Bulan Ramadhan tinggal menghitung hari. Namun, gaungnya belum terlalu terdengar. Kondisi ini tentu berkaitan dengan situasi pandemi Corona yang belum teratasi. Umat muslim di Indonesia dan dunia tengah dilanda kecemasan. Meski demikian, pandemi Corona tidak akan menghalangi umat Islam dalam menjalani ibadah Ramadhan, meski dengan cara yang berbeda.
Tradisi sholat jamaah, shalat tarawih dan tadarus al Quran di masjid yang telah menjadi menu wajib bulan Ramadhan dipastikan ditiadakan. Semua rangkaian ibadah Ramadhan dilakukan di rumah sesuai aturan pembatasan sosial untuk menanggulangi pandemi Corona. Tentu bukan hal mudah bagi umat Islam melaksanakan rangkaian ibadah Ramadhan di rumah. Selama ini, Ramadhan kadung identik dengan kesemarakan menjalani ibadah di masjid.
Namun demikian, menjalankan ibadah Ramadhan di rumah juga bukan hal yang sepenuhnya menyedihkan. Dengan ibadah di rumah, boleh jadi kita justru lebih khusyuk, konsentrasi dan tidak terdistraksi oleh fenomena pencitraan agama yang marak terjadi ketika Ramadhan tiba. Dengan ibadah di rumah, barangkali kita bisa lebih mengenal diri dan keluarga kita. Lebih penting dari itu, melalui rangkaian ibadah Ramadhan di rumah kita bisa memperkuat kembali institusi keluarga yang mungkin selama ini sempat mengendur.
Dewasa ini, institusi keluarga kerap terabaikan keberadaannya. Tuntutan modernitas kerap membuat manusia abai pada institusi keluarga yang sebenarnya merupakan bagian penting dari ekosistem sosial. Para orang tua sibuk di luar rumah dengan pekerjaan, karir atau pergaulan sosialnya. Begitu pula anak-anak sibuk dengan pendidikan dan dunianya masing-masing. Alhasil, keberadaan rumah dan keluarga kerap hanya menjadi titik singgah bagi para penghuninya.
Baca Juga : Ramadan, Pandemi dan Jarak Sosial
Bulan Ramadhan yang bersamaan dengan situasi pandemi ini kiranya menjadi momentum bersama untuk memperkuat kembali ikatan keluarga dengan pendekatan keagamaan. Momentum pembatasan sosial kiranya bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk menjalani rangkaian ibadah Ramadhan di rumah bersama keluarga. Sholat wajib, tarawih dan tadarus al Quran bisa dilakukan di rumah bersama keluarga. Dengan menjalani rangkaian ibadah Ramadhan di rumah bersama keluarga, niscaya kita bisa menciptakan suasana intim. Kebekuan dan kekakuan hubungan antarkeluarga yang mungkin ada pun niscaya akan mencair dengan sendirinya. Dengan demikian, institusi keluarga pun akan kembali kokoh.
Makna Puasa Ramadhan
Komaruddin Hidayat dalam buku The Wisdom of Life: Menjawab Kegelisahan Hidup dan Agama menjelaskan bahwa puasa mengandung setidaknya tiga makna. Pertama, melalui puasa manusia diajak menghayati sifat Tuhan sebagai Yang Mahahadir (omni-presence). Ketika menjalani puasa dengan menahan makan, minum, amarah dan nafsu seksual, kita merasa Tuhan begitu dekat dengan manusia. Kita mungkin bisa menipu orang lain mengenai status puasa kita. Namun, di hadapan Allah, hal itu mustahil dilakukan. Itulah bukti bahwa Tuhan selalu hadir dalam hidup kita.
Kedua, puasa mengajarkan kita untuk menginvestasikan kesenangan dan kebahagiaan di masa depan. Dengan menahan haus dan lapar, kita bisa menikmati kebahagiaan saat berbuka. Hidangan apa pun akan terasa sangat nikmat ketika dinikmati saat berbuka puasa, apalagi dengan orang-orang tercinta. Momen buka puasa adalah pelajaran penting bagi manusia untuk menunda kesenangan demi kenikmatan yang lebih hakiki.
Ketiga, puasa mengajarkan manusia untuk mempertajam sikap simpati, empati sekaligus kepekaan sosial. Menahan lapar dan haus ialah wujud empati kita pada orang miskin yang terbiasa hidup serba terbatas. Begitu pula kewajiban mengeluarkan zakat dan zakat fitrah di penghujung Ramadhan ialah pelajaran untuk mengasah solidaritas sosial kita.
Ketiga makna puasa sebagaimana diungkap Komaruddin Hidayat di atas tetap bisa kita raih meski kita menjalani ibadah Ramadhan di rumah. Dengan beribadah di rumah, kita telah berkonstribusi pada upaya menanggulangi wabah Corona ini. Dengan beribadah di rumah pula, kita bisa lebih menyelami kembali makna puasa Ramadhan. Selama ini, boleh jadi ibadah Ramadhan kita hanya sebatas ritual belaka, tanpa menyisakan makna mendalam, apalagi hingga mengubah cara pandang kita dalam berpikir dan berperilaku.
Pola ibadah yang bersifat ritualistik itu menjebak kita dalam nalar keagamaan yang simbolistik-pragmatis. Kita kerap berpikir bahwa dengan menunaikan ibadah, kewajiban kita telah selesai. Padahal, kenyatannya tidak demikian. Ali Asghar Engineer dalam bukunya Islam dan Teologi Pembebasan menjelaskan bahwa ibadah mengandung misi profetik kenabian, salah satunya ialah visi emansipatorisme alias pembebasan manusia. Ini tidak lantas aktivitas peribadatan harus dikaitkan dengan gerakan sosial atau politik. Namun, aktivitas ibadah idealnya mampu mengarahkan manusia untuk senantiasa meningkatkan kepedulian dan kepekaan sosial.
Jihad Sosial-Kemanusiaan
Di tengah pandemi Corona yang melanda dunia ini, menjalani ibadah Ramadhan di rumah bisa dikatakan sebagai jihad sosial menyelamatkan ras manusia. Seperti diketaui, wabah Corona menular dari manusia ke manusia melalui kontak fisik, dan cipratan air liur atau dahak yang keluar dari mulut penderitanya. Melakukan pembatasan sosial ialah jalan paling mudah untuk memutus rantai penyebaran Corona. Saat ini, rumah bisa jadi ialah tempat paling aman untuk manusia berlindung dari serangan Corona. Tentu dengan tetap menjalani protokol keksehatan seperti rajin mandi dan mencuci tangan dengan sabun, menjaga kebersihan lingkungan serta menjaga imunitas tubuh.
Tidak kalah penting dari itu ialah, dalam suasana Ramadhan ini penting kiranya bagi kita untuk bersama-sama menjaga kesucian dan kekhusyukannya seperti halnya kita lakukan di luar masa pandemi. Jangan sampai kesucian dan kekhusyukan Ramadhan ternodai oleh provokasi agama yang menyesatkan. Maka, penting bagi umat Islam untuk mengabaikan suara-suara sumir yang mengajak umat mengingkari aturan pemerintah terkait pembatasan sosial. Beribadah Ramadhan di rumah tidak akan menurunkan kualitas keimanan kita, lantaran aktivitas ibadah dinilai Allah dari niat dan ketulusan manusia. Jadi, mari kita sambut Ramadhan dengan penuh suka cita dan optimisme bahwa Corona akan segera dapat kita atasi. Selanjutnya, kita isi hari-hari di bulan Ramadhan dengan amal ibadah yang mampu membersihkan jiwa kita dari nafsu negatif. Kita manfaatkan rangkaian ibadah Ramadhan sebagai semacam terapi untuk mengelola emosi dan pikiran. Setan yang harus kita lawan selama Ramadhan ini tidak hanya setan yang menggoda kita untuk membatalkan puasa, namun juga setan-setan provokator yang mengajak kita melawan aturan pembatasan sosial pemerintah dengan dalih menjalankan ajaran agama. Sesungguhnya tidak ada satu pun ajaran Islam yang menyuruh umatnya membangkang pada aturan pemimpin (ulil amri) yang sah, sejauh aturan itu dibuat untuk kebaikan umat manusia. Tidak terkecuali dalam konteks aturan pembatasan sosial akibat pandemi Corona ini.
This post was last modified on 21 April 2020 4:20 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…
View Comments