Narasi

Rasisme : Noktah Hitam Globalisme Berkedamaian

Era keterbukaan modern saat ini dan ke depan telah meniscayakan hadirnya globalisme dalam berbagai lini kehidupan. Khususnya dalam sekor sosial, budaya dan ekonomi. Tentu semua bangsa menghendaki berjalannya globalisme secara damai.

Sayangnya ekspektasi global di atas mendapat sandungan dalam perkembangannya. Munculnya rasisme yang menguat di suatu negara telah menjadi noktah hitam bagi dinamika globalisme yang berkedamaian. Suatu negara sangat mengagungkan rasnya berlebihan dan menghinakan ras bangsa lain. Tabiat hingga kebijakan ini perlu dilawan secara global. Rasisme harus dihilangkan demi terjaminnya kehidupan global yang berkedamaian.

Dinamika dan Doktrin

Rasisme secara umum dapat dimaknai sebagai sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia menentukan pencapaian budaya atau individu. Dengan kata lain, suatu ras tertentu lebih superior dan memiliki hak untuk mengatur ras yang lainnya.

Istilah rasis telah digunakan dengan konotasi buruk sejak 1940-an, dan identifikasi suatu kelompok atau orang sebagai rasis sering bersifat kontroversial Rasisme telah menjadi faktor pendorong diskriminasi sosial, segregasi dan kekerasan rasial, termasuk genosida (CPIS, 2005).

Rasisme dengan demikian menentang fitrah manusia dan tidak dikehendaki dalam Islam. Allah menegaskan bahwa adanya perbedaan ras justru agar kenal mengenal dalam kesatuan dan kedamaian. Sebagaimana firman-Nya, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. (Al-Hujurat: 13). Standar Allah SWT menilai manusia sama seluruh dunia dan sepanjang masa yaitu ketakwaaan.

Nabi SAW juga pernah bersabda kepada Abu Dzar, “Lihatlah, engkau tidaklah akan baik dari orang yang berkulit merah atau berkulit hitam sampai engkau mengungguli mereka dengan takwa.”

Islam melarang keras bentuk ta’assub yaitu membela serta membabi buta hanya berdasarkan suku, rasa atau bangsa tertentu. Dalam sebuah hadits, Jabir bin ‘Abdillah ra berkata, ”Dahulu kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di Gaza, Lalu ada seorang laki-laki dari kaum Muhajirin yang memukul pantat seorang lelaki dari kaum Anshar. Maka orang Anshar tadi pun berteriak: ‘Wahai orang Anshar (tolong aku).’ Orang Muhajirin tersebut pun berteriak: ‘Wahai orang muhajirin (tolong aku).’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Seruan Jahiliyyah macam apa ini?!.’ Mereka berkata: ‘Wahai Rasulullah, seorang muhajirin telah memukul pantat seorang dari kaum Anshar.’ Beliau bersabda: ‘Tinggalkan hal itu, karena hal itu adalah buruk.’ ” (HR. Al Bukhari dan yang lainnya).

Perang Global

Rasisme nyatanya terus ada dan berkembang bahkan di era modern ini. Tidak ada kata lain, rasisme harus dilawan. Semua bangsa dan entitas yang menghendaki hadirnya kedamaian global mesti bergandengan dan bersepemahaman dalam memerangi rasisme.

Kekompakan global menjadi kunci. Karen ajika hanya dilakukan satu atau dua negara, maka yang muncul adalah konflik berkepanjangan. Kesepakatan global mesti dicapai. Kepentingan perdamaian mestinya di atas kepentingan persekutuan ekonomi dan lainnya.

Lembaga antar bangsa dapat berperan lebih, seperti PBB, ASEAN, Uni Eropa, OKI, dan lainnya. Resolusi PBB terkait penyikapan kebijakan rasis suatu negara mesti dikeluarkan. Apapun ancaman negara  tersebut, negara lain mestinya tidak takut. Diplomasi tentu mesti diprioritaskan. Perlawanan rasisme juga harus mengedepankan upaya damai dan mencegah dampak konflik.

Kesepakatan global dapat mengucilkan negara rasis dalam aspek tertentu. Atau memberikan sanksi global lainnya. Negara-negara besar dapat didorong menekan melalu jalur bilalateralnya.

Indonesia sebagai negara multukultural mestinya menjadi aktif di garda terdepan melawan rasisme ini. Contoh internal dalam mengelola bangsa yang terdiri dari ribuan etnis dan ras dapat ditawarkan dan ditonjolkan dalam percaturan internasional.

Kebijakan terbaru Parlemen Israel dapat menjadi salah satu kasusnya. Terbaru, Parlemen Israel mensahkan UU “Negara Bangsa Yahudi” yang sangat kontroversial. UU ini menegaskan superioritas Yahudi dan mendiskriminasi warga negara lain yang tinggal di negara tersebut.

Upaya melawan kebijakan di atas dapat sinergis dengan dukungan politik atas kemerdekaan Palestina. Indonesia yang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel dapat mengoptimalkan lembaga internasional, seperti PBB.

Selain itu masih banyak negara-negara yang diskriminatif terkadap etnis dan agama tertentu. Lagi-lagi peran Indonesia mesti dioptimalkan dengan mengedepankan politik luar negeri bebas aktif.

RIBUT LUPIYANTO

Deputi Direktur C-PubliCA (Center for Public Capacity Acceleration); Blogger

Recent Posts

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

1 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

1 hari ago

Tak Ada Wakil Tuhan dalam Politik: Mengungkap Bahaya Politisasi Agama Jelang Pilkada

Tidak ada satu-pun calon kandidat politik dalam pilkada serentak 2024 yang hadir sebagai “wakil Tuhan”.…

1 hari ago

Komodifikasi Agama dalam Pilkada

Buku Islam Moderat VS Islam Radikal: Dinamika Politik Islam Kontemporer (2018), Karya Dr. Sri Yunanto…

2 hari ago

Jelang Pilkada 2024: Melihat Propaganda Ideologi Transnasional di Ruang Digital dan Bagaimana Mengatasinya

“Energi besar Gen Z semestinya dipakai untuk memperjuangkan tegaknya Khilafah. Gen Z jangan mau dibajak…

2 hari ago

Mengapa Beda Pilihan, Tetap Toleran?

Menyedihkan. Peristiwa berdarah mengotori rangkaian pelaksanaan Pilkada 2024. Kejadian itu terjadi di Sampang. Seorang berinisial…

2 hari ago