Narasi

Potret Iman dalam Kebhinekaan

Nandhing sarira iku

Aku-sliramu dudu

Tepa sarira rasamu-rasengmami

Mulat sarira puniku

Swug sirna pandhakuning wong

 

—“Kandha Manyura,” Heru Harjo Hutomo

 

Sungguh sebentuk relasi yang cukup “beriman,” untuk tak mengatakan sekedar kecakapan dalam mengakui dan menghormati. Demikianlah perjumpaan Raja Baldwin IV (Raja Yerusalem) dan Sultan Saladin al-Ayyubi yang tengah berperang dalam gambaran film Kingdom of Heaven (2005). Pada perjumpaan itu, Sultan Saladin menyatakan akan mengirimkan tabibnya untuk mengobati Baldwin IV yang tengah menderita penyakit lepra yang telah menggerogoti kulit dan dagingnya. Dan Raja Baldwin berjanji untuk menghukum salah satu bawahannya yang telah berurusan dengan kaum muslimin pimpinan Saladin.

Bagaimana mungkin dalam sebuah perang, yang oleh sejarah dicatat sebagai salah satu perang yang bermotifkan agama, toleransi seolah dapat menjebol batas-batas normalnya? Apakah yang diperagakan oleh kedua pemimpin itu hanyalah sebentuk diplomasi damai, yang menunjukkan bahwa keduanya adalah juga para pemimpin politik yang cakap? Ataukah justru keduanya menunjukkan tataran iman yang sudah mengatasi segala kalkulasi: politik, ekonomi, kebudayaan?

Perang Salib, dengan menjumput relasi Raja Baldwin IV dan Sultan Saladin, adalah tamsil sejarah yang cukup apik untuk memperbincangkan apa yang selama ini dianggap sebagai dasar dari agama: iman. Dalam sepanjang sejarah, iman memang kerapkali tampil laiknya tombak bermata dua. Ia dapat tampil dengan citra kematian, dengan perang ataupun aksi-aksi kekerasan lainnya, namun ternyata ia juga bisa tampil dengan citra kehidupan yang positif dan konstruktif, sebagaimana relasi yang ditunjukkan oleh Raja Baldwin IV dan Sultan Saladin dalam satu Perang Salib.

Tentu, iman di sini bukanlah sekedar pokok bahasan yang dapat dijernihkan dengan sekedar belajar teologi atau mendengarkan ceramah-ceramah para agamawan. Namun ketika iman kerapkali tampil dengan wajah ganda, kematian dan kehidupan, lantas apakah iman itu hanyalah istilah semena-mena yang pemakaiannya seturut dengan kepuasan? Ataukah iman itu, karena bisa tampil dengan tak satu wajah, memiliki jenjang?

Selama ini, agama memang mengajarkan adanya jenjang, meskipun tak otomatis mencerminkan konfigurasi sosial. Dan itulah kenapa ekspresi iman Raja Baldwin IV dan Sultan Saladin, dimana keduanya tercatat lekat dengan dorongan keagamaan, bisa berbeda dengan orang-orang yang konon seiman.

Iman yang dijiwai oleh Baldwin (pemimpin Kristiani) dan Saladin (pemimpin kaum muslimin), adalah terang sebentuk iman yang menghidupkan. Dan sebagaimana hidup yang tak mengenal adanya batasan, iman pun sudah semestinya tumbuh tanpa membeda-bedakan. Ketika pun tetap terdapat perbedaan (kekristenan Baldwin hingga kematian dan keislaman Saladin hingga kematian), bukanlah iman yang menentukan, namun jenjangnyalah yang berperan.

Heru harjo hutomo

Recent Posts

Mengapa Anak Rentan Terpapar Paham Kekerasan?

Fenomena terpaparnya 110 anak usia 10–18 tahun oleh paham radikal-terorisme, sebagaimana ditemukan Densus 88 melalui…

3 hari ago

Mengapa Anak-Anak Sangat Menyukai Konten Provokatif? Ini Penyebabnya!

Minat anak dan remaja terhadap konten provokatif kini semakin terlihat jelas. Video tawuran yang dianggap…

3 hari ago

True Crime Community; Bagaimana Telegram Menjadi Paltform Penyebar Kekerasan Mimetik?

Kepala BNPT Komjen Edy Hartanto menyebut bahwa pelaku pemboman di SMAN 72 Jakarta mengakses konten…

3 hari ago

Teror Tak Kasat Mata: Menghadapi Virus Ideologi yang Menginfeksi Nalar Siswa

Kita sedang berada di fase sejarah di mana "ruang aman" adalah sebuah kemewahan yang nyaris…

4 hari ago

Dari Layar ke Liyan; Anak dalam Jeratan Metamorfosis Radikalisme Digital

Di zaman ketika jari lebih cepat dari nalar, bangsa ini menghadapi ujian yang lebih berbahaya…

4 hari ago

Guru Tidak Lagi Hanya Soal Transmisi Ilmu, tetapi juga Transmisi Makna

Kita sedang menghadapi sebuah paradoks besar dalam dunia pendidikan. Generasi muda kita kini memiliki akses…

4 hari ago