Narasi

Puasa, Kemanusiaan dan Distribusi Kesejahteraan

Dua pekan sudah kita mengarungi bulan suci Ramadan. Rangkaian ibadah Ramadan yang kita laksanakan di rumah seharusnya kian menambah kekhidmatan dan kekhusyukan Ramadan. Di luar, barangkali Ramadan tampak kurang semarak. Namun, di hati kita gempita Ramadan tetap tidak berkurang sedikit pun. Kini kita memasuki fase sepuluh hari kedua Ramadan. Fase yang kerap disebut sebagai fase rahmat. Di sepuluh hari kedua ini, hendaknya umat Islam meningkatkan ketakwaannya pada Allah dengan menambah amalan ibadah ritual dan juga ibadah sosial.

Ibadah sosial ini menjadi urgen dan relevan, terutama di tengah kondisi masyarakat yang saat ini dilanda pandemi Covid-19. Seperti dapat dilihat, pandemic Covid-19 telah melahirkan multiplier effect yang luar biasa, tidak hanya dari sisi kesehatan masyarakat, namun juga sektor ekonomi. Jutaan tenaga kerja harus mengalami PHK lantaran dunia usaha terdampak Covid-19.

Berbeda dengan ibadah ritual yang berorientasi pada diri sendiri dan kaitannya dengan relasi vertikal-keilahian (divine relation), ibadah sosial lebih berorientasi pada nilai kemanusiaan. Ibadah sosial berdimensi kemanusiaan ini kiranya relevan dipraktikkan dalam konteks bulan suci Ramadan yang berlangsung di tengah pandemi. Dalam situasi yang demikian ini, kesalehan pribadi saja tidak cukup untuk membuktikan keimanan dan ketakwaan kita. Selain kesalehan pribadi, puasa juga idealnya menjadi ajang kita untuk mengasah kepekaan sosial dan menajamkan sisi kemanusiaan.

Langkah mudah agar kita bisa menajamkan sisi kemanusiaan di bulan suci Ramadan ini ialah dengan mengendalikan hasrat konsumerisme kita. Selama ini, diakui atau tidak Ramadan telah menjadi ajang untuk menuntaskan hasrat konsumtif manusia. Di bulan Ramadan, pengeluaran untuk makanan dan minuman justru meningkat drastis ketimbang bulan lainnya. Konsumerisme itu akan memuncak di hari-hari terakhir Ramadan atau menjelang Idul Fitri. Di saat itu, sebagian besar umat Islam akan membelanjakan uangnya untuk merayakan lebaran; membeli baju baru, makanan ringan, bahkan perabotan rumah tangga. Bahkan, tradisi mudik ke kampung halaman pun seolah menjadi sarana unjuk kesuksesan duniawi.

Baca Juga : Puasa, Covid-19 Dan Keshalihan Sosial

Kini, di masa pandemi Covid-19 ini, kita diharuskan untuk menahan hasrat konsumerisme berlatar agama itu dan mengalokasikannya untuk gerakan solidaritas sosial. Dengan tetap tinggal di rumah, itu artinya kita bisa mengurangi atau bahkan menghapus tradisi konsumerisme puasa. Pos pengeluaran untuk acara-acara seremonial yang sebenarnya kurang bermakna itu bisa dialihkan untuk berdonasi ke pihak-pihak yang tidak mampu. Hal yang sama berlaku bagi pos anggaran mudik lebaran. Lantaran tahun ini pemerintah melarang mudik lebaran, alangkah lebih baik dana yang sekiranya dialokasikan untuk pulang ke kampung halaman disumbangkan ke masyarakat yang kesusahan akibat wabah Covid-19.

Ramadan kali ini boleh jadi adalah ujian bagi fisik dan mental kita. Secara fisik, kita menghadapi tantangan yang tidak ringan. Di satu sisi kita harus tetap berpuasa, sementara di saat yang sama kita harus menjaga imunitas tubuh agar tidak mudah terpapar virus Covid-19. Kita beruntung sebab menurut para ahli, puasa justru diyakini dapat meningkatkan kekebalan dan imunitas tubuh. Begitu juga secara mental, kita menghadapi ujian yang tidak mudah. Kita diharuskan untuk tetap khusyu’ dan khidmat serta ikhlas menjalani rangkaian ibadah puasa, sementara batin kita dilanda kecemasan akibat pandemi Covid-19.

Namun demikian, ujian fisik dan mental yang tidak ringan ini kiranya bisa mentransformasikan nilai puasa kita dari yang sebelumnya hanya ritualistik menjadi puasa yang lebih bernilai secara sosial dan kemanusiaan. Puasa tahun ini idealnya bisa menjadi momentum kita untuk merevolusi dan merekonstruksi mental dan keberagamaan kita menuju mental keberagamaan yang berlandaskan kesadaran baru. Yakni kesadaran akan pentingnya distibusi kesejahteraan di tengah umat.

Secara sederhanya distribusi kesejahteraan dapat dimaknai sebagai proses atau upaya menyebarkan atau menyalurkan harta-benda dan kekayaan yang kita miliki kepada kelompok lemah dengan tujuan menciptakan pemerataan kesejahteraan sosial. Pemerataan kesejahteraan merupakan frase yang penting dalam ajaran Islam. Begitu mudah ditemukan ayat al Quran maupun hadist yang berbicara tentang bagaimana kekayaan harus didistribusikan agar merata. Dalam Islam diajarkan bahwa pada setiap rejeki yang didapatkan manusia ada hak orang lain yang harus diberikan.

Samir Amin (2006) menuturkan bahwa distribusi kesejahteraan dalam Islam merupakan ajaran integral yang menjadi konsern Islam sejak pertama kali berkembang di Jazirah Arab. Hal ini tampak dalam sejumlah ajaran Islam, terutama mengenai zakat, infaq, sodaqoh dan sejenisnya. Selain itu, Islam juga mengajarkan dasar-dasar dalam mengelola perekonomian masyarakat yang lebih cenderung pada konsep kesejahteraan sosial. Maka dari itu, Islam sangat mengutuk perilaku egois, pelit, apalagi praktik mengambil untung di tengah penderitaan umat seperti menimbun barang kebutuhan pokok di masa sulit seperti saat ini.

Sejalan dengan Samir, Ali Asghar Engineer menyebut bahwa Islam terlebih dahulu mengenal konsep distribus kesejahteraan jauh sebelum konsep itu dipopulerkan oleh para filosof Barat, seperti Thomas Hobbes, Jeremy Benthams atau John Rawls. Hanya saja, konsep distirbusi kesejahteraan dalam Islam dikembangkan di atas fondasi keadilan Tuhan. Berbeda dengan konsep distribusi kesejahteraan ala Barat yang dilandasi semangat humanisme-sekuler. Di dalam Islam, berperilaku adil adalah tanggung jawab kemanusiaan sekaligus bentuk ketaatan pada Allah.

Melalui mekanisme zakat, infaq, sodaqoh dan sejenisnya, Islam ingin memastikan bahwa kekayaan umat tidak hanya berkutat di kelompok tertentu saja. Lebih dari itu, kekayaan sedianya bisa berputar dan berakibat pada meratanya kesejahteraan. Jika pemerataan kesejahteraan itu dapat diciptakan, maka disparitas ekonomi akan dengan sendirinya teranulir. Nuansa kesakralan bulan Ramadan serta suasana ketidakpastian akibat pandemi Covid-19 ini kiranya bisa memantik kesadaran kemanusiaan umat Islam untuk berperan aktif menyelesaikan problem ekonomi yang dihadapi masyarakat Indonesia saat ini. Kiranya, perjalanan puasa selama satu bulan penuh ini bisa membuka hati nurani, pikira dan komitmen kita terhadap persoalan ekonomi dan sosial yang diakibatkan oleh pandemic Covid-19.

This post was last modified on 11 Mei 2020 1:46 PM

Siti Nurul Hidayah

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

12 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

12 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

12 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

12 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago