Narasi

Ramadan, Momentum Berpuasa dari Ujaran Kebencian

Tidak terasa perguliran waktu demikian cepat menghantarkan kita kepada keagungan bulan ramadan. Bulan yang penuh ampunan ini kembali hadir di tengah penat aktifitas yang terus mendera. Ramadan mengajak kita untuk hening sejenak, menikmati waktu kebersamaan dengan sang Ilahi. Satu bulan lamanya kita akan digembleng dengan tarbiyah ruhaniyah, dengan harapan jiwa menjadi suci kembali sebagaimana bayi yang baru lahir.

Esensi ramadan bukan semata terletak pada upaya menahan makan dan minum di siang hari. Tetapi lebih menyublim kepada upaya menahan hawa nafsu yang terkadang memberangus jiwa. Segala daya upaya kita kerahkan untuk merenungi keagungan Ilahi, sehingga muncul rasa terimakasih atas segala karunia-Nya. Ramadan juga mengajak kita untuk merasakan getirnya kehidupan saudara-saudara kita yang masih terkungkung dalam kotak keterbatasan. Ini menjadikan kita sadar betapa mereka sesungguhnya membutuhkan uluran belas kasih kita untuk terus merajut kehidupan.

Salah satu nafsu yang harus kita kendalikan adalah nafsu ammarah, yakni segala dorongan yang mengajak kepada keburukan. Di antara contoh nafsu tersebut adalah ujaran kebencian yang keluar dari lisan maupun tulisan. Menurut para ahli, ujaran kebencian (hate speech) sendiri adalah tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama dan lain-lain.

Islam sendiri jelas malarang ujaran kebencian kepada pihak lain. Bahkan hakikat seorang muslim adalah ia yang bisa menjamin muslim lain selamat dari lisan dan tangannya. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam hadis riwayat Bukhari-Muslim, “seorang muslim adalah seseorang yang orang muslim lainnya selamat dari ganguan lisan dan tangannya”. Gangguan lisan dalam konteks hari ini diantaranya adalah ujaran kebencian yang tidak jarang ditujukan kepada sesama muslim.

Dalam Al-Qur’an pun, ujaran kebencian jelas-jelas dilarang, sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. A-Hujurat : 11. Mengenai makna ayat ini, Prof. Nadirsyah Hosen (2017) menjelaskan bahwa ayat ini berbicara mengenai larangan menghina atau melecehkan (membully) orang lain karena kemiskinannya, karena keturunan agama tertentu seperti Yahudi, atau karena keluarganya memiliki aib atau cela. Larangan membully bukan saja karena menimbulkan perasaan malu bagi korban karena kehormatan dirinya dijatuhkan, tapi juga terselip perasaan bahwa yang membully lebih baik dari orang lain sehingga berhak melecehkan mereka.

Makna ini tidak terlepas dari sebab turunnya atau sababun nuzul ayat tersebut. Dalam kitabTafsir Al-maraghi sebagaimana dikutip Prof. Nadir, dijelaskan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan ejekan yang dilakukan kelompok dari Bani Tamim terhadap para sahabat Rasul yang miskin seperti Bilal, Shuhaib, Salman al-Faris, Salim maula abi huzaifah, dan lain-lain. Riwayat lainnya menyebutkan bahwa ayat ini berkenaan dengan ejekan sebagian perempuan kepada Shafiyah binti Huyay bin Akhtab (salah seorang istri Nabi) yang keturunan Yahudi.

Puasa Lisan

Karena Islam jelas-jelas melarang ujaran kebencian, maka semestinya pada momentum bulan ramadan ini kita puasakan lisan dan keinginan dari menghina dan membenci orang lain. Baik hinaan secara langsung maupun lewat tulisan, lewat status di medsos, lewat gambar-gambar, dan lewat media lainnya. Ramadan adalah bulan yang suci, maka jangan kotori kesuciannya dengan tingkah kita yang begitu mudah menebar kebencian kepada pihak lain. Ramadan semestinya kita gunakan untuk berjihad, yakni jihad melawan hawa nafsu.

Puasa lisan dari ujaran kebencian ini sungguh penting dilakukan mengingat kita hidup di negara yang plural, di mana menjaga persatuan adalah tugas kita bersama. Ketika ujaran kebencian baik yang dilakukan secara langsung, melalui tulisan, melalui gambar, atau media lainnya, telah menjadi habitus atau kebiasaan, maka bisa kita bayangkan betapa akan hancur tatanan kebangsaan kita. tidak sekedar cekcok personal, tapi bisa mengarah kepada perang sesama anak bangsa.

Karena itu, momentum puasa harus dijadikan sebagai wadah untuk menebar pesan damai kepada sesama. Baik damai kepada sesama umat Islam, maupun kepada sesama anak bangsa. Dengan demikian, diharapkan bangsa ini selalu merasakan iklim ketentraman. Ramadan yang hadir setiap tahun, pun menjadi momen indah untuk merajut persatuan.

Fatkhul Anas

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

19 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

19 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

19 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago