Di bulan Ramadan 1444 H kali ini, idealnya kita isi hari dengan berbagai dimensi penyucian diri khususnya pengarusutamaan moderasi. Tak elok kiranya, di bulan yang penuh berkah ini jika masih dijumpai problem sosial keagamaan yang belum teratasi. Salah satu masalah sosial akut yang seringkali menjangkiti adalah soal maraknya intoleransi kepada minoritas agama.
Kelompok minoritas seringkali menjadi korban akibat dari minimnya laku toleransi dan kesadaran pluralitas yang harusnya menjadi bagian dari spirit realitas keindonesiaan. Contoh kasus misalnya adanya konflik masyarakat di tengah perayaan hari raya Nyepi di Bali dan penutupan patung Bunda Maria oleh salah satu Ormas di Kulonprogo ketika menjelang Ramadan adalah fakta bahwa intoleransi masih menjadi penyakit sosial yang belum mereda.
Dewasa ini ketentraman umat beragama, khususnya yang minoritas masih cukup terganggu akibat dari ulah oknum-oknum yang kurang memiliki wawasan kebangsaan dan kesadaran keberagamaan yang inklusif. Untuk itu, di momen spiritual Ramadan tahun 1444 H ini begitu pentingnya membumikan spirit moderasi terhadap minoritas agama agar menjadi bagian dari spirit keislaman dan keberagamaan. Idealnya energi Ramadan harus menumbuhkan empati dan toleransi kepada yang liyan.
Apalagi dalam UUD 1945 dijelaskan bahwa semua warga negara berhak atas perlakuan yang sama, tidak peduli apakah mereka itu mayoritas ataupun minoritas?. Mereka semua harus diletakkan dalam konteks kewarganeraan yang setara. Namun pada kenyataannya, hak-hak kewarganegaraan itu kadang tak berlaku penuh untuk kelompok minoritas. Mereka justru seringkali menjadi korban keberingasan kelompok mayoritas yang semena-mena, yang seakan mengatasnamakan diri sebagai juru bicara tuhan (Speaking in The Gods Name).
Faktanya, seringkali perlakuan sebagian oknum mayoritas dianggap sebagai kewajiban agama, karena mereka menjustifikasi pendapatnya sendiri yang ekslusif. Pertanyaannya, mengapa sebagian dari oknum mayoritas ini seringkali menganggap bahwa apa yang dilakukannya itu tidak melanggar hukum bahkan tidak berdosa secara agama? Padahal yang dilakukannya justru telah mencederai konstitusi, lebih dari itu telah mencederai nilai-nilai moderasi yang ada dalam setiap agama.
Untuk itu, di momen Ramadan ini idealnya menjadi ajang untuk membumikan spirit moderasi, bukan intoleransi apalagi persekusi. Peristiwa konflik keagamaan yang marak terjadi belakangan ini merupakan bukti konkrit dari minimnya aktualisasi moderasi di lingkungan masyarakat kita.
Membumikan nilai-nilai moderasi di ranah publik sangat penting dan harusnya menjadi esensi peribadatan Ramadan agar mampu mengejawantahkan rasa empati dan toleransi. Nilai moderasi di antaranya adalah Tawassuth (Di tengah-tengah), Tasamuh (Toleran), Tawazun (Seimbang dan tidak memihak), serta I’tidal (konsisten dan tegas). Mengingat membumikan nilai-nilai moderasi ini sangat penting bagi eksistensi bangsa Indonesia yang bhinneka ini.
Di momen spiritual Ramadan ini, menjadi penting kiranya bagi masyarakat, khususnya kalangan Muslim menyadari urgensi keberadaan minoritas agama. Minoritas harus diperlakukan sama dengan yang lainnya, tanpa melihat latar belakang dari suku, agama, ras dan golongannya. Moderasi beragama harus menjadi spirit nilai dalam laku kehidupan masyarakat.
Patut diakui bahwa terjadinya berbagai bentuk intoleransi, salah satunya akibat dari minimnya pluralisme. Sebagaimana menurut Ahmad Najib Burhani (2020), bahwa implementasi dari sikap pluralitas hukum dan sosial di Indonesia seakan terbatas kepada enam agama yang diakui, padahal begitu banyak kelompok yang menjadi persoalan status identitas keberagamaannya di luar agama yang resmi diakui pemerintah. Maka, penyebab utama terjadinya problem antara mayoritas dan minoritas ini karena pola pluralisme terbatas tersebut.
Di sisi yang lain, salah satu di antara enam agama yang diakui karena berposisi menjadi minoritas juga seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan penuh dengan gema intoleransi. Contoh terkini misalnya pelarangan pembangunan Gereja di Desa Tempeh Tengah, Kabupaten Lumajang yang menjadi sorotan publik, dan ini menjadi bukti ternyata masyarakat kita belum bisa hidup berdampingan dengan yang liyan dan terus menaruh rasa curiga serta takut terkikis imannya dengan adanya komunitas agama lain di sekitarnya.
Tak seharusnya di negara yang multikultural dan plural ini, hal demikian masih saja terus terjadi dan dibiarkan tanpa adanya dukungan politik dari pemerintah. Pemerrintah harus terus mensosialisasikan moderasi beragam hingga ke akar rumput. Oleh karenanya, semoga di bulan Ramadan ini, ke depan dan seterusnya minoritas dan mayoritas agama bisa hidup dengan damai dan penuh cinta sebagai satu bangsa dan praktik intoleransi semakin sirna dari bumi Indonesia.
This post was last modified on 3 April 2023 5:04 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…