Narasi

Pilkada Selesai, Mari Jaga Kondisi Damai

Pesta demokrasi lima tahunan yang digelar serentak di 171 daerah pada 27 Juni kemarin telai usai. Pilkada 2018 bisa dibilang berjalan dengan lancar, damai dan penuh dengan ketenangan. Namun tetap harus diakui pula bahwa masih ada sekolompok kecil yang berpotensi mencerderai kondisi damai. Hal ini bisa dilihat dari beberapa fenomena, seperti; pendukung paslon A menuduh bahwa paslon B melakukan kecurangan. Lebih parah lagi, kedua atau antar pendukung Paslon saling sindir dan menebar berita negatif.

Semua itu mencerminkan betapa masyarakat kita, masih belum dewasa sepenuhnya. Kekalahan dalam kompetisi dalam pesta demokrasi tidak dimaknai secara cerdas, sehingga menimbulkan dendam yang membara. Sikap legowo yang dijunjung tinggi lagi menjadi warisan luhur nenek moyang dan ajaran agama, seolah tidak ada artinya. Hanya emosi dan ambisi yang menyelimuti mereka. Inilah yang kemudian bisa menciptakan dendam kesumat dan menjadi luka yang menga-nga.

Sebagai pengetahuan saja dan sedikit menengok data pada Pilkada kemarin. Dapat diketahui bahwa pilkada serentak 2018 dihelat di 171 daerah, dengan rincian ada 17 Provinsi, 39 Kota, dan 115 Kabupaten. Sebanyak 520 pasangan dalam Pilkada serentak 2018 ini berlomba mendapatkan kursi tertinggi di level daerah ini. Sementara, berdasarkan data yang dihimpun Kompas, menyebutkan bahwa total anggaran Pilkada 2018 sebesar Rp 12.294.977.045.327, yang rinciannya; anggaran KPU Rp 11.9 Triliun, Bawaslu Rp 2,9 Triliun, dan Pengamanan TNI-Polri Rp Rp 339,6 Milliar.

Terlepas dari data di atas, ada hal urgen yang harus segera dieksekusi secara bersama. Pertama, berhenti menebar provokasi. Benih-benih kebencian dan permusuhan selalu diawali melalui menerbar provokasi, utamanya di media sosial.

Media sosial (Medsos) yang tak bertepi dan memiliki efek berantai itu memang menjadi ladang tumbuhnya permusuhan. Sebab, Medsos sangat bebas, orang bisa berbicara apa saja. Jika konten yang diproksi dan disebarkan via Medsos adalah kebencian, agitasi dan sejenisnya, maka akan mengundang raksi orang atau kelompok lain. Dalam kondisi seperti inilah, perbdbatan di dunia maya menjadi sesuatu yang sulit dihindari.

Tentu kita tidak ingin segera menandatangani kehancuran republik ini sedini hari ini. Pilkada sudah usai, oleh sebab itu, mari menebar perdamaian, hentikan menebar kebencian. Ingatlah bahwa kebencian tidak akan menyelesaikan masalah, justru malah menambah masalah menjadi lebih kompleks.

Kedua, menjadi duta damai. Duta damai atau agen perdamaian nyatanya selalu dibutuhkan dalam setiap waktu, terlebih pada saat Pilkadai usai. Duta damai sangat dinanti perannnya dalam melerai atau mendamaikan masyarakat yang terlibat adu mulut (debat kusir) di Medsos, misalnya. Duta damai bisa berperan sebagai mediator masyarakat.

Duta damai ini juga memiliki kewajiban untuk mencerdaskan masyarakat. Cara-cara efektif yang bisa dilakukan duta damai ini adalah menjelaskan kepada masyarakat luas bahwa berbeda pilihan adalah konsekuensi logis dari plularitas masyarakat Indonesia. Pluralitas dan keanekaragaman Indonesia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus disyukuri.

Singkat dan jelas kata, Pilkada yang telah usai ini masih ada potensi permusuhan. Permusuhan itu bisa datang dari segela penjuru. Duta damai, harus bergerak lebih cepat dan masif untuk membendung potensi permusuhan.

Ketiga, menggelorakan rekonsiliasi. Kita tidak bisa menafikan adanya sikap fanatisme dalam diri pendukung antar calon. Bagi pendukung salah satu paslon yang kalah misalnya, perasaan kesal dan kecewa merupakan sesuatu yang pasti bersemanyam dalam dirinya. Aapalagi ketika kompetisi tersebut hanya ada dua kandidat.

Dalam kondisi kesal dan kecewa itulah, rekonsiliasi menjadi tepat sekali. Sekali lagi, rekonsiliasi kebangsaan menemumakn momentumnya saat ini, terlebih pasca kontestasi yang mempertemukan dua atau bahkan lebih kepentingan dan kelompok yang berbeda. Tentu langkah ini bukan tanpa tujuan. Meredakan ketegangan dan menjaga kondusifitas serta perdamaian nasional adalah tujuan utamanya.

Dan masyarakat, terutama para pendukung yang masih belum menerima kekalahan dan masih juga menebar kebencian, nyinyir dan sejenisnya, yakinlah bahwa sikap kenak-kanakan yang ditandai dengan tidak terima atas hasil Pilkada kemarin kemudian melakukan provokasi dan sejenisnya itu, akan merugikan diri Anda sendiri dan juga bangsa ini secara keseluruhan. Untuk itu, stop permusuhan. Mari jaga perdamaian.

M Najib

Presiden Direktur Abana Institute, Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

43 menit ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

45 menit ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

47 menit ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago