Pesan Sosial Perjalanan Mi’raj

Pesan Sosial Perjalanan Mi’raj

- in Narasi
1121
1
Pesan Sosial Perjalanan Mi’raj

Buah tangan atas perjalanan mi’raj Nabi Muhammad Saw ke sidratul muntaha adalah kewajiban menjalankan shalat 5 (lima) waktu. Awalnya, Nabi Muhammad Saw berikut umatnya diperintahkan untuk menjalankan shalat sebanyak 50 kali dalam sehari semalam. Namun dengan pertimbangan “kemanusiaan”, Allah Swt menurunkan beban kewajiban hingga seper sepuluh. Hanya saja, ketika umat Islam mengerjakan shalat 5 kali dalam sehari, maka ia akan mendapatkan pahala setara dengan menjalankan 50 kali. Karena, setiap perbuatan baik yang dilakukan oleh umat muslim akan diberikan pahala 10 kali lipat.

Sekilas, kewajiban menjalankan ibadah shalat hanyalah perbuatan yang bersinggungan dengan pribadi pelaksana shalat dengan Allah Swt. Orang yang menjalankan shalat hanya shalah kepada Tuhan belaka tanpa adanya pengaruh terhadap keshalihan sosial. Hal ini bisa terjadi karena shalat dilakukan tidak bersinggungan dengan orang lain. Manusia menjalankan shalat seakan hanya berduaan dengan Allah semata.

Pun, umat muslim yang setiap hari diwajibkan melaksanakan ibadah shalat juga mesti mengingat bahwa mereka memiliki kewajiban “tanha ‘anil fakhsya’ wal munkar”. Bagi pelaksana shalat, mereka memiliki kewajiban sosial yakni mencegah kemungkaran. Sementara, kemungkaran banyak bersinggungan dengan aktivitas sosial.

Ketika shalat bisa tanha ‘anil fakhsya’ wal munkar, maka interaksi sosial yang dilakukan umat muslim dipastikan akan berjalan dengan baik. Tidak ada perbuatan negatif yang dilakukan seseorang ataupun kelompok tertentu terhadap orang/kelompok lain. Mereka akan menjaga diri dari berbuat yang dapat merugikan orang/kelompok lain.

Sayangnya, mutakhir banyak umat muslim yang menjalankan ibadah shalat namun tetap melakukan perbuatan mungkar. Dalam berkomunikasi, sering kali para pelaku shalat mengadu domba kelompok lain, memfitnah, hingga membuat sekaligus menyebarkan kabar hoax. Dalam bentuk fisik, tidak sedikit seseorang ataupun kelompok masyarakat dianiaya atau bahkan dibunuh oleh kelompok yang juga melakukan ibadah shalat. Uniknya, mereka melakukan perbuatan mungkar tersebut dengan bersandar pada ajaran agama Islam.

Bermula dari sinilah, para pelaku shalat yang masih melakukan perbuatan mungkar mesti melakukan introspeksi diri. Jangan sampai mereka melakukan shalat hanya sekadar simbol shalih kepada Tuhan namun tidak shalih kepada sesama. Allah tidak hanya menilai kebaikan seseorang hanya karena ibadah shalatnya seja namun juga perilaku sosial di masyarakat. Jika mereka melakukan keshalihan dalam menjalankan kehidupan sosial, maka Allah Swt akan mengganjarnya dengan pahala yang besar. Namun, jika seseorang menjalankan shalat dengan tetap menjalankan kemungkaran, maka Allah pun tetap mencatat tindak keburukan yang dilakukan.

Jika saja para pelaku shalat belum sadar bahwa dirinya memiliki kewajiban untuk shalih kepada sesama, maka alamat bahwa para orang-orang yang tidak menjalankan shalat juga akan beranggapan lebih negatif. Sehingga, menjadi pekerjaan rumah (PR) bersama adalah membumikan shalih sosial sebagai pengiring shalih ritual yang dilakukan umat muslim. Wallahu a’lam.

Facebook Comments