Categories: Narasi

Ramadhan Menagih Janji

Setelah Ramadhan benar-benar pergi, beberapa dari kita merayakan hengkangnya bulan kemualiaan itu laiknya sebuah kemenangan yang didapat setelah sebulan penuh berjuang. Kita tentu masih ingat memori tentang tidak mudahnya kita berkompromi dengan lapar dan dahaga yang terus mendera ditengah padatnya aktifitas harian kita, atau tentang susahnya bangun pagi dan melahap makan sahur disaat seharusnya kita masih asik mendengkur. Namun kita tetap nekad melakukannya karena kita tahu hal itu merupakan proses pembelajaran yang mulia.

Kini setelah Ramadhan pergi, sebagain dari kita mungkin lupa dengan janji dan komitmen diri yang telah kita patri selaman Ramadhan masih di sini. Salah satu janji kita adalah untuk menjadi manusia yang lebih baik. Kita semua ngeh bahwa puasa bukan saja tentang menahan lapar dan dahaga, ia adalah proses pembelajaran yang mempersiapkan kita untuk menjadi manusia yang lebih berguna, bukan saja ketika bulan puasa, tetapi juga di bulan-bulan berikutnya.

Karenanya, kualitas yang sebenarnya dari puasa yang kita lakukan justru dilihat dikala bulan puasa telah tiada. Misalnya, apakah saat ini kita masih sesabar dan sekalem sebagaimana yang kita tunjukkan di bulan Ramadhan lalu? Apakah ibadah kita masih sebagus bulan lalu? Dst. Hal ini tentu penting untuk kita renungkan bersama, karena Ramadhan adalah bulan pembelajaran dan persiapan. Ia mengajari sekaligus mempersiapkan kita untuk menjadi manusia yang lebih berguna di bulan-bulan selanjutnya.

Ada sebuah anekdot yang cukup jleb beredar di media massa kita beberapa hari ini, yakni tentang pengumuman kehilangan di masjid. Pengumuman tersebut berisi pemberitahuan bahwa masjid telah kehilangan sesuatu yang sangat penting, bukan sandal atau mukena yang biasa diambil oleh orang usil, tetapi jamaah. orang-orang yang sebelumnya memenuhi masjid untuk sholat dan tadarus kini telah hilang entah kemana, karenanya pihak masjid mengharap agar mereka-mereka yang ‘hilang’ dapat segera kembali dan berhenti mem-PHP masjid.

Meski hanya sebuah pengumuman anekdot, namun hal itu tentu membuat hati dan kepala kita cekot-cekot. Karena bisa saja pengumuman tersebut sebenarnya ditujukan kepada kita yang telah hilang entah kemana.

Mari kembali ke pembahasan tentang Ramadhan, lebih tepatnya kepada pembelajaran yang kita dapatkan selama bergumul dengan bulan penuh kemuliaan tersebut. Terdapat setidaknya tiga hal utama yang menjadi pokok dari pembelajaran di bulan Ramadhan. Pertama, lapar dan dahaga. Proses ini mengajari kita untuk menikmati seberapapun rizki yang tuhan beri.

Bagi orang yang lapar dan dahaga, sekecil apapun makanan dan minuman yang diterima akan menjadi nikmat yang tidak terhingga. Kita dapat meneruskan kebiasaan puasa ini dengan melaksanakan puasa sunah, seperti puasa 6 hari di bulan Syawal, puasa senin-kamis, dll.

Tentu makna lapar dan dahaga tersebut dapat juga diperluas dan tidak hanya terbatas pada makanan dan minuman. Kita bisa menjadi orang yang tetap lapar dan dahaga terhadap informasi, kerukunan, perdamaian, dst.

Kedua, rendah hati. Selama menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan lalu, kita diajari untuk selalu rendah hati dan menahan diri dari segala kemungkinan meluapnya emosi. Allah bahkan mengancam akan membredel pahala puasa kita apabila kita masih gampang marah-marah dan bersikap berlebihan. Rendah hati tentu merupakan kebiasaan baik yang wajib untuk diteruskan, karenanya jangan hanya berhenti di bulan Ramadhan.

Ketiga, lebih banyak terjaga. Di bulan Ramadhan kemarin kita terbiasa untuk mengurangi jam tidur dan menggantinya dengan ibadah serta melakukan hal baik. Tidur memang merupakan hal yang baik, tetapi mengurangi tidur untuk melakukan hal baik tentu saja lebih baik. Mari lebih banyak terjaga untuk melakukan hal-hal yang lebih berguna.

Akhirnya, bulan Ramadhan memang telah pergi, namun ibarat kursus mengemudi, Ramadhan adalah sesi latihan, dimana selama sebulan penuh kita berlatih untuk menikmati rizki, rendah hati, dan berusaha menjadi manusia yang lebih baik. Kini latihan tersebut telah usai,  ‘pertandingan’ yang sesungguhnya justru dimulai sekarang.

Selamat bertanding dan menepati janji kepada Ramadhan yang kini telah pergi!

This post was last modified on 30 Juli 2015 9:43 AM

Khoirul Anam

Alumni Center for Religious and Cross Cultural Studies (CRCS), UGM Yogyakarta. Pernah nyantri di Ponpes Salafiyah Syafiyah, Sukorejo, Situbondo, Jatim dan Ponpes al Asyariah, kalibeber, Wonosobo, Jateng. Aktif menulis untuk tema perdamaian, deradikalisasi, dan agama. Tinggal di @anam_tujuh

Recent Posts

Agama Sumbu Pendek; Habitus Keagamaan yang Harus Diperangi!

Indonesia dikenal sebagai negara religius. Mayoritas penduduknya mengaku beragama dan menjalankan ajaran agama dalam kehidupan…

1 hari ago

Evaluasi Kebebasan Beragama di Indonesia 2025

Kebijakan presiden Joko Widodo dalam memerangi aksi ekstremisme dan ideologi radikal terorisme pada 2020 pernah…

1 hari ago

Jangan Membenturkan Kesadaran Nasional dengan Kesadaran Beragama

Dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, narasi yang mencoba membenturkan antara kesadaran nasional dan kesadaran…

1 hari ago

Dialektika dan Titik Temu Nasionalisme dan Ukhuwah

Indonesia, sebuah panggung peradaban yang tak henti menyuguhkan lakon dialektis antara partikularitas dan universalitas, adalah…

1 hari ago

Nasionalisme, Ukhuwah Islamiah, dan Cacat Pikir Kelompok Radikal-Teror

Tanggal 20 Mei berlalu begitu saja dan siapa yang ingat ihwal Hari Kebangkitan Nasional? Saya…

2 hari ago

Ironi Masyarakat Paling Religius: Menimbang Ulang Makna Religiusitas di Indonesia

Indonesia kembali dinobatkan sebagai negara paling religius di dunia menurut dua lembaga besar seperti CEOWORLD…

2 hari ago