Narasi

Pesan Sosial Perjalanan Mi’raj

Buah tangan atas perjalanan mi’raj Nabi Muhammad Saw ke sidratul muntaha adalah kewajiban menjalankan shalat 5 (lima) waktu. Awalnya, Nabi Muhammad Saw berikut umatnya diperintahkan untuk menjalankan shalat sebanyak 50 kali dalam sehari semalam. Namun dengan pertimbangan “kemanusiaan”, Allah Swt menurunkan beban kewajiban hingga seper sepuluh. Hanya saja, ketika umat Islam mengerjakan shalat 5 kali dalam sehari, maka ia akan mendapatkan pahala setara dengan menjalankan 50 kali. Karena, setiap perbuatan baik yang dilakukan oleh umat muslim akan diberikan pahala 10 kali lipat.

Sekilas, kewajiban menjalankan ibadah shalat hanyalah perbuatan yang bersinggungan dengan pribadi pelaksana shalat dengan Allah Swt. Orang yang menjalankan shalat hanya shalah kepada Tuhan belaka tanpa adanya pengaruh terhadap keshalihan sosial. Hal ini bisa terjadi karena shalat dilakukan tidak bersinggungan dengan orang lain. Manusia menjalankan shalat seakan hanya berduaan dengan Allah semata.

Pun, umat muslim yang setiap hari diwajibkan melaksanakan ibadah shalat juga mesti mengingat bahwa mereka memiliki kewajiban “tanha ‘anil fakhsya’ wal munkar”. Bagi pelaksana shalat, mereka memiliki kewajiban sosial yakni mencegah kemungkaran. Sementara, kemungkaran banyak bersinggungan dengan aktivitas sosial.

Ketika shalat bisa tanha ‘anil fakhsya’ wal munkar, maka interaksi sosial yang dilakukan umat muslim dipastikan akan berjalan dengan baik. Tidak ada perbuatan negatif yang dilakukan seseorang ataupun kelompok tertentu terhadap orang/kelompok lain. Mereka akan menjaga diri dari berbuat yang dapat merugikan orang/kelompok lain.

Sayangnya, mutakhir banyak umat muslim yang menjalankan ibadah shalat namun tetap melakukan perbuatan mungkar. Dalam berkomunikasi, sering kali para pelaku shalat mengadu domba kelompok lain, memfitnah, hingga membuat sekaligus menyebarkan kabar hoax. Dalam bentuk fisik, tidak sedikit seseorang ataupun kelompok masyarakat dianiaya atau bahkan dibunuh oleh kelompok yang juga melakukan ibadah shalat. Uniknya, mereka melakukan perbuatan mungkar tersebut dengan bersandar pada ajaran agama Islam.

Bermula dari sinilah, para pelaku shalat yang masih melakukan perbuatan mungkar mesti melakukan introspeksi diri. Jangan sampai mereka melakukan shalat hanya sekadar simbol shalih kepada Tuhan namun tidak shalih kepada sesama. Allah tidak hanya menilai kebaikan seseorang hanya karena ibadah shalatnya seja namun juga perilaku sosial di masyarakat. Jika mereka melakukan keshalihan dalam menjalankan kehidupan sosial, maka Allah Swt akan mengganjarnya dengan pahala yang besar. Namun, jika seseorang menjalankan shalat dengan tetap menjalankan kemungkaran, maka Allah pun tetap mencatat tindak keburukan yang dilakukan.

Jika saja para pelaku shalat belum sadar bahwa dirinya memiliki kewajiban untuk shalih kepada sesama, maka alamat bahwa para orang-orang yang tidak menjalankan shalat juga akan beranggapan lebih negatif. Sehingga, menjadi pekerjaan rumah (PR) bersama adalah membumikan shalih sosial sebagai pengiring shalih ritual yang dilakukan umat muslim. Wallahu a’lam.

Anton Prasetyo

Pengurus Lajnah Ta'lif Wan Nasyr (LTN) Nahdlatul Ulama (LTN NU) dan aktif mengajar di Ponpes Nurul Ummah Yogyakarta

View Comments

Recent Posts

Konsep Islam Menentang Tiga Dosa Besar Dunia Pendidikan

Lembaga pendidikan semestinya hadir sebagai rumah kedua bagi peserta didik untuk mendidik, mengarahkan dan membentuk…

6 jam ago

Pemaksaan Jilbab di Sekolah: Praktir yang Justru Konsep Dasar Islam

Dalam tiga tahun terakhir, kasus pemaksaan hijab kepada siswi sekolah semakin mengkhawatirkan. Misalnya, seorang siswi…

6 jam ago

Memberantas Intoleransi dan Eksklusivisme yang Menjerat Pendidikan Negeri

Dua tahun lalu, seorang siswi SDN 070991 Mudik, Gunungsitoli, Sumatera Utara, dilarang pihak sekolah untuk…

6 jam ago

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

1 hari ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

1 hari ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

1 hari ago