Terorisme di Suriah dengan Ideologisasi dan Diplomasi

Perkembangan mengkhawatirkan terjadi di Suriah. Kelompok pemberontak Suriah menyerbu dan merebut istana Presiden Bashar al-Assad…

1 hari ago

Algoritma Khilafah; Bagaimana Para Influencer HTI Mendominasi Semesta Virtual?

Pasca dibubarkan dan dilarang pemerintah pada medio 2019 lalu, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) telah melakukan…

1 hari ago

Islam Membaca Fenomena Golput : Kegagalan Demokrasi atau Apatisme Politik?

Gawai besar pemerintah untuk menyelenggarakan Pemilihan Umum Daerah (Pilkada) serentak telah usai dihelat 27 November…

1 hari ago

Tantangan dan Peluang Penanggulangan Terorisme di Era Prabowo

Predikat zero terrorist attack di akhir masa pemerintahan Joko Widodo sekilas tampak menorehkan catatan positif…

2 hari ago

Peran Agama dalam Membangun Ketahanan Demokrasi Pasca Pilkada 2024

Pilkada 2024 menjadi salah satu momen penting dalam perjalanan demokrasi di Indonesia. Ajang ini melibatkan…

2 hari ago