Narasi

Reaktualisasi Kurikulum Anti Radikalisme

Dewasa ini ajaran radikalisme tidak hanya merambah ke tempat-tempat yang dianggap sebagai sarang radikalisme. Namun juga telah merasuki berbagai instansi yang dianggapnya steril dari ajaran radikal. Salah satu yang paling kentara adalah dunia pendidikan. Secara masif, ajaran radikalisme  mendorong peserta didik sebagai generasi intoleran. Tanpa disadari, buku ajar menjadi salah satu pemicu tindakan radikalisme dengan menggunakan bahasa-bahasa radikal.

Radikalisme yang menjamur di rahim pendidikan telah menihilkan nilai-nilai kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi di dunia pendidikan serta diejawantahkan pada mental peserta didik. Kita tentunya sangat kecewa dalam beberapa tahun terakhir masih banyak dijumpai temuan konten materi buku ajar yang bersinggungan dengan ajaran radikal.

Selain itu, merujuk dari hasil survei yang dirilis oleh Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) (2011), menegaskan bahwa dari 100 SMP dan SMA Umum di Jakarta dan sekitarnya bahwa dari 933 siswa yang disurvei, terdapat 48.9% menyatakan setuju terhadap aksi-aksi kekerasan berjubah keagamaan. Ironisnya, di kalangan guru agama yang berjumlah 590 guru, sebanyak 28.2% menyatakan setuju atas aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama dan moral (BNPT, 2015).

Data tersebut menegaskan bahwa ancaman radikalisme yang menggiring generasi bangsa sebagai generasi intoleran justru menjalar dari bangku pendidikan. Sehingga, harus ada pencegahan paham radikalisme sejak dini yang harus digalakkan dalam mewujudkan pendidikan anti radikalisme. Setidaknya ada dua hal yang harus segera diaktualisasikan dalam mewujudkan pendidikan anti radikalisme.

Pertama, guru harus berperan sebagai agen anti radikalisme. Guru sebagai suri teladan (role model) bagi peserta didik harus memberikan teladan yang baik. Teladan yang baik bisa berbentuk nasihat yang mulia dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari yang ditiru oleh peserta didiknya. Guru harus mampu menanamkan sikap toleran, cinta tanah air, tanggung jawab, disiplin, mandiri, dan menghargai prestasi sebagaimana amanat pendidikan nasional. Yang paling penting, hal tersebut tidak hanya dapat diajarkan di atas buku teks pelajaran yang diajarkan di dalam kelas semata. Keteladanan harus diajarkan dalam bentuk tindakan.

Selain itu, di era kecanggihan digital sekarang ini peran guru sebagai agen anti radikalisme harus terus ditingkatkan dengan melek literasi digital. Dengan literasi digital inilah guru dapat memberikan bimbingan kepada peserta didiknya terkait etika menggunakan media sosial. Guru harus memberikan pencerahan kepada peserta didik terkait konten radikal yang semestinya dihindari dan jauh dari genggaman anak-anak. Ikhtiar inilah yang mampu melahirkan generasi cerdas anti radikalisme di era digital.

Kedua, mempertegas kurikulum anti radikalisme. Kurikulum sebagai jantung pendidikan memegang peran strategis dalam membentuk karakter peserta didik. Kurikulum pendidikan dalam kamus tarbiyah merupakan seperangkat perencanaan serta media yang dijadikan acuan oleh lembaga pendidikan dalam mewujudkan tujuan pendidikan (Langguung, 1986). Seharusnya kurikulum pendidikan nasional tidak hanya berorientasi terhadap pencapaian kemampuan kognitif peserta didik semata, namun lebih menekankan pada penanaman pendidikan karakter peserta didik sebagai generasi yang toleran, cinta tanah air, dan cinta damai.

Sejauh ini memang belum kita temukan kurikulum yang secara spesifik sebagai kurikulum anti radikalisme. Yang ada saat ini adalah kurikulum berbasis karakter yang dikemas dalam kurikulum 2013. Namun realitasnya, nilai-nilai yang terkandung dalam kurikulum berbasis karakter sejatinya berkaitan erat dengan kurikulum anti radikalisme. Dimana kurikulum berbasis karakter menitikberatkan pada ajaran cinta tanah air, toleransi, demokratis, dan cinta perdamaian. Nilai-nilai karakter inilah yang memuat ajaran anti radikalisme. Sehingga, penting kiranya mempertegas kurikulum anti radikalisme dalam rangka menyelamatkan anak bangsa dari ajaran radikalisme yang menyesatkan.

Singkat kata, adanya gagasan kurikulum anti radikalisme dan sinergi guru sebagai agen anti radikalisme diharapkan mampu memutus embrio ajaran radikal yang menghinggapi dunia pendidikan. Harapannya, penanaman nilai-nilai toleransi, cinta damai, dan cinta tanah air dalam rangka memerangi ajaran radikalisme yang termaktub dalam kurikulum anti radikalisme dapat melahirkan generasi humanis, inklusif, toleran, dan moderat. Semoga!

Tri Pujiati

Alumnus Pendidikan Bahasa Arab di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

1 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

1 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

1 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago