Narasi

Pesan Kerukunan dalam Peristiwa Isra Mi’raj

Dalam beberapa hari yang lalu, umat Islam seantero memperingati peristiwa Isra Mi’raj. Secara etimologi, Isra merupakan sebuah perjalanan Nabi pada malam hari dari Makkah ke Masjid Al-Aqsha. Sedangkan Mi’raj memiliki makan perjalanan Nabi dari Masjid al-Asha ke langit ke tujuh. Bagi orang awan, perjalanan ini sungguh tidak mungkin terjadi dalam hitungan jam semata. Sebab pada waktu itu, 621 M belum ada sebuah transportasi yang dapat mengantarkan dengan kecepatan tinggi. Namun, dalam tataran iman atau kepercayaan, tidak ada hal yang tidak mungkin.

Menengok beberapa literatur mengenai sejarah Islam, bahwa sebelum sampai ke Masjid al-Aqsha, Nabi mampir beberapa tempat yang begitu penting dalam sejarah agama-agama besar sebelumnya, seperti ke tempat kelahiran Nabi Isa (Betlehem) dan tempat Nabi Musa menerima wahyu di puncak Gunung Sinai. Di tempat yang sangat bersejarah bagi Nabi Isa dan Nabi Musa, dua saudaranya sesama nabi, Nabi Muhammad memberikan hormat. Kemudian, Nabi meneruskan perjalanan menuju Masjid Al-Aqsha. Di sini di kiblat semua agama samawi (Yahudi, Kristen, dan Islam), di kawasan yang diperebutkan saat ini, Nabi melakukan salat bersama (jamaah) dengan bapak para Nabi, Ibrahim, dan dua saudaranya, Nabi Musa dan Nabi Isa.

Dari peristiwa ini upaya rekonsiliasi sejarah asal-usul agama Islam. Sebab, “kunjungan” Nabi Muhammad ke Yerusalem bisa dipandang sebagai upaya “merapatnya” agama Islam pada bentuk monoteisme/ketauhidan yang juga diajarkan oleh agama Yahudi. Agama yang jauh lebih tua daripada agama kepercayaan milik suku Quraisy yang saat itu sangat mengancam keberlangsungan Islam. Dengan begitu, menegaskan watak monoteistik, Islam akan dipersonifikasikan sebagai agama yang punya riwayat panjang yang berakar dalam tradisi tua.

Dari peristiwa ini banyak pesan yang disampaikan kepada siapa pun yang mendengarkan, bahkan sangat kontekstual dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi di negeri ini. Yang paling ketara saat ini adalah bagaimana kehidupan keagamaan yang terjadi di Indonesia. Lihat saja banyak orang yang mengatakan agama –yang memiliki makna sebagai jalan keselamatan, digunakan untuk menakuti orang-orang yang tidak sepemahaman dengan mereka.

Yang memprihatinkan, konflik sosial sering justru banyak mengusung ideologi agama. Sebagian kalangan (hard liners) sangat doyan mencomot serampangan teks-teks Quran sebagai sumber perjuangan dan pembenaran tindakan radikal, dengan membunuh, melaksanakan aksi teror, merusakkan harta benda dan simbol-simbol keagamaan umat lain. Tentu, dengan mengabaikan banyak ayat yang menyerukan perdamaian dan menghargai kemanusiaan.

Karena itu, pada perayaan Isra Mikraj kali ini, sebaiknya masing-masing berani melakukan otokritik, apakah praktik hidup beragama (khususnya sebagai muslim) sudah senada dengan apa yang dicontohkan oleh Kanjeng Nabi, junjungan kita? Dalam pemaparan di atas sudah terlihat betapa Rasullullah tidak suka menghakimi ajaran atau apa yang disampaikan para Nabi sebelumnya. Justru Kanjeng Nabi mempertontonkan semangat menjalin tali silaturahim. Dengan tali silaturahim ini, Nabi bukan hanya bersikap toleransi (membiarkan orang lain seperti adanya), tapi juga mengapresiasi. Di sinilah teladan Kanjeng Nabi masih begitu relevan dengan kekinian kita.

Ketika melihat QS. an-Nahl ayat 125, bahwa ayat ini sangat menjunjung rasa kemanusiaan yang begitu tinggi, bahkan selama hidup nabi selalu menerapkan bagaimana rasa kemanusiaan harus beriringan dengan dengan rasa kasih sayang. Tatkala orang yang melakukan dakwah secara anarkis dan mengatasnamakan pembelaan Islam, justru dirinya terkesan lebih hebat, lebih mulia bahkan paling benar dari Islam. Allah serta utusan-Nya, memberikan contoh yang baik dan menjunjung tinggi hak manusia.

Sesungguhnya Islam tidak mengajarkan dakwah dengan melakukan kekerasan, dan menganggap dirinya paling benar/hebat. Perlu diingat, Allah itu Maha Benar, Allah itu Maha Segalanya. Kalau manusia ingin hebat, maka dia harus bisa menaklukkan dirinya sendiri. Sebagaimana yang perkataan Nabi Muhammad setelah Perang Badar, bahwa perang besar adalah perang melawan hawa nafsu.

Nabi Saw. telah melakukan dakwah yang dengan rasa kemanusiaan yang sangat tinggi, seperti yang dijelaskan sebelumnya. Berbanding terbalik, sifat-sifat kemanusiawian seseorang (terutama umat muslim) sekarang semakin terkikis dan menghilang dari kehidupan sosial. Mereka (baik Ormas atau perorangan) akan melakukan tindakkan anarki sekedar untuk menegakkan ideologinya. Yang menusuk hati adalah mereka mengatasnamakan jihad dibawah bendera islam.

Novita Ayu Dewanti

Fasilitator Young Interfaith Peacemaker Community Indonesia

View Comments

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

3 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

3 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

3 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

4 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

4 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

4 hari ago