Selama bulan Ramadhan grafik keimanan umat Islam semakin meningkat dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya. Panorama pemandangan relijius terpancar di berbagai sudut kehidupan dari pagi hingga malam. Namun, pertanyaannya apakah peningkatan kuantitas ibadah di bulan ini diikuti dengan peningkatan kualitas dalam beribadah?
Pertanyaan tersebut patut diajukan karena sejatinya umat beragama sedang menghadapi krisis pemaknaan beragama yang berdampak pada krisis pemaknaan berbangsa. Krisis keagamaan ditunjukkan dengan banyaknya khutbah dan pidato keagamaan, meriahnya ruang dakwah keagamaan, megahnya bangunan suci keagamaan, tetapi tidak sedikitpun glamoritas relijius tersebut menempel dan membekas dalam perilaku umat beragama.
Betapa sering dan banyak ayat-ayat keagamaan yang menganjurkan umatnya untuk berperilaku santun, adil dan penuh kejujuran, tetapi sejalan dengan itu masih banyak pula kita menyaksikan umat beragama yang bertindak ganas bahkan sesekali mengusung nilai agama untuk bertindak tidak adil dan tidak jujur. Banyak khotbah keagamaan menganjurkan perdamaian, tetapi masih sering pula kekerasan atas nama agama dipertontonkan. Ada kesenjangan antara nilai agama yang ideal dengan realitas praktek sikap umat beragama di tengah kehidupan sosial.
Fenomena krisis keagamaan tersebut tidak lain disebabkan oleh pemaknaan yang harfiyah dan formalis-ritualistik dalam beragama. Umat beragama melaksanakan ibadah karena semata untuk memenuhi kewajiban keagamaan, bukan sebagai latihan peningkatan spiritualitas dan perbaikan akhlak. Umat beragama berbondong-bondong ke tempat ibadah hanya sekedar memenuhi keramaian, bukan sebagai peningkatan kualitas keimanan dan solidaritas kemanusiaan.
Umat beragama khususnya umat Islam harus keluar dari lubang krisis tersebut dengan tidak hanya memaknai ibadah sebagai pemenuhan kewajiban secara kuantitatif semata, tetapi bagaimana ibadah tersebut mempunyai dampak kualitatif dalam kehidupan diri dan lingkungannya.
Begitu pula dengan ibadah puasa Ramadhan. Ramadhan harus dijalankan tidak hanya sebagai kewajiban, tetapi sebagai latihan dalam membentuk keimanan dan sikap sosial yang berkualitas. Ramadhan sejatinya bertujuan untuk meningkatkan dua hal; produktifitas ruhaniyah (personal) dan produktiftas ijtima’iyah (sosial). Selama satu bulan umat Islam tidak hanya dilatih untuk menumbuhkan kecerdasan spiritual, tetapi juga wawasan dan empati sosial. Itulah dua paket nilai yang sangat berharga yang wajib diraih dalam mengarungi bulan Ramadhan sehingga layak memperoleh predikat orang yang bertaqwa (QS. Al-Baqarah [2]: 183).
Pada tataran spiritual, Ramadhan mendidik umat Islam untuk selalu bersabar, ikhlas dan mampu menahan hawa nafsu. Dimensi spiritual ini dilakukan untuk meningkatkan keimanan umat Islam. Akan tetapi, menggapai ketaqwaan tidaklah cukup dengan keimanan saja tetapi butuh satu ruang untuk mempraktek keimanan dalam bentuk amal shalih. Dalam al-Qur’an beberapa kali ditemukan kata iman selalu bergandengan dengan kewajiban beramal shalih misalnya surat al-Ashr ayat 3 dan At-Tiyn ayat 6. Hal ini membuktikan bahwa keimanan dan kesalehan sosial merupakan paket yang tidak bisa dipisahkan.
Ramadhan telah membingkai keimanan dan kesalehan sosial dengan cukup kuat yang tercermin dalam ibadah-ibadah yang dilakukan selama bulan Ramadhan. Ramadhan mengajarkan bagaimana umat Islam menahan lapar sebagai bentuk solidaritas terhadap masyarakat yang kurang mampu, berjama’ah sebagai wujud kebersamaan dan kerukunan yang harus selalu dijaga, zakat fitrah sebagai tindakan pembebasan sosial dan Idul Fitri sebagai media untuk saling memaafkan.
Akhirnya bagaimana kita bisa mengukur keberhasilan puasa kita dapat dilihat dari bagaimana mendialogkan nilai ramadhan dengan problematika umat dan bangsa. Sanggupkah orang berpuasa memperaktekkan nilai-nilai sosial puasa dalam kehidupan berbangsa? Mampukah mereka membebaskan penderitaan masyarakat miskin sebagaimana mereka terbiasa untuk berzakat? Mampukah umat Islam mewujudkan kebersamaan dan kerukunan di tengah ikatan persaudaraan berbangsa yang semakin hari semakin merosot. Dan mampukah umat Islam bisa saling memaafkan di tengah maraknya hasutan kebencian dan provokasi yang selalu mewarnai pergaulan bangsa ini?
Ramahadan hanya pintu gerbang untuk menuju perjuangan yang sesungguhya dalam mengarungi sebelas bulan berikutnya. Semoga nilai-nilai spiritual dan sosial yang ditempa selama bulan ini dapat terus terpancar sebagai bagian yang inheren dalam perilaku umat Islam di negeri ini. Kita berharap bahwa puasa yang telah kita lalui akan membuahkan hasil seperti yang dijanjikan oleh Nabi Barang siapa berpuasa Ramadhan dengan iman dan menghisab diri, maka diampuni dosanya yang telah lewat. Amin.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…