Di era media sosial, semua orang bisa bebas berekspresi: memproduksi atau menyebar konten dan menjadi viral tampaknya lebih menjadi trendsetter dibandingkan mengungkapkan kebenaran. Nalar sehat publik pun diuji. Mengingat, kebohongan tampak lebih mengemuka dibandingkan aspek rasionalitas publik dalam mengelola informasi yang didapatkan. Kebenaran yang semestinya tidak dapat diuji dengan sejauh mana peristiwa tersebut menjadi viral, kini mengalami mengalami pendangkalan makna secara signifikan. Ini terlihat dari respon mayoritas netizen yang lebih mempercayai peristiwa viral daripada esensi kebenaran suatu peristiwa itu sendiri.
Dalam konteks ini, sejauh mana pembuat dan penyebar konten dapat memikat emosi publik dengan sesuatu yang ia buat, sejauh itulah pendefinisian kebenaran diberikan publik atas sesuatu yang disajikan tersebut. Artinya, sejauh sesuatu dianggap dapat menggerakkan emosi publik, sesuatu itu dapat dianggap sebagai kebenaran; tidak peduli lagi dari mana segala informasi itu berasal atau bagaimana informasi itu dimodifikasi sehingga bersifat “abu-abu” atau malahan berlawanan dengan fakta.
Ironinya, dari beragam peristiwa atau hal-hal yang diviralkan, tidak sedikit hoaks juga turut bertebaran. Hoaks tersebut sengaja disebar untuk mempengaruhi emosi sosial menempatkan rakyat kebanyakan sebagai objeknya. Tujuannya sederhana: masyarakat era post-truth yang secara psikologis mudah melekatkan diri kepada kelompok sosial tertentu yang berlawanan dengan keyakinan kalangan pejabat dan elit politik akan teguh mengikuti keyakinan mayoritas di mana mereka berdiri. Persoalan uji kesahihan informasi yang beredar tidak lagi dianggap sebagai hal yang harus dilakukan. Kebenaran mayoritas (walaupun tidak sesuai fakta) dianggap sebagai kebenaran sejati.
Tak ayal, marak fakta yang seharusnya menjadi acuan dalam menentukan sikap justru terkubur dalam-dalam. Fakta objektif kalah pengaruh dengan emosi dan keyakinan pribadi dalam membentuk opini. Ironinya, marak pembentukan opini dan keyakinan tidak memedulikan lagi argumen yang sesuai dengan pengetahuan dan logika. Emosi dikedepankan sehingga mengalahkan objektivitas dan rasionalitas. Kebenaran ditempatkan menjadi nomor kesekian. Benturan efek emosional yang disebarkan lewat informasi pun telah menyulut ketegangan di semua lapisan masyarakat.
Pentingnya Nalar Kritis Publik
Harus diakui, kehadiran internet dalam segala aspek manusia telah memiliki dampak serius terhadap persepsi atau cara manusia menerima kebenaran fakta. Sebelum internet hadir, informasi mengenai pengetahuan merupakan hal yang sangat mahal dan sulit untuk ditemukan. Sehingga mereka saling berlomba-lomba mencari kebenaran pengetahuan tersebut dengan cara saling menguji dan mengkritisi informasi dan opini yang didapatkan dan dikonstruksi oleh pikiran. Kebenaran pengetahuan mereka uji dengan mengkonfirmasi ke sumber informasi terpercaya untuk membuktikan kebenaran fakta dan data.
Baca Juga : Merawat Akal Sehat Publik di Sosial Media
Setelah internet hadir, bukan manusia yang mengejar informasi mengenai pengetahuan melainkan informasi tersebut yang “datang” kepada manusia. Penemuan informasi dan pengetahuan baru menjadi begitu instan dan mudah. Akibatnya, manusia cenderung abai dalam memilah-milah informasi tersebut.
Tak ayal, nalar kritis manusia semakin tumpul oleh segala macam kemudahan yang ditawarkan oleh internet. Justru yang menonjol adalah nalar emosional terhadap informasi yang disebarkan. Apakah suatu informasi itu hoax ataupun benar tidak lagi menjadi perhatian manusia. Hal yang dipedulikan manusia berkaitan dengan informasi tersebut adalah seberapa jauh informasi tersebut viral dan dibicarakan oleh banyak orang.
Dalam konteks tersebut, nalar kritis manusia harus ditegakkan lagi pada masa ini, terlebih ketika hoax berhasil memporak-porandakan banyak sendi kehidupan manusia. Rekonstruksi nalar manusia pada era post-truth pada dasarnya berkaitan dengan penggunaan lagi nalar kritis manusia untuk merumuskan kebenaran sejati. Nalar kritis ini dibangun dengan kemampuan manusia untuk bertanya dan memetakan informasi-informasi yang beredar di internet. Nalar manusia harus mau sedikit “bersusah payah” untuk mengecek kebenaran setiap informasi yang disajikan oleh media.
Rekonstruksi nalar kritis manusia ini juga berkaitan dengan cara manusia melihat internet, media sosial ataupun media massa online. Banyak orang merumuskan internet sebagai suatu (baca: hyper-reality). Akibatnya, banyak orang merasa bahwa media sosial online merupakan komunitas global di mana manusia berinteraksi dan juga saling membentuk persepsi (Trio Kurniawan, 2018). Padahal, internet dan media sosial atau media online bukanlah realitas, melainkan hanya sebuahsarana yang membantu kehidupan manusia.
Rekonstruksi nalar ini menjadi tugas setiap orang yang peduli terhadap kebenaran sejati yang tidak tersingkap oleh tingkat keviralan dan sejauh mana mempengaruhi emosi manusia. Ini hanya bisa apabila setiap manusia mampu melihat internet dan media sosial sebagai teknologi yang sifatnya membantu kehidupan manusia, bukan kebenaran itu sendiri. Sehingga, informasi yang keluar dari teknologi semacam itu juga harus dikritisi sehingga manusia bisa menikmati kebenaran yang hakiki. Wallahu a’lam.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
View Comments