Perdebatan mengenai nasionalisme vs negara khilafah memang seakan tidak ada habisnya. Ketegangan antara keduanya muncul sebagai proses sosiologis-antropologis. Mengingat keduanya, saling bertarung berebut dominasi dalam kontestasi diskursus ideologi global. Jika ditelusuri, sejak awal munculnya konsep nation state di Eropa dan menjamurnya konsepsi demokrasi liberal pasca revolusi industri, terjadi pertarungan ideologis yang cukup kuat antara konsep negara nasionalis dan negara khilafah dan berlangsung hingga kini.
Pasca revolusi industri ditandai sebagai era modernisme, ketika itu terjadi berbagai gejolak geopolitik salah satunya perang dunia pertama sebagai akibat dari problem kontestasi berebut dominasi. Kekhilafahan Turki Utsmani saat itu masih eksis namun di sisi lain sudah menunjukkan gerak kemundurannya. Selain itu, di sisi yang lain terjadi demam ideologi di berbagai belahan dunia dan adanya rasa kejenuhan terhadap sistem khilafah yang idealistik-totalistik. Sebagaimana diketahui, khilafah diakhir keruntuhannya, sudah mengalami gejolak yang berkepanjangan, mulai dari korupsi kalangan elit, konflik antar etnis, dan konflik antar madzhab.
Merespon keruntuhan khilafah usmani, kalangan Arab meresponnya dengan spirit mengembalikan lagi kejayaan Islam. Mengingat penggaung khilafah mayoritas berasal dari bangsa Arab. Pasca keruntuhan khilafah, sebagian besar bangsa Arab masih susah move-on oleh ideologi ini. Namun di sisi lain, ideologi nasionalisme semakin menancapkan pengaruhnya ke berbagai tempat di seluruh dunia.
Secara historis, bangsa-bangsa Arab merupakan salah satu entitas di dunia Islam yang sulit membentuk formulasi kebangsaan dan nasionalisme dibanding dengan entitas-entitas lainnya (Suaib Tahir, 2017). Selain karena mereka telah lama hidup dalam budaya kekhilafahan yang begitu besar, juga karena sulit memberikan batas-batas entitasnya. Tak heran, negara-negara Arab umumnya berbasis keagamaan (Islam), meskipun konsep kekhilafahan juga sudah mati suri. Hal ini disebabkan karena problem etnisitas yang sangat kuat sebagaimana disebutkan sebelumnya.
Ide nasionalisme ini pada intinya membuat entitas tersebut semakin kecil sehingga tidak mengherankan jika perlawanan terhadap ide ini cukup keras sampai saat ini, khususnya di kalangan kelompok-kelompok yang memiliki fanatisme Arab dan Islam. Rasa takut kehilangan identitas kultural dan rasa ketertinggalan dengan kemajuan modernlah yang menjadi penyebab perlunya kebangkitan Islam (khilafah) yang digaungkan oleh mereka.
Khilafah adalah sebuah gerakan keagamaan yang dipahami sebagai konsep tentang kenegaraan yang berdasarkan syariat Islam dan pemimpinnya disebut Khalifah. Konsep tersebut mengandaikan seluruh dunia Islam disatukan ke dalam satu sistem kekhalifahan atau pemerintahan yang tunggal. Sistem khilafah mengklaim bukan sistem demokrasi, melainkan menerapkan sistem Ahlul Halli wal Aqdli (Makmun Rasyid, 2017). Sedangkan Nasionalisme adalah sebuah paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah bangsa dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia yang mempunyai tujuan atau cita-cita yang sama dalam mewujudkan kepentingan bangsanya.
Nasionalisme menurut Benedict Anderson …“The Nation: it is an imagined political coummunity…it is imagined because the members of even the smallest nation will never know most of their fellow-members, meet them or even hear of them, yet in the minds of each lives the image of the communion (anderson, 1983, 49). Atau bisa dipahami bahwa Bangsa merupakan sebuah komunitas karena memiliki ikatan yang dalam dan kuat serta akan mengabdikan jiwa raganya demi negara
Nasionalisme Vs Khilafah, Siapa yang Menang?
Kontestasi wacana antara kubu nasionalis dengan khilafah begitu kental di Indonesia, semenjak menguatnya ideologi khilafah pasca reformasi. Khilafah setelah runtuhnya Orde Baru pengaruhnya semakin menguat di Indonesia, ketika itu mereka bergerak sebagai salah satu ormas keagamaan di Indonesia. Visi politik khilafah terus mereka dengungkan di Indonesia sebagai upaya merealisasikan cita-cita utopisnya. Pada gilirannya mereka terus berekspansi baik secara kultural dan struktural untuk menguatkan pengaruhnya di masyarakat.
Namun seiring berjalannya waktu, kelompok khilafah semakin membuat runyam realitas sosial, khususnya realitas perpolitikan di Indonesia. Berbagai peristiwa konflik sosial di tengah-tengah masyarakat dan upaya mereka mengganti ideologi resmi negara, yakni Pancasila semakin meresahkan. Akhirnya pada tanggal 19 Juli 2017 pemerintah Indonesia melalui Kementerian Hukum dan HAM secara resmi mencabut status badan hukum ormas Hizbut Tahrir Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-30.
Awalnya konsepsi khilafah ini bergulir seiring dengan terbentuknya Hizbut Tahrir dan ekspansi mereka ke Indonesia di masa orde baru dan semakin menguat pasca reformasi. HTI menjadi salah satu corong utama dalam persebaran ideologi khilafah di Indonesia. Namun, Indonesia yang ideologi nasionalismenya terangkum dalam Pancasila menjadi wacana atau gagasan tandingan terhadap ideologi khilafah. Pancasila menjadi falsafah hidup berbangsa dan bernegara dan menjadi perekat bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
NKRI yang terbentang dari Sabang sampai Merauke merupakan sebuah wilayah yang cukup luas yang tidak ada duanya di dunia ini, inilah salah satu peran penting dari nasionalisme. Keberhasilan mempertanahkan NKRI ini tentu menjadi tanggung jawab semua elemen bangsa untuk memeliharanya karena jika dibandingkan apa yang telah dicapai oleh bangsa-bangsa lain dalam upaya membentuk sebuah entitas tersendiri.
Artinya, keberhasilan tokoh-tokoh nasional kita masih jauh lebih unggul dari apa yang mereka (kelompok khilafah) telah capai. Oleh karena itu, kekhilafahan sulit menjadi alternatif di negeri ini. Sebagai konsepsi ideologis, Nasionalisme akan senantiasa bertarung gagasan dalam wacana diskursif global. Antara khilafah dan nasionalisme akan terus saling berperang siapa yang memiliki keterpengaruhan secara signifikan di pentas global. Sebagai sebuah wacana akademis, tentu masing-masing punya ciri khasnya, namun tentu kita bisa lihat hingga detik ini ideologi nasionalismelah yang memenangkan pertarungan gagasan di ranah nasional maupun global.
This post was last modified on 29 Maret 2023 2:31 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…