Narasi

Puasa untuk Mewujudkan Perdamaian

Ramadhan merupakan bulan mulia yang dinantikan oleh setiap muslim di seluruh penjuru dunia. Tentu, seiring dengan momentum Ramadhan, kita memiliki banyak harapan. Kita menginginkan kehidupan lebih harmonis dan damai, sebab setiap muslim berjihad melawan hawa nafsunya dengan berpuasa. Tak berlebihan kiranya, jika kita berharap Ramadhan akan menyajikan perdamaian yang khas dan penuh makna.

Hakikat puasa, tak berhenti pada tataran menahan hawa nafsu biologis saja. Sebab, kemarahan, dan hal-hal yang bersifat kekerasan (yang berujung menyakiti) dapat menggugurkan pahala puasa. Puasa, merupakan jihad melawan hawa nafsu dalam artian, bahwa puasa semestinya dapat mendorong kita untuk mengendalikan perilaku. Kita disebut sukses menjalankan puasa, jika kita berhasil mengalahkan hawa nafsu amarah, sehingga yang menang adalah nafsu muthmainnah. Ketika hati kita dikuasasi oleh muthmainnah (ketenangan), maka kita tidak akan pernah berpikir untuk menebar kekerasan, bahkan kebencian. Yang selalu kita pikirkan hanyalah bagaimana mewujudkan perdamaian dan keharmonisan dalam perbedaan yang telah Allah Swt. ciptakan.

Kini, negeri kita sedang dilanda musibah. Banyak informasi buruk yang sifatnya mengadudomba dan menggugat finalitas NKRI. Padahal, ulama-ulama yang sangat alim dan shalih sebagai pendahulu kita telah menyepakati bahwa NKRI merupakan kesepakatan luhur bangsa yang tidak bertentangan dengan syariah sehingga harus diterima sebagai kesepakatan luhur bangsa. NKRI sesungguhnya merupakan harga mati dan mempertahankannya merupakan sebuah sikap ksatria. Tak seharusnya, kekerasan dan permusuhan menguasai hati kita lantaran perbedaan pendapat. Bagaimana pun juga, umat muslim Indonesia harus menampilkan sikap puasa yang mengandung nilai jihad dalam arti sebenarnya.

Perbedaan merupakan hal yang wajar. Dan, tak seharusnya disikapi dengan tindakan radikal. Tindakan radikal sejatinya lahir dari rahim hawa nafsu yang tak terkendali. Kemarahan, rasa frustrasi, dan hasrat mengahancurkan timbul karena kegagalan nafsu muthmainnah untuk menaungi jiwa seseorang. Setiap tahun di bulan Ramadhan, kita tak henti berharap bahwa kebiasaan puasa selama satu bulan dapat membentuk kepribadian berpuasa, yakni menahan hawa nafsu demi terciptanya kerukunan, keharmonisan, dan perdamaian.

Saatnya, kini kita bertanya pada dalam diri. Apakah puasa kita sudah dapat mewujudkan perdamaian dan berhasil mengalahkan nafsu amarah? Harusnya selama satu bulan kita berada dalam kondisi jiwa yang berpuasa. Berpuasa dari perbuatan yang dapat menyakiti orang lain. Berpuasa dari rasa egois dan marah. Puasa seharusnya mampu mendidik jiwa kita agar lebih bersikap toleran, penuh kasih, dan kaya akan kemaafan.

Semestinya, puasa dapat memantikkan jiwa cinta perdamaian. Puasa, menahan lapar semestinya dapat membimbing hati kita untuk  memiliki hati yang penuh belas kasih. Puasa, menahan hawa nafsu semestinya dapat membuahkan kearifan dan kebijaksanaan. Itulah, jihad yang sesungguhnya. Jihad yang bermuara pada aktualisasi nilai-nilai perdamaian dalam agama Islam.

Sangat disayangkan, jika puasa kita hanya sebatas pada menahan makan dan minum. Sebab Allah Swt. memerintahkan kita untuk berpuasa agar menjadi pribadi yang taqwa. Agar kita memiliki perilaku yang menyejukkan dan dilandasi semangat perdamaian. Derajat taqwa yang ingin kita rengkuh, pada dasarnya ialah pengendalian nafsu amarah menjadi nafsu lawwamah. Tidaklah berlebihan, jika setidaknya di bulan Ramadhan ini, kita berharap kehidupan kita akan tentram  tanpa adanya teror dan kekerasan.

Sebab, jika sampai di bulan Ramadhan ini terdapat teror bom dan aksi radikal lainnya, maka dipastikan pelakunya belum mampu menghayati makna ‘puasa’. Selama satu bulan lamanya, kita akan berada dalam akademi pendewasaan jiwa. Kesempatan emas ini perlu kita pahami dengan bijak. Perlu kita sepakati bersama, bahwa tindaka teror atas nama agama yang menebar ketakutan dan bahkan menjatuhkan korban bukanlah tindakan seorang muslim sejati. Sebab, seorang muslim sejati akan melindungi sesama dan pantang berbuat keji yang dapat mengundang murka-Nya.

Mari, di episode awal bulan penuh kemuliaan ini kita meningkatkan komitmen untuk menjalani puasa dengan segenap jiwa raga. Bukan hanya puasa menahan lapar dahaga, namun juga puasa dari nafsu amarah dan tindak kekerasan. Semoga Ramadhan menjadi starting point pembelajaran untuk semakin melembutkan hati, sehingga sikap dan perilaku kita semakin terpuji, santun, dan meneduhkan. Wallahu’alam.

Nurul Lathiffah

Konsultan Psikologi pada Lembaga Pendidikan dan Psikologi Terapan (LPPT) Persona, Yogyakarta.

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

5 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

5 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

5 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago