Narasi

Radikalisme dan Perombakan Buku Agama

Wacana perombakan buku agama yang dilontarkan oleh Menteri Agama, Fahcrul Rozi patut didukung. Adalah suatu fakta, bahwa banyak buku agama yang dikonsumsi oleh para calon generasi bangsa berisi materi kekerasan, ketertutupan, dan tidak ramah terhadap keragaman dan perbedaan.

Menurut berita yang beredar, setidaknya ada  155 judul buku yang akan dirombak, mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA). Perombakan ini dilakukan, sebab konten buku-buku itu berisi tentang khilafah, suatu sistem politik yang ingin mengubah negara.

Komaruddin Amin, selaku  Direktur Jenderal Pendidikan Islam, menyatakan bahwa perombakan itu bertujuan untuk menjelaskan bahwa khilafah itu ada dalam sejarah, tetapi tidak serta-merta bisa diterapkan di Indonesia saat ini.

Perombakan ini tentu sangat bagus dan sangat penting dilakukan. Tetapi kalau fokusnya hanya untuk merombak materi khilafah saja, maka perombakan itu hanya menangkal radikalisme dalam level ideologi-politik saja. Bagaimana dengan radikalisme sikap dan tindakan? Bagaimana dengan akar dan doktrin dari radikalisme itu sendiri? Bukankah menghapus konten kekerasan, sikap tertutup, intoleransi jauh lebih penting?

Baca Juga : Digital Dakwah; Pendekatan Urban Sufistik

Pendidikan agama seharusnya melahirkan semangat perdamaian, kebersamaan, persaudaraan, toleransi, keberagaman, dan gotong-royong, akan tetapi dalam buku-buku agama yang bereda sebagian besar terperosok dan dibayang-bayangi opini yang kontras dengan semangat tersebut.

Tentu terlalu dini untuk menyimpulkan, bahwa pendidikan agama adalah biang kerok dan faktor utama dalam mengonstruksi seseorang menjadi intoleran. Banyak hal dari pelbagai faktor. Tetapi satu hal yang tidak bisa dimungkiri, pendidikan agama dalam konteks tertentu bisa menjadi penyumbang saham dalam membentuk mind-set, bersikap, bertindak dari generasi bangsa.

Dalam konteks inilah, pertanyaan dan kritikan para pakar mengenai: apa yang salah dengan pendidikan agama di sekolah, dan mengapa pendidikan agama tidak membuat manusia lebih damai dan memahami yang lain,  perlu direspons segera.

Minus Kemanusiaan

Fazlur Rahman (Islam and Modernity, 1984) menyatakan, bahwa materi pendidikan agama di dunia muslim, masih berkutat di seputar dogma, doktrin, ritual-ibadah, dan hubungan vertikal kepada Tuhan. Sementara sisi kemanusiaan, budaya, sosial, dan sesuatu yang sifatnya horizontal sebagai sesama manusia hanya mendapat porsi yang sangat sedikit.

Materi yang diajarkan di sekolah adalah materi yang sifatnya hablun minallah, bagaimana cara salat, puasa, zakat, percaya kepada hal gaib, malaikat, sampai kepada haji. Pendek kata, penekanan terhadap aspek rukun Islam dan rukun iman adalah ciri khas materi-materi agama di sekolah-sekolah.

Materi yang dogmatis-doktriner, tanpa memberikan ruang berdialog, berdialektika, dan mengkritisi, akan membuat peserta didik kaku, eksklusif, sibuk dengan agama dan kelompoknya sendiri.

Absennya daya kritis sama dengan absennya semangat kemajuan. Implikasi terbesar dari corak materi seperti ini adalah adanya sikap daniel, penyangkalan. Segala sesuatu yang tidak sesuai dengan ajaran agamanya akan disangkal.

Realitas sebagian generasi manusia, terutama millennial, yang dikit-dikit bid’ah, tak ada landasannya, khurafat, takhayul, kafir, sesat, adalah produk langsung dari materi pendidikan agama yang dogmatik-doktriner, tanpa melihat sisi kemanusiaan dan kebudayaan itu sendiri.

Penguatan Empat Aspek

Menutupi kesalahan dan kelemahan pendidikan agama dengan menekankan aspek kemanusiaan dan kebudayaan akan membuat peserta didik lebih toleran dan progresif. Rahman (1984) menawarkan empat aspek perlu ditekankan: new kalam, etika-hukum, sosial-humanitas, dan filsafat.

Ilmu kalam baru sangat perlu dirumuskan, mengingat realitas yang dihadapi seluruh umat Islam sudah berubah. Perubahan ini membutuhkan ilmu kalam yang lebih kontekstual. Jika tidak,  ilmu kalam yang tidak memenuhi perubahan dan dinamika kehidupan manusia dengan sendirinya akan terpelanting.

Ilmu kalam yang diproduksi para konseptor di abad pertengahan tentu sudah banyak yang tidak relevan lagi di abad kontemporer ini, karena perbedaan realitas yang dihadapi. Ilmu kalam klasik sibuk dengan dunia yang jauh di sana. Singkatnya “mempelajari Tuhan” untuk Tuhan.

Akibatnya menafikan misi dan tujuan agama itu sendiri, yakni untuk manusia. Tentu upaya memformulasikan teologi yang lebih menekankan aspek kemanusiaan sudah dirumuskan oleh beberapa pakar, tapi ini belum terealisasikan di dalam materi-materi pelajaran agama di sekolah.

Materi tentang hukum, juga sama nasibnya. Ia diberlakukan bak rumus-rumus matematika. Pola pikirnya hitam-putih, jika bukan halal, ya haram, jika bukan mukmin, ya kafir. Sikap ini tentu sangat berbahaya.

Sejatinya hukum saja tidak cukup, harus ada sisi etika. Jika yang pertama berbicara tentang kepastian, maka yang kedua berbicara tentang keadilan. Kepastian dan keadilan harus bergandengan tangan.

Belum lagi sisi humanitas dan sosial, salah satu aspek yang paling minim. Siswa diajarkan untuk salat, tapi tidak terangkan tentang disiplin. Disuruh puasa, tapi kepekaan sosial absen. Zakat ditekankan, kesejahteraan sosial diabaikan. Haji dikampanyekan, keberagaman ditolak. Akibatnya kesalehan personal menjamur, kesalehan sosial masih terseok-seok.

Daya rasional dan kritis, juga tidak mendapat perhatian. Metode yang diajarkan sebagian besar yang dilaksanakan oleh guru-guru agama adalah metode hafalan. Seseorang dianggap pintar ketika banyak hafalannya.

Belum lagi fenomena terakhir, adanya tingkat intensitas yang tinggi terhadap menghafal Al-Quran. Hafalan tentu tidak salah, tapi jika berhenti hanya di sini, siswa tak ada bedanya seperti robot dan mesin, yang banyak tahu, tapi tak ada daya kritis.

Keempat poin di atas, adalah kelemahan pendidikan agama kita, akibatnya agama tidak membawa dampak positif-kostruktif dalam membangun kedamaian di antara anak bangsa.

Dalam konteks perombakan buku agama, maka yang perlu diperhatikan bukan hanya soal materi khilafah saja, tetapi ada hal yang lebih substansial yang menjadi akarnya, yakni minimnya sisi kemanusian dalam buku-buku agama kita.

Hamka Husein Hasibuan

View Comments

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

1 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

1 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

1 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago